Minggu, 24 Agustus 2014

MEMAGUT SEPI



Oleh : Mira Pasolong
(dimuat di Harian Fajar, Edisi Minggu tgl 03 Agustus 2014)
“Sa, untukmu, ujung dunia tak terasa jauh. Aku akan tetap mengejarmu. Itu janjiku.” Kau menjajari langkahku.
            “Maaf kalau belum kurasa seriusmu. Semua masih kabur dalam hijab rasa tak terkata.” Sergahku. Kulewati koridor kampus dengan kecepatan di atas normal. Ingin segera berlalu dari hadapanmu. Tapi kaupun turut memperlebar langkah.
            “Aku tak pernah lupa pada apa yang telah kuikrarkan, Sa.” Daun telingaku memerah. Marah. Tak tahu harus dengan apa mengusirmu dari sini.
            “Jangan keras kepala. Aku tahu, cinta itu masih milik kita.” Kau kembali memaksa. Mencoba menghadirkan bayang cinta monyet masa SMA kita.
Aku berlari-lari kecil. Dari jauh nampak Indra berjalan mendekat. Inilah kesempatan untuk berlalu darimu. Kesalahanmu tak termaafkan. Aku pengagum kesetiaan.
***
            Tapi siapakah yang mampu mengingkari hati? Rindu itu selalu menjelma dalam angan yang memagut sepi. Rindu padamu. Kita diwisuda dan tak pernah lagi ada semilir yang membawa beritamu.
Hingga hari itu, delapan tahun yang lalu, setelah berpisah hampir lima tahun, tanpa rekayasa, kita bertemu kembali pada sebuah acara dialog. Sebuah organisasi kepenulisan mempertemukan kita. Saat berjabat tangan denganmu, ada degup indah yang diam-diam kembali mengguncang dada. Sementara kini, di sisimu, berdiri anggun wanita berparas seindah purnama. Di sampingkupun, mendampingi dengan setia seorang pangeran, Indra.
            “Ini pertemuan yang terlambat, Sa.” Bisikmu saat kita berdampingan di atas forum. Aku yakin, saat itu, mata bidadarimu dan juga mata pangeranku membelalak melihat kita saling berbisik. Atau bahkan mungkin sudah tersulut api dalam dada mereka berdua. Tapi kita acuh. Tetap asyik dengan canda gurih, sebelum moderator mempersilahkan kita, secara bergantian, berbicara.
            Setelah itu, tak ada lagi persinggungan. Pertemuan yang terlambat itu, seakan tanpa kesan. Kita melangkah, menapak di hidup masing-masing. Lebur dalam kesibukan yang tak berujung.
            Namun kalimat terakhir yang kau bisikkan sebelum kita berpisah hari itu, seakan duri yang menggerogoti hati. Betapa binar cinta tak mampu kusembunyikan, betapa degup jantung tak mampu kukendalikan, saat dengan wajah sendu engkau mengucap janji itu. Sebuah janji yang mungkin terlontar di luar kesadaran.
            “Love will lead me back. Believe me!” Bisikmu sepintas saat melangkah di sampingku. Sedetik kemudian, tangan bidadarimu telah kau genggam. Berlalu. Diantar oleh gamang yang kau cipta dalam sekejap. Aku mengawang di alam mimpi. Genggaman tangan pangeranku, yang mengajakku pulang, tak mampu membangunkanku, dari mimpi yang melenakan itu.
***
            Dan aku percaya pada bisikanmu itu. Tetap percaya. Pun jelita purnama telah mengantarai kita berbilang puluh. Tahukah kau? Jingga lembayung senja, rinai hujan, riak sibuk para penjaja makanan, desah ombak, kerlip nakal lampu. adalah kenangan yang selalu mekar merona dalam hati. Kenangan saat kita masih berseragam abu-abu. Saat belum jelas bagi kita bagaimana rupa cinta sejati itu.
