Selasa, 17 April 2012

KESETIAAN SENJA


Oleh : Mira Pasolong
"Tunggu di sini, ya. Saya tebus obatnya dulu." Seorang nenek berusia sekitar 70 tahun menuntun seorang kakek yang sebaya dengannya untuk duduk di ruang tunggu rumah sakit itu. Mereka berjalan sambil bergandeng tangan. Mereka pastilah sepasang suami isteri. Sang kakek mengangguk lemah, mendudukkan pantatnya di bangku panjang dan melepaskan genggaman tangannya pada sang nenek. Sang nenek lalu bergegas pergi setelah melempar senyum tulus pada suaminya. Tak lama kemudian sang nenek datang dengan wajah sendu.
"Kenapa, Ndi' (1)?" Tanya Sang kakek was- was.
"Uang kita tidak cukup, Daeng (2)." Jawab sang nenek lirih. Ditahannya air mata yang sudah mengambang di pelupuk matanya. Berdua mereka nampak berdiskusi sampai kemudian sang nenek kembali lagi ke loket pembelian obat.
"Secukupnya saja, Nak." Kata sang nenek kepada petugasnya.
"Tidak bisa, Nek. Harus semuanya."  Petugas tersebut menjawab cuek. Sang nenek kelihatan sangat kecewa.
"Kita pulang saja, Daeng. Nanti cari obat di tempat lain saja." sang nenek membimbing sang kakek meninggalkan rumah sakit. Suhu badan sang kakek semakin tinggi. Dia kelihatan sangat lemah. Tapi tak satupun yang ada di rumah sakit itu yang peduli. Sang nenek berusaha keras untuk bisa memapah suaminya. Terseok mereka melangkahkan kaki menuju halte. Dengan erat sang kakek memegang tangan sang nenek, mesra dan romantis di tengah kepiluan yang dengan setia mendera keuzuran mereka. Membuat iri siapa saja yang melihatnya.
            Sesampainya di gubuk reot yang telah mereka tinggali selama bertahun- tahun , sang nenek segera memijat sang kakek. Melumuri badannya dengan obat racikan sendiri, minyak kelapa plus irisan bawang merah. Cahaya matahari senja yang temaram mengintip dari celah- celah dinding bambu rumah mereka, menjadi saksi bisu kebersamaan dan kemesraan sepasang suami isteri  yang sudah diambang senja tersebut.
            Lima puluh dua tahun yang lalu kala sang nenek masih berusia  20 tahun dan sang kakek berusia 23 tahun, mereka berikrar untuk hidup bersama dalam suka dan duka, mengucap seuntai ijab qabul di depan penghulu dengan perhelatan yang sangat sederhana. Binar kebahagiaan tak pernah lepas menghiasi wajah kedua pengantin. Wajah penuh harap akan masa depan yang lebih baik. Berjuta rencana akan hari esok yang manis membangun keluarga Sakinah Mawaddah Wa rahmah dengan anak- anak yang shaleh shalehah.
"Kamu ingin berapa anak, Ndi?" Pengantin pria bertanya malu- malu pada  isterinya. Yang ditanya hanya tersenyum tersipu. Merasa malu dan canggung. Cahaya bulan yang temaram mengintip nakal lewat celah jendela kamar  pengantin baru tersebut. Menambah suasana romantis, dan menjadi saksi terpatrinya kisah kasih dua anak manusia.
            "Saya mau kita bikin kesebelasan, Ndi."Sang suami masih melanjutkan pengharapannya. Kali ini sang isteri mengangguk dan kembali tersipu.
            Empat tahun berlalu, percakapan penuh asa di malam pertama itu belum jua tercapai. Tangis bayi belum juga hadir di tengah- tengah mereka. Tapi mereka tetap mesra dan nampak bahagia. Mereka sadar bahwa semuanya sudah diatur oleh Allah. Bila sudah waktunya, pasti Allah akan memberinya.
            "Yang penting kita tetap berusaha dan berdoa." hibur sang suami setiap kali sang isteri datang bulan. Dan sang isteripun kembali tenang.
            Tahun terus berganti. Belum juga ada tangis bayi di antara mereka.
            "Sudah sepuluh tahun kita menikah, tapi saya belum hamil- hamil juga. Kalau Daeng sudah bosan menunggu, maka saya ichlas Daeng mencari perempuan lain." Sang isteri lirih berbisik pada suaminya. Ada gurat kelelahan, keputusasaan dan kesedihan di wajahnya yang cantik itu.
"Tidak akan pernah. Saya mencintai kamu. Tidak mungkin saya bisa mencintai orang lain."           
"Cobalah dulu, Daeng. Tak ada yang bisa diharapkan dari saya." Ada butiran bening yang mengambang di pelupuk mata sang isteri.
