Kamis, 27 Oktober 2011

KETIKA MELATI TAK LAGI SEMERBAK


KETIKA MELATI TAK LAGI SEMERBAK
Oleh: Mira Pasolong
''Mas, masih ingatkah engkau  di bulan- bulan awal pernikahan kita? Penuh kemesraan, bertabur bahagia. Kita begitu menikmati kebersamaan kita. Kita saling jatuh cinta. Kita lalui hari- hari bak sepasang kekasih. Mungkin karena kita tidak sempat pacaran. Kita dipertemukan Allah lewat perjodohan karena adanya pertalian darah. Tapi kita sangat mensyukurinya. '' Gumam Rara lirih sambil menatap bunga melati yang daunnya mulai berguguran.
Setiap sore menjelang, Rara sudah duduk manis di taman depan rumahnya. Menatap kosong ke depan. Seakan-akan sedang menunggu seseorang. Sekali-kali membelai kuntum bunga melati yang tumbuh di taman sambil menciuminya dengan penuh perasaan.            Melati adalah lambang cinta Rara dan suaminya, Akbar. Bagi mereka melati itu putih, indah dan semerbak.
'' Melati itu putih seputih cinta kita, indah seindah hati kita dan semerbak seperti akhlak kita.'' Bisik Akbar sambil meremas mesra tangan isterinya. Sejak saat itu, Rara selalu memelihara bunga melati. Setiap sore sepulang kerja, sambil menikmati teh manis dan pisang goreng, mereka bercengkerama dengan mesra, menanti sang mentari kembali ke peraduannya dengan ditemani semerbak bunga melati.
Tapi itu dua tahun lalu. Kala segalanya masih terasa begitu indah. Kala kuncup cinta masih bermekaran di hati mereka. Kini semuanya sudah berubah. Akbar membiarkan Rara dalam ketakpastian.
Kini Rara tak tahu bagaimana perasaan Akbar sesungguhnya terhadapnya. Dia hanya datang sesuka hatinya. Kadang  selama seminggu Rara tak bisa menghubungi suaminya. Rara mencoba bersabar.
''Mas, HPnya kog tidak diaktifkan, sich?'' Protes Rara suatu hari kala Akbar ada di rumah.' 'Mas mematikan HP kalau lagi menyetir, sayang.'' Jawab Akbar. Suaranya tetap lembut seperti dulu. Namun ada kegetiran yang dirasakan Rara. Kegetiran yang teramat menyakitkan.
'' Silahkan diminum tehnya, Mas. Pasti Mas capek. Rara pijitin, ya.'' Rara berusaha melayani suaminya  dengan baik. Ada kekakuan yang tak tersembunyikan  dari balik suara dan sikap Rara. Rara merasa asing dengan suaminya sendiri.
 Terima kasih, Ra. Habis mandi pasti capeknya hilang''. Akbar menolak tawaran Rara dengan halus.
            Kekakuan itu tetap terasa sampai akhirnya Akbar pergi lagi. Rara kembali hanya ditemani serumpun melati yang kini tumbuh tak sesubur dulu lagi. Rara tidak bergairah untuk merawat bunga itu lagi. Semerbaknya sudah lenyap. Dan Rara semakin tak peduli  terhadap melatinya setelah Rara tahu suaminya hendak menikah lagi.
Dunia rasanya mau kiamat ketika perempuan yang hendak dinikahi Akbar menemuinya untuk meminta restunya. Ditatapnya sekilas perempuan bertubuh mungil di depannya. Kulitnya yang putih dibalut busana muslimah yang anggun.
''Cukup cantik tapi koq mau jadi isteri kedua, ya?'' Bathin Rara. Rara sebetulnya tidak ingin berburuk sangka. Tapi rasa cemburunya menyebabkan dia susah untuk bisa berpikir jernih.
Beberapa menit berlalu. Hening menyelimuti ruangan. Hanya suara cicak yang sesekali memecah keheningan.
''Maaf,jadi gimana, Mbak? Sudikah Mbak berbagi kebahagiaan dengan saya?'' Tanya perempuan itu setelah sekian lama mereka saling membisu. Sebelumnya perempuan itu menceritakan semua alasannya kenapa sampai tidak mau kehilangan Akbar. Pertanyaan itu menggema di gendang telinga Rara  bagaikan petir di siang bolong yang menyambar seluruh semangat hidup Rara.
