Sabtu, 31 Maret 2012

...................


SIMPUL PERTAMA
Yuliana memarkir mobilnya. Melangkah ke loby hotel D’Maleo, hotel termegah di Sulawesi Barat untuk saat ini. Ada acara ulang tahun Sulawesi Barat. Dia hadir mengantar anak- anak asuhannya yang diminta menarikan sejumlah tarian daerah Mandar. Tiga tarian khas Mandar akan dibawakan oleh penari- penari yang sudah bertahun- tahun dibina di sanggar milik Yuliana.
Yuliana gemar menari sejak kecil. Dia juga gemar membaca dan menulis.  Impiannya adalah mendirikan sanggar tari dan taman bacaan. Dia menyadari betapa di daerahnya masih sangat kurang wahana pengembangan bakat bagi anak- anak muda. Dia ingin memberikan sumbangsih walau mungkin hanya secuil.
Modal? Dia sempat down. Dia hanya orang biasa, walau tidak bisa dikatakan miskin. Ibunya memiliki sebuah wisma yang sudah beberapa tahun ini dikelola Yuliana. Tapi dia tidak ingin mengganggu keuangan perusahaannya karena dia sadar itu adalah milik ibunya. Dia hanya mengelola dan digaji secara profesional. Maka untuk beberapa lama hasrat itu diendapkan dalam ruang harapnya yang paling bawah. Dia harus mencari modal terlebih dahulu.
Membolak balik file- file lama, ketika SMA dan ketika mahasiswa, Yuliana menemukan seberkas cahaya asa yang berpendar. Ditemukannya sebuah outline novel yang ditulisnya ketika masih mahasiswa. Sejak kecil, Yuliana  senang menulis. Tulisan- tulisannya menggunung memenuhi berlembar- lembar kertas HVS. Beberapa tulisan tangan, ketikan manual sampai ketikan komputer. Dari sekedar curahan hati, puisi, cerpen hingga cerita bersambung dan beberapa draft novel. Sayang sekali ketika itu dia tidak punya akses dengan media cetak, sehingga karya- karyanya hanya teronggok dalam laci lemari buku.
Sebuah draft novel menarik perhatiannya. Amnesia, bakal judul novel itu. Yuliana mencoba mengingat- ingat  kenapa  sampai tertarik menulis tentang hal itu. Tak ada bayangan. Tapi Yuliana tetap bertekad untuk menggarap novel tersebut.
Selama beberapa bulan Yuliana berkutat dengan laptopnya. Sesekali dia keluar rumah, melakukan observasi mengenai novel yang digarapnya. Bertanya ke beberapa dokter ahli mengenai penyakit amnesia dan juga  kepada orang- orang yang pernah mengalaminya. Beberapa kali bahkan dia harus ke Makassar untuk mencari data yang lebih lengkap.
Pada akhirnya kerja keras Yuliana berbuah manis. Keringat yang mengucur selama pengerjaan novel terbayar. Jam tidur yang terpangkas akhirnya mampu tergantikan beberapa bulan kemudian ketika sebuah penerbit dari kota Gudeg bersedia menerbitkan novelnya.
Delapan minggu sejak terbit, novel Yuliana naik cetakan kedua.  Novel best seller. Maka lengkaplah kebahagiaan Yuliana. Sejak saat itu dia harus bersiap diri dengan ritme kehidupan yang baru; menjadi terkenal, mengisi acara bedah buku di berbagai kota, mengadakan promosi, dan menghadiri undangan- undangan kepenulisan.
Yuliana jadi yakin bahwa jika niat kita lurus, maka Allah pasti akan memuluskan jalan untuk menggapainya. Tak sampai setahun, cita- cita Yuliana untuk mendirikan sanggar tari dan taman bacaan yang disebutnya sebagai Pusat Kegiatan Belajar Remaja (PKBR), tercapai. Royalti penjualan novelnya dijadikan modal.  Awalnya dia merekrut dua orang relawan, tetapi seiring semakin berkembangnya PKBR tersebut, semakin banyak pula yang menawarkan diri untuk menjadi relawan.