Siksakah yang aku undang dalam hidupku, menanti seseorang yang telah bertahta di atas mahligai cinta perempuan lain? Duh, penantian ini tak lagi kuanggap siksa. Ia lebih merupa rutinitas yang melengkapiku. Maka tak ada alasan untuk memalingkan hati hanya karena pengembaraanmu yang entah kapan bermuara di samudera hatiku.
Aku menikmati penantianku sebagaimana orang-orang menikmati kebersamaan dengan orang yang dicintainya. Aku tahu, penantian ini bagaikan menanti setetes air dari langit di tengah kemarau yang menggigit. Hampir mustahil. Tapi bisikanmu sungguh telah tertanam di lubuk hati terdalam. Walau aku sendiri tidak tahu, dengan apa kau akan datang memenuhi janji itu. Meninggalkan bidadarimu, dan kemudian aku berpaling dari pangeranku? Rasanya masalahnya tak akan sesederhana itu. Ada jiwa-jiwa lain yang harus dipikirkan.
Kebahagiaan? Ah, sudah lama kata itu kuhapus dari kamus hatiku. Bahagiaku adalah bersamamu. Sejak hari itu. Kau mungkin tak akan pernah tahu, betapa rindu yang ada telah kularung ke dasar mimpi yang paling ghaib. Aku tak ingin lagi riak yang menggetarkan itu menyambangi sepiku. Biarlah pergimu menjadi penanda bahwa aku telah bersekutu dengan sepi. Bahkan aku tak peduli saat orang-orang menganggapku gila, karena sering tersenyum dan berbicara sendiri dalam sepi yang memagut. Indra, lelaki yang terpaksa kuterima menjadi suamiku, dan telah memberiku seorang anak, tetap setia mendampingi.
“Bawalah aku pergi ke sebuah oase bernama damai. Ingin kulebur diriku dalam hening tanpa riuh. Ingin kuurai segala cemarut, agar bahagia teranyam.” Kataku, sambil menatap lirih bulan bulat penuh yang di mataku sangat memikat.  Di sampingku, Indra dengan sabar menunggu hingga aku beranjak ke dalam rumah yang sudah kutempati hampir delapan tahun. Tak lama setelah pertemuan kita. Selalu begitu.
***
            Bayangan-bayangan itu mengejarku. Sesosok bidadari berwajah sendu, pangeran berwajah teduh, dan lima anak kecil yang tampan dan cantik. Wajah-wajah yang memelas padaku, dan lalu marah karena aku tetap pada pendirianku, memelihara rindu terlarang ini. Bidadarimu, pangeranku, dan anak-anak kita.
Mereka terus mengejar. Tak peduli seberapa lelah tubuh ini. Aku terseok membawa kaki yang berdarah teriris jeruji besi yang kulompati. Bayangan-bayangan itu kini semakin dekat dan menjelma monster yang siap menerkamku. Aku lemas tak bertenaga. Sekuat tenaga kupaksakan berteriak. Aliran darah di kaki semakin menderas. Keringat dingin mengucur tak kalah derasnya.
            “Shasa, bangun. Bangunlah, Nak. Kau mengigau lagi.” Sebuah tepukan lembut membangunkanku dari mimpi yang telah bertahun-tahun bertandang ke alam bawah sadarku. Bahkan aku semakin gamang, tak mampu membedakan antara mimpi dan dunia nyata.
            “Mimpi itu lagi?” Tanya Ibu lembut. Aku mengangguk dan melabuhkan tangisku di pelukan Ibu.
            “Sudahlah, Nak. Kasihan suamimu. Ia kehilangan semangat, melihat kau seperti ini. Sudah hampir delapan tahun.” Aku tersentak. Ibu menangis di depanku. Kupandangi dipan berseprei putih yang kutempati. Seorang perempuan muda berseragam putih berdiri di samping Ibu. Aku mencari suamiku. Juga anakku. Namun tak seorangpun yang kutemukan.
            “Indra dan Aldi di mana, Bu? Saya ada di mana?” Kepalaku berputar pusing, dan kemudian yang ada dalam bayanganku hanyalah gelap, lalu suara panik seorang perempuan yang memanggil dokter.
***
PROFIL SINGKAT