            "Kaulah harapanku, Ndi. Sepuluh tahun mendampingiku tidak ada sedikitpun cacat yang kulihat darimu."
"Tapi sampai kapan Daeng akan bertahan tanpa seorangpun keturunan? Saya sudah capek. Tak kurang- kurang usaha kita. Doapun tak pernah putus. Tapi Allah belum jua mengabulkannya." Percakapan malam itu berlangsung alot. Masing- masing bertahan dengan pendiriannya.  
Bertahun- tahun hal itu senantiasa menjadi bahan perdebatan bagi mereka. Sampai akhirnya saat sang suami merasa bosan disuruh terus menikah, dan dia pun akhirnya memutuskan untuk mengabulkan permintaan isterinya.
            "Sudah lama kau menginginkan saya menikah lagi. Sekarang saya bersedia menuruti keinginanmu. Saya ingin menikah lagi." Kata suaminya di sebuah malam yang dingin.
            "Iya Daeng. Semoga Daeng bisa segera menemukan calon yang tepat." Lirih Sang isteri. Walaupun sebenarnya itu adalah keinginannya namun hatinya tetap merasa sakit. Sakit yang teramat sangat. Dicobanya menahan air matanya. Dia tak ingin kelihatan sedih. Toh, itu permintaannya sendiri. Dingin semakin terasa. Bulan seakan engggan menampakkan diri, bintangpun tak sudi berkedip. Semua seakan tenggelam dalam lirih yang mendera.
            Maka setelah didapat calon yang tepat, sang suamipun menikah lagi. Tidak seperti pernikahan sebelumnya, penikahan kali ini sama sekali tidak membuat sang pengantin prianya gembira. Kesedihan nampak bergelayut di wajahnya yang sarat penderitaan. Belum sekejappun dia bisa membahagiakan isterinya dari sisi materi, dan sekarang dia harus menghidupi isteri yang lain lagi. Lebih dari itu dia tahu bahwa sebetulnya isterinya sangat terluka dengan pernikahan ini. Hari- hari terlewati dengan penuh warna. Sang suami sering kali kebingungan dan uring- uringan karena dia merasa isteri pertamanya semakin jauh darinya. Padahal sungguh, cintanya tak sedikitpun berkurang padanya.
            "Kenapa kamu menjauhiku?"
"Maaf Daeng. Saya ingin Daeng cepat- cepat punya momongan supaya Daeng bisa bahagia. Janganlah saya jadi penghalang kalian."
"Bahagia katamu? Kebahagiaanku adalah bersama kamu. Jadi mustahil saya akan bahagia jika kita berjauhan begini."
            Hari- hari mereka semakin sulit. Dua tahun sudah sejak pernikahan kedua itu, tapi belum juga seorang anakpun terlahir. Sang suami mulai bosan. Bosan dengan keadaan dirinya. Sang isteri pertama sudah enam bulan pulang kampung, membuatnya setiap hari terlewati dengan merindui sang pujaan. Sementara sang isteri kedua juga tidak bisa memberinya apa- apa. Tidak  cinta, tidak juga anak. Padahal harta mereka yang hanya berupa sepetak sawah yang tidak terlalu luas sudah terjual untuk dipakai berobat ke mana- mana demi mendapatkan seorang anak.             Sang suami semakin kalut. Isteri yang dicintai pergi, sementara isteri yang ada di dekatnya tidak bisa memberinya ketenangan apapun. Pikirannya menjadi kalut.  Dia berusaha untuk menemukan isterinya kembali, tapi isterinya hilang bagai di telan bumi. Akhirnya diapun pasrah. Kmbali ke isteri keduanya, berteman dengan kehampaan.
            Rasa hampa, sedih, putus asa dan beragam rasa lainnya, membuatnya semakin kalut. Dia tidak bisa berpikir waras lagi. Segera diceraikannya isteri keduanya. Dia kemudian meninggalkan kampungnya, mengembara entah ke mana. Dalam pengembaraannya, entah sudah berapa perempuan yang dia nikahi. Namun tak satupun pernikahannya yang bertahan lama. Dia dengan seenaknya saja akan meninggalkan isterinya, jika sudah merasa jenuh. Hal itu dilakukannya selama bertahun- tahun. Dia yang dulunya merupakan lelaki yang sangat menghormati dan menyanjung perempuan, kini berubah total. Semuanya karena luka yang menderanya sepeninggal isteri pertamanya.
            Dalam pengembaraannyapun sebenarnya dia berharap bisa menemukan isterinya lagi. Namun sampai bertahun- tahun kemudian, dia tak juga kunjung bisa mendeteksi jejak isterinya.
            “saya akan tetap mencari kamu, Ndi. Sampai nyawa ini terpisah dari raga.” Sumpahnya.