Belum setahun berdiri, sudah ada sekitar seratus anak dari keluarga miskin dan terlantar yang dibina di PKBR yang diberi nama Gerai Bersama. Ada berbagai kegiatan yang rutin dilakukan, sanggar tari, pelatihan menulis, kursus bahasa Inggris, kursus keterampilan rumah tangga dan taman bacaan masyarakat.  Setiap hari Sabtu dan Minggu digelar program anak gemar membaca khusus untuk anak- anak jalanan. Berbagai kegiatan menarik disediakan untuk anak- anak tersebut, seperti lomba mewarnai, lomba mengambar, lomba baca ouisi ataupun sekedar mendengarkan dongeng dari para relawan.
Yuliana sangat bahagia melihat perkembangan pesat  Gerai Bersama. Yuliana berhasrat mendirikan pusat kegiatan belajar tersebut bukan semata karena kecintaannya pada dunia seni dan sastra, tetapi juga karena terdorong rasa prihatinnya terhadap miskinnya literatur- literatur di Mamuju. Masyarakat kesulitan mencari referensi bahan bacaan.
Ketika sekolah dulu, Yuliana beberapa kali mengeluhkan hal ini. Ketika disuruh guru membuat makalah atau membuat klipping, Yuliana harus pontang panting mencari koran atau majalah bekas. Sejak itulah dia memupuk mimpinya untuk kelak suatu hari  mendirikan taman bacaan. Mimpi yang baru menjadi nyata ketika Yuliana menginjak usia dua puluh empat tahun.
***
Yuliana adalah seorang gadis manis yang mandiri. Tempaan penderitaan hidup yang dilakoninya sejak kecil membuatnya kelihatan lebih matang dibanding gadis- gadis sebayanya. Sejak kecil dia sudah bisa menghasilkan uang. Kepandaiannya merangkai kata membuatnya sering dimintai teman- temannya untuk menuliskan puisi cinta ataupun surat cinta. Walaupun Yuliana tidak pernah meminta, namun teman- temannya biasanya memberi uang lelah. Di lain waktu Yuliana juga membuat amplop- amplop yang imut dan menarik. Dia kemudian menjual amplop tersebut kepada teman- temannya.
Sebagian besar temannya di pesantren membeli amplop darinya, jika mereka ingin mengirim surat kepada orang tuanya di kampung. Sosok Yuliana yang cerdas, kreatif dan sopan membuatnya disukai teman- teman dan guru- gurunya. Walaupun Yuliana nyaris sempurna sebagai seorang gadis, tetapi dia tidak sombong. Di manapun dia berada, senyumnya akan selalu merekah. Wajah cantiknya akan semakin berseri- seri jika dia baru saja melakukan sesuatu yang dirasanya berguna bagi orang lain.
Itulah Yuliana. Dia begitu istimewa di balik keterbatasannya sebagai perempuan biasa. Semua orang senang padanya. Semua orang menyayangi dan menghormatinya. Namun tak banyak yang tahu bahwa sesungguhnya hati Yuliana gersang. Dia haus akan kasih sayang orang tua. Ibunya memang selalu ada untuknya, namun itu hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan fisik. Sedangkan kebutuhan psikis sama sekali tak pernah dijamah Ibunya. Tak pernah Yuliana merasakan bermanja- manja di pangkuan ibunya, seperti yang sering dilakukan teman- teman sebayanya. Diapun tak berani untuk curhat pada Ibunya. Ibunya selalu sibuk dan sudah kelelahan ketika tiba di rumah. Maka tinggallah Yuliana sendiri menata hatinya yang selalu kesepian.
Tapi kenyataan itu tidak lantas membuat Yuliana menjadi pemurung. Sebaliknya, hari- harinya selalu diisi dengan keceriaan. Kesedihan dan kesepiannya disimpan di sebuah brankas terdalam di hatinya. Tak ada yang bisa melihatnya, kecuali dia sendiri. Dia berprinsip, kebahagiaan itu terletak pada kebahagiaan orang- orang di sekitar kita. Maka ketika dia bisa membawa keceriaan bagi lingkungannya, itulah kebahagiaannya.