Sejak saat itu hidup Rara tak terurus. Kebahagiaan dan senyuman yang selama ini menghiasi harinya kini mengendap entah kemana. Ironisnya sejak saat itu pula suaminya tidak pernah pulang. Rara tidak tahu apakah suaminya nekad menikahi perempuan itu tanpa memperdulikan perasaannya atau bagaimana. Tapi Rara pun tak punya cukup keberanian untuk menelusuri kabar suaminya.
Sore ini entah sore yang keberapa kalinya Rara menangis di teras depan sambil mengelus-elus melati yang tinggal tangkainya. Bunga melati yang dulu memenuhi taman depan dan samping rumahnya kini hampir  mati seperti kisah cinta sang empunya bunga.
''Mas, kenapa kamu tega? Kenapa kamu meninggalkan Rara? Di mana kamu sekarang, Mas? Rara rinduuu sekali.'' Rara terisak dan tiba-tiba saja terjatuh ke tanah. Mbok Na, pembantu yang selama ini dengan setia menemaninya berusaha memapahnya ke kamar.
Setelah berkali-kali dihubungi Mbok Na, akhirnya Akbar kembali ke rumah setelah hampir 3 bulan tidak pernah pulang. Akbar terkejut melihat keadaan isterinya yang tinggal kulit pembalut tulang. Wajah cantiknya hampir tak nampak lagi. Yang Akbar lihat hanyalah kesedihan dan luka yang nampak begitu jelas tergambar di wajahnya yang pias. Akbar segera melarikan isterinya ke  rumah sakit.
''Maafkan Mas, Sayang?'' Akbar membelai lembut rambut isterinya yang kini terbaring tak berdaya di ruang ICU. Sudah sepekan lebih Rara koma. Dokter belum juga berhasil mendiagnosa penyakitnya. Akbar tak henti-hentinya menyesali diri. Akbar sadar dirinya yang menyebabkan isterinya seperti ini. Tak sedetikpun Akbar beranjak dari sisi isterinya. Dia ingin menebus kesalahannya. ''Ya Allah, ampunilah dosa-dosa hamba selama ini. Sembuhkanlah isteri hamba. Engkau Maha Tahu dan Engkau tahu betapa hamba sangat mencintainya. Sembuhkanlah dia Ya Allah.'' setiap malam Akbar berdoa dalam sujud panjangnya. Ditumpahkannya seluruh perasaan hatinya kepada Sang Pemilik Segalanya.
Setelah sholat subuh seperti biasa Akbar duduk di samping tempat tidur isterinya. Digenggamnya tangan isterinya erat-erat. ''Maafkan Mas, Sayang. Sadarlah. Sembuhlah. Kita mulai semuanya dari awal. Kita masih memiliki cinta,Sayang. Itu modal yang sangat besar untuk kembali membangun mahligai kita. Sayang, melati kita tidak ada lagi yang merawatnya. Bangunlah, melati itu butuh sentuhan lembutmu, seperti saya yang sangat butuh kamu.'' Akbar berbicara sambil menangis.
Ditatapnya wajah isterinya yang begitu tenang seperti tertidur pulas. Tiba-tiba Akbar melihat Rara mengucurkan air mata. Akbar berteriak gembira memanggil dokter.Dokter memeriksa Rara dengan seksama.
''Insya Allah ini perkembangan yang sangat baik. Semua organ tubuh isteri anda berfungsi normal. Jadi berdoa saja semoga dia cepat sadar''.  Tapi ternyata itu adalah cucuran air mata terakhir Rara. Rara meninggal sesaat setelah dokter meninggalkan ruangan.
***
            Seorang pria paruh baya berjalan tanpa alas kaki di tengah terik matahari. Bajunya compang camping. Di kedua tangannya dia menggenggam banyak bunga melati. Sambil berjalan dia menciumi melati yang telah layu itu. ''Rara Cintaku, lihatlah, Mas pulang. Mas membawakan kamu melati. Melati cinta kita. Di tanganmu pasti melati ini akan tumbuh subur.'' Pria itu tiba-tiba berteriak sambil berlari ke tengah jalan. Tak dihiraukannya suara klakson yang bersahutan . Tak dihiraukannya teriakan panik orang-orang yang melihatnya. Sampai akhirnya sebuah truk yang melaju dengan kecepatan tinggi menyambar tubuhnya. Melati dalam genggamannya terhempas bersamaan dengan tidak terdengarnya jerit kesakitan dari mulutnya.(Mamuju, 1 Maret 2008)