            Segala hal yang telah digariskan oleh Allah pasti akan terjadi. Karena kehendak Allah jualah akhirnya dia  bisa menemukan isteri pertamanya setelah bertahun- tahun berpisah.
            Sore itu pada sebuah terminal yang tak pernah berhenti berdetak, seperti biasa, dia melakukan pekerjaannya sebagai kuli angkut barang. Dari jauh dia melihat seorang wanita kerepotan membawa barangnya. Diapun segera mendekati dan menawarkan jasanya.
            “biar saya bantu, Bu.” Tawarnya. Perempuan itu mengangkat mukanya. Pandangan mereka bertemu. Mereka saling bertatapan. Lama. Keduanya terpukau tanpa ada yang sanggup berkata. Bahkan barang-barang di tangan perempuan itu terlepas tanpa disadarinya. Sedetik. Dua detik. Detak jantung merekapun seakan berhenti berdetak.
            “Daeng?” akhirnya perempuan itu mampu juga bersuara. Diaturnya nafasnya yang tiba- tiba saja terasa sesak. Bertahun- tahun dia menyembunyikan diri dari lelaki yang sekarang berdiri di depannya. Bertahun- tahun dia menyembunyikan rasa rindunya. Pada akhirnya, Allah mengirim lelaki itu kembali ke hadapannya.
            “Kamu banyak berubah, Ndi.” Lirih suara lelaki itu.
            “Tapi ada satu yang tak berubah. Cintaku pada Daeng.” Suara perempuan itu serak. Air matanya kini menggenang di pelupuk mata, seakan hendak mengabarkan duka yang selama ini dipendamnya.
Maka sejak saat itu, diusia yang sudah menjelang senja, mereka kembali berikrar untuk bersama selalu. Hanya ajal yang bisa memisahkan mereka. Kebahagiaan yang tiada tara mereka rasakan setelah mereka kembali dipersatukan dalam ikatan pernikahan yang suci.
            Walau senja telah mulai menyapa usia mereka, wajah tak seindah dulu lagi, badanpun sudah mulai rapuh, namun mereka tetap berusaha membingkai rumah tangga mereka dengan cinta dan kesetiaan. Walau tanpa buah hati penerus garis keturunan, namun mereka tetap merasa bahagia. Mereka senantiasa berkhusnu'zon bahwa Allah tidak memberi mereka keturunan karena Allah tidak ingin mereka meninggalkan keturunan- keturunan mereka dalam keadaan lemah dan hanya mewariskan kemiskinan dan penderitaan. Kini mereka sudah lebih dua puluh tahun merajut kembali rumah tangga mereka.
"Sudah agak baikan, Ndi. Suhu badanku sudah turun. Tapi dadaku masih sakit" Kata sang kakek sambil batuk- batuk kecil setelah selesai dipijat.
            "Saya parutkan jahe, ya Daeng. Insya Allah bisa mengurangi sakit di dada." Kata sang nenek sambil berdiri dan menyeret langkahnya menuju dapur. Parutan jahe itu nantinya dibalurkan ke dada. Sang kakek mengangguk sambil merebahkan kepalanya di bale- bale bambo yang berfungsi sebagai tempat tidur sekaligus meja makan.
 Cahaya matahari sudah tak nampak lagi. Senja telah berlalu meninggalkan malam. Kini sang malamlah yang menemani pasangan renta ini. 
"Daeng, ini jahenya sudah siap." Sang nenek duduk di samping suaminya dan mulai membalurkan parutan jahe yang dibuatnya ke dadanya . Sang nenek tiba- tiba tersentak.Tak ada jawaban atau reaksi apapun dari suaminya.  Dada si kakek juga terasa dingin.
            "Daeeeeeg.... Daaeeeeng ,jangan tinggalkan saya. Saya tidak mau sendirian, Daeeeeng. Saya tidak mau berpisah lagi." Sang nenek berteriak histeris. Suaranya menggema, membahana, memecah keheningan malam yang sudah mulai larut. Hawa dingin yang menusuk tulang menghembuskan angin kesedihan. Bulan yang enggan menampakkan senyum membawa pesan kepedihan. Lolong anjing di kejauhan mengabarkan berita  pilu pada dunia bahwa sepasang anak manusia yang saling mencinta dan saling setia telah dipisahkan oleh sang maut.

Catatan :
(1). Ndi berasal dari kata Andi ; panggilan yang berarti Adik. Biasanya dipakai seorang suami untuk memanggil isterinya.
(2). Daeng adalah antonim dari kata Andi. Jadi Daeng berarti Kakak dan biasanya dipakai seorang isteri untuk memanggil suaminya.

CATATAN : Cerpen ini dimuat dalam buku antology cerpen romantis "LOVE AUTUMN" terbitan DIVA PRESS, 2011