Yuliana, gadis cantik nan semampai, cerdas, berprestasi dan sederhana. Banyak yang ingin memikat hatinya, namun hati Yuliana yang seputih pualam itu belum mau menambatkannya pada siapapun. Dia masih betah sendiri. Dia masih ingin mengepakkan sayap sejauh mungkin. Masih banyak mimpi yang belum diraih.
***
"Sampai kapan engkau akan menolak lamaran Nak Fathir, Yul? Ibu sudah tua, penyakit Ibu semakin parah, Ibu ingin segera menimang cucu." Suara Salma, Ibu Yuliana, halus namun tegas. Yuliana kadang bergidik jika mendengar suara ibunya. Entahlah. Sejak kecil dia tidak pernah merasa aman berada dalam dekapannya. Terkadang bahkan ada pertanyaan aneh berkelebat dalam batinnya. Mungkinkah dia tidak terlahir dari rahim wanita yang selama ini dipanggilnya Ibu? Susah menepis perasaan itu, walaupun Yuliana selalu merasa berdosa setiap kali meragukan ibunya. Atau mungkin itu terjadi hanya karena dia selama ini tidak pernah bisa menyelami perasaan ibunya yang sebenarnya?
Salma terlalu tertutup. Bahkan Yuliana tidak pernah tahu dengan pasti apa sebenarnya profesinya dulu, sebelum akhirnya  mampu membangun wisma seperti sekarang ini.
Setahu Yuliana, dulu ibunya sering pulang larut malam. Kadang diantar oleh lelaki tak dikenal, kadang pula pulang sendiri. Desas desus yang beredar yang kadang membuat Yuliana kecil pulang dari sekolah sambil menangis adalah bahwa ibunya tak lebih hanyalah seorang wanita penghibur.
Tapi  Yuliana tidak pernah menemukan bukti yang membenarkan gosip itu. Setiap kali ditanya, Salma hanya menjawab bahwa dia bekerja di sebuah rumah makan yang buka hingga pukul dua pagi. Yuliana kecil saat itu percaya saja walaupun dia sama sekali tidak pernah melihat tempat kerja ibunya tersebut. Setiap kali dia merengek minta ikut, Salma akan memarahinya dan menguncinya dalam rumah. Saat itu pula, seingat Yuliana, mereka selalu berpindah- pindah tempat tinggal.
            Tamat Sekolah Dasar, Yuliana minta dikirim ke pesantren dan hanya pulang ke Mamuju sekali setahun. Setiap kali pulang, Yuliana menemukan perubahan ekonomi ibunya. Bahkan sejak Yuliana kelas tiga SMP, ibunya sudah bisa membangun wisma walaupun masih sepuluh kamar. Tamat SMA, Yuliana kembali ke Mamuju dan membantu ibunya membenahi wismanya. Sebagai alumni pesantren, Yuliana berusaha sekuat tenaga menerapkan konsep islami dalam mengelola usahanya. Salma sempat protes ketika beberapa karyawan dipecat Yuliana.
"Bu, Ibu tidak ingin kan menjadikan tempat ini pusat maksiat?" tanya Yuliana tak kalah sengitnya.
"Maksud kamu?" Salma sedikit melemah.
"Karyawan yang saya pecat adalah karyawan yang biasa memberikan pelayanan kepada tamu melebihi yang seharusnya.” Salma tidak bisa lagi berkutik.
Selama beberapa tahun tak ada perkembangan berarti dari wismanya. Yuliana tidak putus asa. Dia memutuskan untuk kuliah managemen. Dan selama kuliah dia mempercayakan wisma tersebut kepada sahabat akrabnya di pesantren dulu, Zahra.
Salma sebenarnya tidak setuju. Tetapi karena sudah mulai sakit- sakitan, dia akhirnya hanya menuruti keinginan Yuliana. Terbukti beberapa tahun kemudian wisma tersebut menjadi wisma terlaris di Mamuju. Wisma itu juga terkenal steril dari penyakit masyarakat. Tak ada wanita penghibur di sana. Karyawan wanita  semuanya mengenakan jilbab. Sangat bersahaja.
Sambil mengelola wisma, Yuliana juga tetap konsentrasi mengurus PKBR Gerai Bersama. Diapun masih eksis sebagai penulis. Sudah ada tiga novel yang diterbitkannya. Semuanya laris manis bak kacang rebus.