PUKUL 12 SIANG



Oleh : Mira Pasolong
            Siang terik. Tepat pukul 12.00.  Sepi. Nyaris tak ada aktifitas di kompleks perumahan tersebut. Seorang perempuan tiga puluhan tahun berjalan terseok- seok sambil memegangi perutnya yang membuncit. Peluh berbulir- bulir mengaliri dahinya yang tak lagi licin. Di tangannya tergenggam kantong plastik kumal berwarna hitam. Entah apa isinya.
            Siang hari kompleks perumahan tersebut memang selalu sunyi. Para lelakinya ke kantor, anak- anaknya ke sekolah dan ibu- ibu sibuk di dapur. Makanya tidak heran semua pintu rumah tertutup rapat dan baru akan terbuka pada sore hari. Walaupun penjagaan di perumahan itu sangat ketat, namun para penghuninya yang kebanyakan pasangan muda, tetap berhati- hati.
            Perempuan itu terus berjalan. Dari satu blok ke blok berikutnya. Tiba di sebuah rumah mungil bercat hijau yang baru direnovasi, perempuan itu berhenti. Digerakkannya tangannya hendak mengetuk pintu, tetapi urung. Dilanjutkannya langkahnya. Ah.. langkah itu kini cenderung tertatih. Tapi dia tetap berjalan. Sesekali dia berhenti dan berbicara kepada anak yang ada dalam kandungannya.
            " Maaf, Nak. Ibu belum menemukan orang yang tepat." Bisiknya sambil mengelus lembut perutnya.
            Sebuah mobil mewah melaju dengan kencangnya. Perempuan itu tetap berdiri di tengah jalan. Seorang ibu muda yang sedang menjemur pakaian berteriak melihat perempuan tersebut tidak bergeser sedikitpun dari tempatnya.
            "Awas, Bu. Ada mobil." Teriaknya histeris sambil menutup mukanya menahan ngeri. Sedetik, dua detik, tidak ada kejadian apa- apa. Tak ada suara dentuman benda keras sebagai pertanda terjadinya tabrakan. Ibu tersebut perlahan- lahan membuka matanya.
            "Selamat siang, Bu. Bisa minta air minumnya? Haus." Ibu tersebut terkejut. Perempuan itu kini sudah ada di depan pagarnya. Memegangi perut buncitnya sambil menyeka peluh yang semakin deras membasahi dahinya. Dia sama sekali tidak lecet, padahal siapapun yang melihatnya pasti yakin perempuan itu sudah tertabrak. Perempuan itu kemudian dipersilahkan masuk. Diberi air minum dan juga makan siang.
            Perempuan itu kembali berjalan. Dia tak menghiraukan  rasa penasaran  ibu muda yang telah memberinya air minum. Tak satupun pertanyaannnya yang dijawab. Bahkan perempuan tersebut tetap membisu ketika ditanya hendak ke mana tujuannya.
            Di sebuah belokan tajam. Dia menatap nanar ke sebuah rumah mewah yang tepat terletak di sudut.
            "Itu sasaran kita, Nak. " Bisiknya pada anak dalam kandungannya.
            "Maaf tidak menerima sumbangan." Bentak pembantu rumah tersebut sambil membanting pintu pagarnya. Perempuan itu mengelus dadanya sekilas. Tersenyum tipis, dan kembali menyeret kakinya ke jalanan.
            Belum ada sepuluh meter perempuan itu berjalan, warga dikejutkan dengan teriakan dari rumah mewah tersebut. Anak semata wayang sang tuan rumah meninggal seketika karena kesetrum listrik ketika sang pembantu keluar mengusir perempuan itu.
            Perempuan itu tetap berjalan. Tidak dipedulikannya lalu lalang orang- orang yang berlarian mendatangi rumah mewah tersebut. Bibirnya tetap menyunggingkan senyum tipis.
            Adzan dhuhur berkumandang dari mesjid di kejauhan. Mesjid di kompleks ini tak berpenghuni di waktu dhuhur. Perempuan itu sudah menghilang dari kompleks. Tak ada yang melihat ke mana perginya.
***
            Siang terik. Pukul dua belas tepat. Dari kejauhan kembali nampak seorang perempuan berjalan tertatih- tatih dengan perut membuncit. Di tangannyapun tetap tergenggam sebuah kantong plastik hitam.
            "Saya bukan mau mengemis, Bu. Saya hanya ingin membagikan kartu donatur ini." Katanya pada seorang ibu yang juga sedang hamil besar. Ibu itu baru pulang dari pasar.
            "Silahkan masuk kalau begitu." Kata ibu itu ramah.
            "Maaf kalau saya banyak bertanya. Maklumlah, Bu. Sekarang ini banyak penipuan berkedok panti asuhan." Perempuan itu manggut- manggut tanda mengerti.
            "Tapi Insya Allah saya akan jadi donatur tetap di panti ini. Kebetulan tahun lalu saya merayakan ulang tahun anak saya di sana." Kata Ibu itu sambil mengambil kartu donatur dari tangan perempuan tersebut.
            Wajah perempuan itu sumringah. Sudah lebih sepuluh donatur yang didapatnya hari itu.
            "Semoga kakak- kakakmu tidak kekurangan makanan di sana, ya, Nak." Katanya kembali mengajak bicara anak dalam kandungannya.
            Sayup- sayup adzan dhuhur kembali terdengar. Perempuan itupun kembali menghilang. Entah keluar dari mana dia,bahkan securitipun tidak melihatnya.