Ketika itulah seorang lelaki memasuki hidupnya. Yuliana sangat bahagia ketika lelaki itu melamarnya. Untuk pertama kalinya pula Yuliana merasakan betapa hangat pelukan ibu.
"Maafkan Ibu karena selama ini Ibu banyak berbuat salah sama kamu." Bisik Salma tanpa mampu menahan lelehan air matanya.
Hari yang dijanjikan untuk menentukan tanggal pernikahanpun tiba. Yuliana dan Salma deg- degan menunggu rombongan dari keluarga Sang Pangeran.
Namun sesuatu yang di luar rencana dan keinginan manusia tiba- tiba saja terjadi.
"Kau?" mata Ayah Sang Pangeran membulat ketika berhadapan dengan Salma.
"Dia anakmu?" tanyanya. Salma mengangguk ragu. Tanpa memberikan penjelasan apapun bapak itu menarik tangan anaknya meninggalkan Yuliana dan Salma yang hanya bisa menangis.  Yuliana minta penjelasan pada ibunya. Tapi hanya kebekuanlah yang menjadi jawabnya. Yuliana pasrah sambil berharap suatu hari tabir rahasia ibunya akan terkuak. Dan sejak saat itu pula hati Yuliana seakan beku terhadap semua lelaki.
Sekarang ibunya kembali mendesaknya untuk menerima pinangan Fathir. Tapi Yuliana sudah terlanjur terluka. Dia tidak ingin lukanya semakin menganga.
Fathir adalah lelaki yang baik. Dia nyaris sempurna; wajah tampan, gelar akademik tinggi, pengusaha, sabar dan rendah hati. Rasanya tak ada perempuan yang akan sanggup menolak cintanya. Namun hati Yuliana tetap beku. Kesempurnaan Fathir tak mampu mencairkan hatinya. Beragam ketakutan merasuki hatinya. Dia takut dikecewakan lagi. Sampai berbulan- bulan Fathir menunjukkan keseriusannya, namun tetap tak mampu menembus ruang terdalam di hati Yuliana.
"Maaf, Kak. Kita berteman saja." putusnya kemudian. Fathir berat menerima keputusan Yuliana. Sampai beberapa lama dia tetap menebar pesonanya untuk memikat perhatian Yuliana. Sampai kemudian Fathir harus menyerah sendiri setelah diketahui dalam dirinya bersarang leukimia yang sewaktu- waktu bisa saja membuatnya harus rela meninggalkan segala kefanaan dunia ini. Fathir akhirnya meninggal tanpa berhasil mempersunting Yuliana. 
***

Menghempaskan badannya di sofa usang, Romi nampak kelelahan. Kasus pemukulan terhadap rekan wartawan mengusik idealisme jurnalistiknya. Dia tidak bisa diam. Harus ada aksi yang dilakukan untuk menegakkan kebenaran di ranah pers tanah air.
Hatinya menjerit setiap kali melihat rekan- rekannya ditindas. Sama sakitnya ketika dia menyadari bahwa sebagian rekan profesinya juga terkadang melecehkan sendiri profesi jurnalist. Romi benci ketidakadilan. Romi tidak senang ketidakjujuran. Maka dia akan bereaksi ketika pers diperlakukan tidak sebagaimana mestinya.
Suatu hari dia harus berurusan dengan polisi karena memukul teman satu timnya ketika sedang meliput kasus asusila yang dilakukan oleh oknum pejabat. Temannya itu bersikeras tidak ingin mempublikasikan liputannya. Selidik punya selidik, ternyata sang pejabat telah memberikan sejumlah rupiah kepada temannya tersebut agar bisa tutup mulut. Emosi Romi pun memuncak. Dia bahkan memukul rekannya tersebut hingga babak belur yang membuatnya harus berurusan dengan polisi.
             Tapi itu tidak membuatnya kapok. Beberapa kali Romi harus mendekam di tahanan karena pemberitaannya yang kritis dan terkadang menyudutkan pejabat.
"Jika buku dan pulpen adalah modal para pelajar; linggis dan parang adalah modal para petani, maka kejujuran dan keberanian adalah modal bagi para kuli tinta. Maka saya tidak akan pernah menodai kejujuran dan keberanianku." katanya suatu hari di depan penyidik yang memeriksanya.