***
            Hari minggu  pagi. Kompleks perumahan itu nampak ramai. Beberapa orang nampak asyik main volly dan bulu tangkis. Yang lainnya mengobrol di depan rumah masing- masing. Topik pembicaraan hangat adalah kehadiran perempuan hamil itu beberapa hari terakhir ini.
            "Saya pernah melihat dia ditabrak, Bu. Tapi dia tidak lecet sedikitpun." Kata Bu Muna yang tempo hari memberinya air minum.
            "Saya juga heran dengan kedatangannya yang selalu tepat jam 12.00. Dan pasti langsung menghilang ketika waktu dhuhur sudah masuk." Sambung Ibu yang lain.
            "Yang lebih mengerikan lagi adalah kejadian- kejadian mengerikan yang dialami oleh keluarga yang menolak kehadirannya." Pembicaraan ibu- ibu kompleks itu semakin panas. Mereka sekarang mulai mereka- reka siapa sebenarnya perempuan itu. Yang belum sempat dimasuki rumahnya menjadi was- was, takut besok perempuan itu mendatanginya.
            Anehnya walaupun mereka ketakutan, tetapi tak seorangpun yang memberitahukan kejadian tersebut kepada suaminya.
***
            Senin yang cerah. Tepat pukul 12 siang. Ibu- ibu kompleks kompak mengunci pintu rumah mereka. Entahlah. Semakin hari kehadiran perempuan hamil itu semakin meresahkan. Tetapi tetap saja tidak ada yang mengadu kepada suaminya.
            Dari ujung lorong perempuan itu nampak semakin terseok- seok berjalan. Perutnya semakin membuncit. Di tangannya masih tergenggam kantong plastik hitam. Sekarang warga kompleks sudah tahu isi kantong tersebut. Isinya tidak lain adalah kartu donatur panti asuhan yang dibagi- bagikannya kepada warga.
            "Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Pengumuman. Di sampaikan kepada seluruh donatur Panti Asuhan Arrahma  bahwa hari Minggu depan ketua panti menunggu kedatangan ibu- ibu donatur dari perumahan ini. Terima kasih. Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh." Seseorang memberikan pengumuman di mesjid. Sesuatu yang hampir tidak pernah terjadi di kompleks ini.Ibu- ibu kompleks saling berlarian keluar rumah dan seperti dikomando serentak mengarahkan kaki mereka ke arah mesjid. Tapi sayang. Tidak ada siapa- siapa di mesjid. Hanya pintunya yang terbuka. Mereka pulang ke rumah masing- masing dengan kepala dipenuhi tanda tanya.
***
            Sudah beberapa hari ini perempuan berperut buncit itu tidak nampak di kompleks. Ibu- ibu nampak seperti kehilangan sesuatu. Yang terbiasa dengan ichlas memberinya air minum atau makanan, menjadi rindu ingin melakukannya lagi. Sebaliknya, yang alergi dengan kedatangannya menjadi gembira karena tidak ada lagi yang akan menganggu mereka.
            "Bu, besok kan hari Minggu. Apakah Kepala Panti betul- betul menunggu kedatangan kita, ya? " Tanya seorang ibu. Dia ingat pengumuman di mesjid beberapa hari yang lalu. Walaupun ragu, tetapi akhirnya mereka sepakat untuk beramai- ramai mengunjungi panti hari Minggu nanti.
            Kepala Panti nampak kaget melihat rombongan mereka. Beliau sama sekali tidak menyangka akan kedatangan tamu. Ibu Ketua Panti semakin kaget ketika mengetahui maksud  kedatangan mereka.
            "Kalau tidak salah namanya Rasyida, Bu." Jawab salah seorang dari mereka ketika Ibu Panti menanyakan siapa orang yang telah mendaftar mereka  menjadi donatur.
            "Hah... Rasyida?" Mata Ibu Panti terbelalak. Ibu- ibu tersebut menganga melihat reaksinya. Selang beberapa saat kemudian meluncurlah cerita dari mulut Ibu Panti. Cerita yang membuat bulu kuduk ibu- ibu tersebut merinding menahan perasaan takut.
            "Jadi dia sudah meninggal, Bu?"
            "Dia dibunuh di belakang komplek perumahan. Kejadiannya pada suatu siang yang sepi. Tepat pukul 12.00. Dia dibunuh setelah diperkosa oleh dua orang pemuda yang sedang mabuk." Ibu- ibu tersebut mendadak ingat kejadian menghebohkan sekitar setahun yang lalu di dekat kompleks perumahan mereka.
            "Ooo karena itulah mungkin sehingga dia selalu datang jam 12 siang."
            Ketua panti juga kemudian menjelaskan bahwa dia ditinggal kawin oleh suaminya lima bulan sebelum peristiwa itu. Sejak ditinggal suaminya, dia menitipkan lima anaknya di panti asuhan Arrahma. Karena itulah mungkin sehingga dia mencari donatur untuk panti asuhan Arrahma. Semua yang hadir terkesima. Betapa seorang ibu tidak akan pernah rela melihat anak- anak yang lahir dari rahimnya menderita. Kasih ibu bukan saja sepanjang hayat, tapi ternyata terbawa hingga ke liang lahat.
            Ibu- ibu kompleks itu kemudian pamit pulang setelah terlebih dahulu menyatakan kesediaan menjadi donatur tetap panti asuhan tersebut. Mereka pulang dengan harapan perempuan hamil itu bisa tenang di alamnya yang sekarang.
***