Romi bahkan tidak pernah peduli sekalipun idealismenya itu membuatnya sering harus berhadapan dengan yang namanya PHK. Dia tidak pernah gentar dipecat. Dia bahkan sering mengundurkan diri dari media tempatnya bekerja karena merasa tidak sevisi.  Pada akhirnya dia memutuskan untuk mendirikan  media cetak walaupun modalnya harus dengan mengorbankan motor antik peninggalan bapaknya.
Maka Romipun menjadi ikon jurnalist idealis. Dia diagung- agungkan oleh para pencinta keadilan, tetapi sebaliknya dibenci oleh para pencinta kecurangan dan kemunafikan.
Sebenarnya tak ada yang istimewa dalam diri Romi, tinggi badannya hanya 165cm, kulit hitam, rambut yang selalu acak- acakan dan hidung yang jauh dari mancung. Kecuali mata elangnya yang telah mampu meluluhkan banyak wanita, dan tentu saja idealismenya yang tak tanggung- tanggung. Dua hal itulah yang menjadikannya istimewa.
Romi dilahirkan dan dibesarkan oleh seorang ibu bersahaja, bernama Hayati. Wanita anggun, cantik, sabar, dan tegar. Pesonanya mampu menghipnotis banyak lelaki. Tapi dia tak goyah. Tetap setia pada suami yang telah lebih dua puluh tahun meninggalkannya tanpa kabar berita. Dia tetap sabar. Pun ketika dia kehilangan anak bungsunya, yang diculik oleh seseorang yang tak dikenal. Dia tetap berusaha tegar. Di tengah penderitaan yang membelitnya, cobaan yang menerpanya dan godaan yang tak pernah usai, dia tetaplah menjadi sosok yang bersahaja.
Romi banyak belajar nilai- nilai kehidupan dari ibunya. Sejak kecil Romi senang ikut ke manapun ibunya pergi. Ke pasar sekalipun. Apalagi setelah anak perempuannya tak kunjung ditemukan, Hayati menjadi takut meninggalkan Romi sendirian di rumah. Maka adalah hal biasa bagi Romi berjalan di tengah terik mentari dari rumahnya ke pasar Terong, tempat ibu Hayati mencari sesuap nasi. Romi kecil dibesarkan di tengah hiruk pikuk pasar dengan segala kekejaman hidup yang ada di dalamnya.
Anak- anak pasar biasanya akan tumbuh menjadi pribadi yang kasar, berani dan berjiwa keras. Hayati menyadari betul bahwa jika sifat itu tidak diarahkan dengan benar sejak kecil, maka bisa saja Romi, seperti kebanyakan anak- anak pasar, akan berwujud preman nantinya. Karena itulah, bagi Hayati, Romi harus sekolah, harus belajar agama. Romi tidak boleh bergaul dengan anak- anak di pasar.
Setiap saat pula, ketika  Hayati dan Romi bercengkerama, maka tak bosan- bosannya dia menitip harap pada anak semata wayangnya tersebut.
"Saat ini hanya kamulah satu- satunya yang Ibu miliki. Jadi Ibu harap suatu hari kelak kamu bisa menjadi kebanggaan Ibu. Belajarlah yang giat, jangan bermalas- malasan. Beribadahlah karena sesungguhnya dengan ibadahlah hati kita akan tenang." nasehat yang sejak di bangku Sekolah Dasar hingga saat ini ketika usianya sudah menginjak angka tiga puluh, selalu didengarnya keluar dari bibir mungil ibunya. Dan itulah yang dijadikan Romi dasar pijakan dalam melangkah, menyusuri jejak-jejak idealismenya di dunia kewartawanan.
***
Rahang Romi mengatup kuat. Tanda ada emosi terpendam yang sudah hampir meledak. Disobeknya lembaran kertas kusut yang ada di depannya.
“Saya menerima kalian bekerja di sini karena saya kira kalian bisa memahami visi misi media kita ini. Tapi ternyata saya keliru. Kalian tega menjual idealisme kalian." Romi tepekur menatap lantai. Keningnya berkerut. Di depannya dua orang reporternya menunduk. Tak ada sepatah katapun yang mampu terucap dari mulut mereka. Mereka diam. Menunggu vonis.