Selasa, 25 Oktober 2011

SOCIOLINGUISTICS

 NOTE : BEFORE DOING THIS TASK.. PLEASE JOIN THIS GROUP, SO THAT YOU CAN WRITE YOUR ANSWER ON THE COMMENT SPACE....

1. in your opinion, what is the relationship between language and society?
2. Explain the the language of your tribe in term of dialects and accent.  Give some example.

Happy answering and good luck!!!!!

Lecturer,

Mirawati,S.Pd, M.Pd.

Selasa, 04 Oktober 2011


SLAMET BIN SALAMA

Cerpen Mira pasolong

            Tubuh pemuda itu bergetar.  Menggigil. Keringat dingin membasahi hampir sekujur tubuhnya.  Alunan lagu Indonesia Raya tetap bergema syahdu mengetuk hasrat kebangsaan dan jiwa patriotisme para peserta upacara. Tubuh pemuda itu semakin bergetar. Tatapannya nanar ke arah Sang Saka Merah Putih yang sudah hampir berkibar di ujung tiang bendera.
            Seluruh rangkaian upacara peringatan Hari Sumpah Pemuda bergulir satu per satu. Sukses. Acara itu berlangsung sangat meriah. Semua gembira. Semua tertawa ceria. Entah apa yang membuat mereka segembira itu. Apakah mereka gembira karena hari ini mereka bertemu dengan pemuda dari berbagai pelosok tanah air? Ataukah mereka gembira karena tanpa perlu bersusah payah mereka bisa menikmati berbagai fasilitas, bebas mengeluarkan pendapat, bebas bepergian ke mana saja tanpa perlu takut akan ada peperangan? Ataukah mereka gembira karena mereka mempunyai ruang yang sangat luas untuk mempertontonkan anarkisme? Entahlah.
            Hanya pemuda yang tadi menggigil di lapangan itu saja yang tidak nampak gembira. Wajahnya pucat. Tubuhnya sesekali masih bergetar. Mukanya ditekuk seakan takut melihat kenyataan buram pemuda sekarang ketika kepalanya dia tegakkan.
            “Sebentar malam datang ke kos saya, ya. Nanti saya kasih sisa pembayarannya.” Sebuah transaksi mencurigakan menarik perhatiannya. Dua orang anak muda sedang berbisnis serius. Yang satunya menyerahkan beberapa lembar uang, sedangkan yang seorang lagi menyelipkan sebuah bungkusan kecil ke dalam kantong temannya tersebut. Deal. Mereka berjabat tangan dan saling berlalu tanpa meninggalkan sedikitpun jejak mencurigakan bagi berpasang- pasang mata yang ada di tempat itu. Kecuali tentu saja sepasang mata pemuda yang menggigil tadi.
            Namanya Slamet bin Salama’. Dia pemuda berbadan tegap. Tinggi besar dengan kulit putih bersih. Matanya hitam kelam. Tatapannya tajam. Tegas. Gagah. Menawan. Demikian penilaian teman- teman gadisnya. Usianya sekira dua puluh lima tahun. Ayahnya orang Makassar asli bernama Daeng Salama’ yang berwatak keras. Ibunya, Salmi, adalah wanita bersuku Sunda yang lembut dan ayu. Entah di mana dan bagaimana kedua orang tuanya bertemu dan saling memagut janji setia. Mungkin inilah salah satu hikmah bersatunya para pemuda dari Sabang sampai Merauke setelah diikrarkannya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober delapan puluh dua tahun silam. Jadilah seakan tiada lagi jarak antara Makssar- Jawa.
            Slamet bin Salama’. Dia bangga dengan nama pemberian orang tuanya, seperti bangganya dia kepada para pahlawan negerinya. Dalam nada guyon (dia memang sangat suka guyon. Itu pulalah mungkin sebabnya dia mengidolakan Gus Dur), dia selalu mengatakan bahwa mereka (ayah, ibu dan dirinya) memiliki nama yang sama. Slamet berarti selamat. Salama’ (Bahasa Makassar) juga berarti selamat.
            “Dan mungkin Salmi juga diambil dari kata selamat.” Katanya menyebut nama ibunya sambil tersenyum simpul.
            Slamet bin Salama’. Dia anak tunggal yang tidak manja. Namanya selalu mengilhaminya untuk berbuat baik. Dia ingin selalu berada di jalan yang lurus agar bisa selamat sampai tujuan, seperti namanya. Tapi dia bukan hanya ingin menyelamatkan diri sendiri. Dia juga ingin menyelamatkan negerinya.
            “Pemuda negeri ini harus diselamatkan agar tak tersesat.” Katanya berapi- api di depan sebuah pigura antik dalam kamarnya. Pigura itu membingkai lukisan wajah WR. Supratman, sang pencipta lagu Indonesia Raya, yang juga merupakan salah satu dari banyak idolanya.