"Kemasi barang- barang kalian." vonis itu akhirnya keluar juga. Pemecatan.
Mereka memelas meminta Romi menarik keputusannya, tapi Romi tidak goyah. Baginya lebih baik membuang sedikit daging yang busuk daripada menyimpannya dan akhirnya baunya menyebar merusak daging yang masih baik.
Bagi sebagian orang, apa yang dilakukan oleh dua reporter yang bekerja di media yang dikelola Romi, bukanlah kesalahan besar. Tapi tidak demikian menurut Romi. Baginya menerima amplop dari narasumber adalah sebuah pelanggaran berat. Terlebih jika amplop itu dimaksudkan untuk memelintir berita yang sebenarnya.
Walaupun banyak orang yang memusuhi Romi karena idealismenya tersebut, namun Romi tak bergeming. Menurutnya tugas utama manusia selain mengabdi kepada tuhannya, adalah saling memperingati.
Karena tidak ingin dicap sebagai bos yang otoriter, yang main pecat karyawan seenaknya, maka Romi memperketat persyaratan dan pelaksanaan tes penerimaan karyawan baru. Sejak berdirinya empat tahun lalu, media cetak yang diberi nama Hayumi  News sudah memiliki sekitar lima puluh karyawan, termasuk yang diberhentikan, meminta berhenti sendiri atau yang pindah ke media lain. Romi tidak hanya menerima orang- orang yang berpengalaman. Dia juga sengaja menerima karyawan magang. Setiap tahun Romi membuka lowongan bagi sepuluh orang yang mempunyai minat di bidang jurnalistik untuk magang di Hayumi News. Tidak hanya memeras tenaganya, karyawan magang ini juga digaji dan diberikan berbagai macam pelatihan. Maka setiap tahun Romi bisa melahirkan jurnalist- jurnalist handal.
Hayumi News  berawal dari keinginan Romi untuk memuaskan dahaganya akan sebuah media yang jujur dan bersih. Di awal berdirinya, Romi hanya berdua dengan temannya, Wawan, yang jago fotografi dan juga seorang lay outer. Dari sentuhan idealisme merekalah lama kelamaan Hayumi News dikenal sebagai koran harian penegak kebenaran dan keadilan. Nama Hayumi sendiri merupakan gabungan antara nama Romi dn dua orang wanita yang disayanginya; adik dan ibunya.
Ibarat bayi, Hayumi News melalui proses yang sangat panjang; tengkurap, duduk, merangkak, berjalan hingga bisa berlari seperti sekarang ini. Perjalanan panjang itu diwarnai dengan aneka kisah; manis dan pahit. Itu adalah hal yang lumrah dalam menjalankan sebuah usaha. Ketika pada akhirnya Hayumi News menjadi kokoh, tegar tak tergoyahkan, itu adalah buah karya keuletan Romi dan teman- temannya.
***
            Salma merasakan nyeri di dadanya. Diliriknya jam yang menempel di dinding. Pukul 17.00. Sebentar lagi Yuliana akan pulang. Salma belum menyiapkan makan malam. Walaupun Yuliana tidak pernah menuntut untuk dimasakkan, namun Salma ingin menebus kesalahannya selama ini. Bertahun- tahun dibiarkannya Yuliana tanpa sentuhan kasih seorang ibu. Setiap hari Yuliana kecil hanya makan mie instant dan telur ceplok karena Salma tidak memasak untuknya. Salma hanya memberinya uang jajan dan memintanya membeli makanan apa saja yang ingin dibeli.
            Tak pernah pula Salma mendendangkan sebuah kidung cinta, atau dongeng penuh petuah sebagai pengantar tidur Yuliana. Bahkan bertahun- tahun Yuliana harus puas tidur seorang diri di atas kasur empuk yang disediakan untuknya, tanpa dekapan hangat seorang ibu ketika Yuliana merasa kedinginan.
            Kini Salma bertekad tidak akan membiarkan Yuliana didera rasa takut sendirian ketika mimpi yang setia menyambanginya sejak masih kecil, datang bertandang kembali.