            Lantas kenapa dia mengigil ketika sedang didengungkan lagu Indonesia Raya? Apakah karena dia mengidolakan pencipta lagu tersebut, ataukah karena hasratnya yang demikian membuncah untuk berbuat sesuatu terhadap negerinya? Terhadap pemuda? Hmmm…. Lihatlah ke mana dia membawa langkahnya ketika meninggalkan lapangan upacara. Taman Makam Pahlawan. Ya, tempat itulah yang ditujunya. Dia berlutut di salah satu makam. Dengarlah apa yang dikatakannya sambil memegang batu nisan.
            “Aku tahu engkau pasti kecewa dengan kondisi negerimu sekarang, terutama pemudanya. Seperti aku,  engkau juga pasti gerah melihat gebrakan- gebrakan mereka. Demo anarkis. Membakar apa saja yang bisa dibakar. Merusak apa saja yang ditemuinya. Tak ada lagi rasa takut. Katanya demi sebuah idealisme. Tapi engkau pasti heran kan? Idealisme yang seperti apa? Perang melawan siapa?Engkau dan pemuda pejuang lainnya dulu bahkan tak seanarkis pemuda sekarang. Padahal engkau melawan musuh yang nyata. Bangsa penjajah.”
            Sepi mengiris hati. Pemakaman bisu di siang terik. Slamet bin Salama’ melanjutkan :
            “Aku sangat malu pada kalian. Kami tidak bisa memegang tampuk amanah yang engkau wariskan pada kami. Lihatlah. Kami hanya bisa berhura- hura setelah lelah membuat huru hara. Lihatlah. Di jalanan kami meneriakkan kalimat- kalimat indah penuh idealisme. Tapi terkadang idealisme itu tergadai di gedung- gedung tinggi itu. Munafik.”
            Slamet bin Salama’ menghela nafas. Kembali nampak berkeluh kesah. Tentang pemuda yang banyak dijumpainya.
            “Aku tahu engkau pasti kecewa. Kami bukanlah generasi penerus yang baik. Terlalu sedikit prestasi yang bisa kami ukir untuk bisa membuatmu bangga. Kami tak pandai memetik hikmah dari buah perjuanganmu. Mungkin engkau juga setuju pada pernyataan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati pahlawannya. Tapi pemuda sekarang ini, termasuk aku, bingung bagaimana caranya menghormati kalian, para pahlawan.”
            Slamet bin Salama’ berdiri. Berpindah ke makam di sampingnya.
            “Karena itulah aku semakin tidak punya muka di hadapan kalian. Tapi aku berjanji akan menyelamatkan negeri ini. Walau sekali lagi aku juga bingung bagaimana caranya. Pemuda negeri ini sudah banyak yang sakit parah. Lihatlah di layar kaca. Hampir tiap hari kita menyaksikan pemuda yang ditangkap karena mengkonsumsi obat- obat terlarang berkelahi, atau bahkan membunuh. Yang lainnya terjerat dalam pergaulan bebas tak berbatas.”
            Untuk ke sekian kalinya Slamet bin Salama’ menarik nafas panjang.
            “Aku sangat berharap yang selama ini kita lihat, baca dan rasakan hanyalah sebatas mimpi. Atau hanya sekedar lakon sinetron negeri ini yang terkadang memang sengaja dibuat se- hiperbola mungkin. Aku berharap yang sebenarnya adalah aku dan pemuda yang lain masih sama seperti kalian, para pejuang. Pemuda yang penuh semangat, enerjik, loyal, amanah, berani dan bertanggung jawab.”
            Slamet bin Salama’ melangkahkan kakinya kembali. Meninggalkan gundukan tanah merah tempat beristirahat jasad- jasad para pahlawan  negeri ini.  Dia menuju pintu gerbang. Masih ada harap dalam hatinya, walaupun hanya berupa sebuah noktah yang nyaris  tak kasat mata. Ya, ragu itu ternyata lebih perkasa menguasai.
            Sesampainya di jalan raya. Slamet bin Salama’ terpaku. Di hadapannya api berkobar- kobar. Sebuah mobil flat merah seakan menjerit menahan panas nyala api di sekujur tubuhnya. Ratusan pemuda dengan label berbagai warna jas nampak antusias menyaksikan peristiwa itu. Mereka mungkin lupa bahwa mobil itu dibeli dari uang rakyat. Dari pajak yang wajib dibayar rakyat tepat waktu.
            …….masa yang akan datang
 Kewajibanmulah
Menjadi tanggunganmu terhadap nusa
……….
           
            Lirik lagu yang dinyanyikan kelompok aubade ketika upacara Sumpah Pemuda tadi terngiang kembali di telinga Slamet bin Salama’. Merdu mendayu. Mengusik hati. Menohok idealisme yang selama ini coba dipertahankan. Harap itu begitu tulus, namun jalan untuk menggapainya tidaklah mulus. Slamet bin Salama’ menjadi gamang. Semakin bingung. Bertambah bimbang. **** (Makassar, 24 Oktober 2010)

(Selamat Hari Sumpah Pemuda ke- 82 tahun… semoga senantiasa menjadi spirit bagi generasi muda bangsa untuk berbuat yang lebih baik.)

(dimuat di Harian Fajar Makassar, Oktober 2010)
           

kesetiaan perawasn

KESETIAAN PERAWAN
Oleh : Mira Pasolong

Lembayung indah menggantung di langit senja. Semburat merah jingga berpendar mempesona. Sungguh sebuah lukisan alam yang menakjubkan. Mentari sebentar lagi akan kembali ke peraduannya. Dan malampun akan mulai menyapa bumi. Rembulan menyembul  malu- malu menyemburkan cahayanya di balik wajahnya yang bulat penuh. Purnama seakan ikut bergerak mengiringiku. Aku mempercepat langkahku. Aku ingin menjadi orang pertama yang menyambut kedatanganmu di dermaga.
 Aku menghentikan langkah tepat di bibir dermaga. Di sini, di pantai ini, seperti bulan- bulan yang lalu, aku duduk sendiri, menikmati indah debur ombak, menatap kerlap kerlip lampu kota di kejauhan. Aku terperangkap dalam sunyi yang menyiksa, terkurung dalam resah yang mendera,  terpenjara dalam penantian tak bertepi. Kupandang laut lepas tanpa berkedip. Riak ombak sesekali menyapu kakiku yang tak beralas. Setitik cahaya nampak bergerak dari kejauhan, semakin lama semakin besar. Mungkin itulah kapal yang akan membawamu kembali kepadaku.
Engkau berjanji akan datang padaku pada satu purnama. Karena itulah, setiap purnama, dengan setia aku akan mematung di sini, menunggu kapal  merapat, menatap satu persatu penumpang yang turun, berharap salah seorang dari mereka adalah kamu. Namun entah sudah berapa purnama, tapi aku belum juga menemukan seraut wajahmu.
Aku berharap ini adalah kali terakhir aku berdiri di sini menunggumu. Aku lelah menahan kecewa, malu dan sakit hati. Aku takut tidak bisa lagi bertahan. Andai engkau tahu, jari jemariku kini telah penuh dijejali cincin berbagai model. Tapi tidak perlu resah, apa lagi cemburu. Cincin- cincin yang menghiasi jari- jari lentikku yang kini sudah mulai mengeriput adalah cincin pemberian adik- adikku sebagai syarat agar mereka diperbolehkan mendahuluiku mengakhiri kesendirian.
Yach, sampai sekarang aku masih sendiri. Engkau menahanku di sini di pusaran waktu yang tak bisa diajak kompromi, menjadikanku tetap sebagai perawanmu, tanpa kepastian. Lihatlah, anak-anak saudara  kita yang ketika engkau pergi bahkan belum lahir, sekarang sudah tumbuh menjadi remaja, bahkan sudah banyak yang berkeluarga. Tapi aku tetap di sini, sendiri, menunggumu di setiap purnama. Dan akupun tetap menjadi perawanmu.
Tak kupedulikan ceracau camar yang terbang mengitariku seakan mengejek kesetiaanku yang bodoh. Aku tak peduli karena aku tahu setia itu bukan suatu kesia- siaan. Tak kuhiraukan cerita tetangga yang menganggapku patah hati. Aku tak peduli karena aku tahu aku tidak patah hati. Hatiku tetap utuh untukmu. Namun jujur kuakui, aku malu dengan keadaan ini. Aku malu menyaksikan satu- persatu adik- adikku melahirkan bayi- bayi mungil mereka sementara aku masih tetap dengan kesendirianku.
“Berhentilah berharap, Nak. Jangankan kamu, orang tuanyapun tidak tahu kabar beritanya. Lupakanlah dia“ Entah sudah berapa kali orang tuaku memintaku untuk melupakanmu. Bahkan silih berganti pemuda disodorkan padaku. Tapi aku tak bergeming. Tak ada yang mampu menggetarkan hatiku. Aku tetap setia menantimu. Aku sangat yakin engkau akan kembali padaku.  Aku yakin sekarang ini engkau sedang membanting tulang, mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk pernikahan kita.
“Percayalah, Dinda. Setelah aku bisa memenuhi permintaan orang tuamu, aku akan kembali ke sini menyuntingmu. Aku yakin mereka tidak akan menolakku lagi.” Janjimu sore itu sebelum kapal yang membawa dirimu bertolak meninggalkan dermaga.
Aku tetap memegang teguh janjimu karena aku yakin engkau akan menepatinya. Tapi apakah engkau tahu bahwa biaya pernikahan di kampung kita telah meningkat drastis seiring dengan meningkatnya harga Sembako, BBM, TDL dan lain- lain dibanding saat engkau melamarku dulu?  Akupun tetap dengan keyakinanku walaupun kini hampir semua orang mencibirku. Bahkan ada yang menganggap aku sudah gila. Tapi aku yakin aku sangat waras, bahkan lebih waras dari mereka yang menganggapku tidak waras, karena hanya orang- orang yang waraslah yang mampu menjaga kesetiaan.
Tetapi apakah kamu tahu apa yang membuatku mampu tetap menjadi perawanmu yang setia sampai sekarang? Aku tahu kepergianmu adalah demi cintamu padaku. Aku tahu engkau kecewa karena orang tuaku menolak lamaranmu. Tapi aku juga percaya engkau lelakiku yang pantang menyerah. Aku yakin itu, walau semua orang sudah meragukannya. Karena itulah aku juga tetap yakin dengan apa yang aku lakukan.
“Khadijah dilamar orang, Nak.” Suara ibuku terdengar sangat hati- hati. Ada kegetiran di balik suaranya yang agak parau. Kamu ingat Khadijah kan? Dia adik bungsuku.  Lagi- lagi adikku melangkahiku. Aku bisa membaca garis kepedihan yang tergambar di sorot mata anakku. Beliau pasti sangat tersiksa dengan kesendirianku ini.
“Kalau orangnya baik dan agamanya juga baik, diterima sajalah, Bu. “
“Tapi aku tidak bisa melihatmu terus menerus seperti ini. Demi Allah, Nak  berhentilah melakukan hal yang bodoh ini.”
“Bu, aku tidak bodoh. Aku hanya mencoba menjadi orang yang bisa memegang janji. Aku sudah berjanji untuk menunggunya dan  tak ada seorangpun yang bisa mencegahku.”
“Tapi penantianmu sudah cukup, Anakku. Ingat,  usiamu sudah kepala empat. Kamu tidak ingin menghabiskan waktumu dengan sesuatu yang sia- sia kan?”
“Dia pasti datang, Bu. Dia pasti datang untukku. Penantianku tak kan sia- sia.” Aku berdebat hebat dengan Ibuku sore itu. Aku tidak suka didesak terus hanya karena persoalan usia. Kamu tahu kan? Aku tidak peduli dengan usiaku. Sejak kepergianmu, bahkan aku tidak pernah ingat lagi kapan ulang tahunku. Yang aku hitung hanyalah berapa hari lagi datangnya purnama karena kala purnama datang, maka kala itulah harapanku akan bertemu denganmu akan kembali membuncah. Harapan bahwa engkau akan datang bersama kapal yang merapat di dermaga. Atau kalaupun tak ada kapal, engkau akan datang bersama debur ombak yang dengan setia menyapaku di keheningan. Sungguh…. Ombak, pantai, pasir… hanya merekalah yang tetap sabar mendengar keluhan-  keluhanku.
Kamu tahu? Dua hari yang lalu orang tuamu datang menemuiku. Seperti yang lain, mereka juga  kasihan melihat keadaanku. Mereka memintaku untuk berhenti mengharapkan kedatanganmu. Aku kecewa sama mereka. Aku tidak tahu kenapa mereka akhirnya menyerah dan menganggapmu tidak akan pernah kembali lagi. Padahal selama ini mereka selalu mendukungku dan juga tetap yakin kamu baik- baik saja walau kami tidak pernah tahu  di belahan bumi yang mana engkau berada.
Yang lebih menyakitkan, mereka memintaku untuk menerima lamaran si Akong. Oya, aku belum pernah cerita kepadamu tentang si Akong ini. Tapi sabarlah, saat kita bertemu nanti aku akan menceritakan semuanya. Bukan hanya si  Akong,  juragan Tionghoa yang kaya raya itu, tapi juga puluhan pemuda yang pernah melamarku. Ada si Dandi dengan wajah imutnya yang mirip Kristian Bautista, ada si Opik, dengan wajah klimisnya yang putih bersih, ada pula si Hamdan, akademisi yang baru saja dikukuhkan sebagai guru besar dan si Alam yang baru- baru ini terpilih sebagai wakil rakyat di legislatif. Aku menolak mereka semua. Hatiku tak terketuk oleh wajah tampan, gelimang harta maupun pangkat dan jabatan. Pintu hatiku hanya bisa terbuka oleh kehadiranmu. Dan aku sangat yakin engkau akan kembali suatu hari nanti. Karena itulah aku akan sangat marah jika ada yang mengatakan kamu tidak akan kembali.
Berlembar- lembar surat kukirimkan lewat ombak yang setia menyapaku di setiap purnama. Aku percayakan semua  isi hatiku kepada sang ombak sambil berkirim harap akan ada selembar suratku yang sampai ke tanganmu. Tapi tak satupun yang berbalas. Apakah itu pertanda engkau tak pernah menerima suratku?
Suatu hari, di tengah kegalauan dan kerinduan yang memuncak, aku mencoba mengirim surat lewat pos. Tapi beberapa hari kemudian surat tersebut kembali ke tanganku, karena aku mengirimnya tanpa alamat tujuan. Aku tak tahu engkau berada di mana. Engkau menghilang bagaikan ditelan bumi. Secara logika, orang yang tidak pernah ada kabar beritanya  selama lebih dua puluh tahun, pastilah dianggap sudah mati. Tapi aku tetap yakin kita masih berada di alam yang sama.
Kadang aku tersenyum membayangkan pertemuan kita nanti. Dulu, ketika engkau pergi setelah menitip janji padaku, aku masihlah seorang gadis belia yang sedang ranum- ranumnya. Sekarang, kecantikan yang dulu sempat membuat begitu banyak pemuda takjub, berangsur- angsur menghilang. Rambutku sudah mulai rontok dan satu dua helai mulai memutih, keriput tipis sudah mulai membayang di wajahku, kulitkupun tak semulus dulu lagi. Tapi satu yang tak berubah, kesetiaan dan cintaku padamu.
Ombak semakin meninggi, dingin angin pantai mulai mengusik kulitku, angin sepoi- sepoi menambah dingin malam ini, tapi rembulan tetap memancarkan cahayanya yang indah. Dermaga sudah sepi sejak beberapa jam yang lalu. Para awak kapal sudah terbuai dalam mimpi masing- masing. Sekali lagi aku harus menelan kecewa. Engkau belum juga datang. Dan aku semakin malu ketika ingat betapa setiap orang yang sore tadi berpapasan denganku mencibir, melihat aku berjalan menuju dermaga.
Ah, Kanda… haruskah aku menyusulmu?? Ahai… aku bersorak gembira. Kenapa baru sekarang ide itu muncul? Ya., aku harus menyusulmu. Ombak di pantai ini terkenal ganas. Aku yakin dengan keganasannya dia bisa membawa aku  menyusuri  samudera demi samudera  untuk menemuimu. Tunggulah, sayang, sekarang juga aku akan ke sana.  ***
“Dinda, Dinda… aku sudah datang, Sayang. Tapi kenapa kamu tidak menungguku?”Seorang lelaki menjelang lima puluhan tahun dengan rambut hampir memutih seluruhnya, memeluk tubuhku sambil menangis tersedu- sedu. Aku tahu, dialah lelaki  yang selama ini aku tunggu. Aku menyesal tidak cukup bersabar menunggunya. Sekarang dia memapah jasadku, tapi aku tidak bisa menyapanya lagi. Aku hanya bisa menatapnya dari alam yang jauh, tanpa bisa merasakan rengkuhan tangannya. Orang- orang berkumpul di rumahku. Kulihat mereka semua bersedih. Bapak dan Ibuku nampak shock.
“ Dia sudah lelah menunggumu, Nak.” Itu suara parau Ibuku. Entah mengapa aku mendadak sangat rindu berbaring di pangkuan Ibu. Aku mengulurkan tanganku, namun hanya ruang hampa yang mampu aku gapai.
“Maafkan kami karena dulu tidak menerima lamaranmu. Sekarang kamu datang, tapi justru dia telah pergi. Dan kali ini dia tidak akan mungkin kembali lagi.” Ibuku mendadak tak sadarkan diri, sementara Bapak hanya bisa menangis. Ah...Ampuni aku Ibu, Bapak…  Aku telah membuat kalian semua sedih. Dan Kanda…. Maafkan juga aku karena tidak sabar menunggumu dan telah membuatmu kecewa. Aku juga sangat berterima kasih karena engkau telah membuktikan kepada semua orang bahwa penantianku selama ini tidaklah sia- sia. Dan setelah ini aku yakin mereka akan sadar bahwa mempertahankan kesetiaan bukanlah suatu kebodohan. ***
 (dimuat di harian Fajar Makassar)