Mira Pasolong,  lahir di Selayar, sebuah pulau kecil di selatan Sulawesi Selatan,  pada tanggal 4 Maret. Sejak kecil senang membaca dan menulis. Beberapa tulisannya  berupa Cerpen, Puisi dan artikel dimuat di surat kabar lokal Radar Sulbar dan Fajar Makassar. Sampai sekarang tetap aktif menulis novel dan cerpen. Bulan Juni 2010 yang lalu, naskah novelnya berhasil menjadi juara III pada Sayembara penulisan buku pengayaan yang diadakan oleh Pusat Perbukuan untuk kategori NOVEL SMA. Novelnya yang sudah terbit berjudul SINGGASANA TAK BERTUAH dan SIMPUL HATI. Sementara novel PURNAMA DI LANGIT BISSORANG masih dalam tahap cetak. Karyanya juga tergabung dalam beberapa antologi bersama. Sehari- harinya bekerja sebagai Guru Bahasa Inggris di SMK Negeri I Rangas Mamuju. Bagi yang ingin berkomunikasi silahkan add FB atas nama Mira Pasolong.


CINTA TAK TERGADAI



Oleh : Mira Pasolong
(tergabung dalam buku antologi Wanita Kedua)
Aku menyeret kaki perlahan. Tenagaku sudah nyaris habis terkuras. Namun aku harus sampai di rumah Bu Aji, orang terkaya di kampung ini. Hanya dia yang bisa membantu.
Terik matahari tak kupeduli. Panas telapak kaki tanpa alas tak kuhiraukan. Yang ada dalam pikiranku sekarang bagaimana anak- anakku bisa makan hari ini. Pun aku harus memikirkan bagaimana menyembuhkan sakit suamiku.
"Kamu punya barang apa yang bisa jadi jaminan?" akhirnya sampai juga aku di hadapan Bu Aji. Meski sambutannya kurang bersahabat, namun aku mencoba menghadapinya dengan sabar.
"Hei, kenapa kamu diam saja? Kamu tahu kan tidak ada yang gratis di dunia ini?" lanjutnya ketus melihat aku hanya terdiam menunduk di depannya. Aku menggeleng sambil menatap kantongan kresek di depanku.  Selembar baju terbaikku. Baju yang dibelikan suamiku di hari ulang tahun pernikahan kami yang ke lima bertahun silam.
Berat rasanya harus melepaskan baju itu. Aku tahu di setiap ruas benangnya, ada tetes keringat suamiku. Berbulan- bulan dia menata lembar demi lembar uang hasil jerih payahnya, hingga kemudian cukup untuk sehelai baju itu. Dan di suatu pagi, ketika burung sedang berkicau riang mengintip mentari yang mulai menyembul malu- malu, suamiku menghadiahiku sebuah bingkisan. Selembar baju merah hati bergambar dua hati. Indah. Seindah talu hatiku ketika baju itu menyentuh kulitku.
“Ini hadiah atas kesabaranmu. Terima kasih telah rela mendampingiku. Terima kasih atas ichlasmu menelusuri lembah penuh derita bersamaku. Tetaplah menjadi ratuku. Walau istana kita hanya berdinding bilah- bilah triplex bekas, berlantai tanah dan beratap seng karatan. “ katanya sembari menggenggam tanganku lembut. Anak yang sedang ada di kandunganku menggeliat. Bangga memiliki ayah yang penuh kasih. Suamiku memang  romantis.
Sampai kemudian petaka itu menimpa kami. Tangan- tangan kokoh suamiku tak lagi mampu pun sekedar memeluk tubuhku. Tapi aku tahu tangan cintanya selalu bisa merengkuh hatiku. Aku kemudian harus menggantikan tugasnya. Mengais rezeki agar asap di istana kami tetap mengepul. Aku tak punya keterampilan yang bisa jadi bekal mencari lahan penghasilan. Aku juga tak punya modal untuk membuka usaha. Maka satu persatu barang yang kami punya melayang dan menjelma menjadi seliter dua liter beras. Baju hadiah dari suamiku adalah harta paling berhargaku. Tapi aku tak punya pilihan lain. Tak ada lagi yang bisa digadaikan. Aku hanya punya cinta dan kasih sayang yang terbingkai indah dalam hatiku. Tapi itu tidak akan kugadaikan. Sesulit apapun diriku. Maka baju itulah pilihan terakhirku.
“Saya hanya punya baju ini.” Jawabku lirih. Kuangsurkan tanganku memberikan bungkusan di tangan. Bu Aji menatapku semakin sinis. Mungkin di matanya aku ini srrupa benalu yang gemar menyebar di reranting yang kokoh. Aku mencoba bertahan.
"Saya bisa kerja jadi pembantu di sini, Ji." lanjutku menawarkan diri. Sejenak Bu Aji nampak berpikir.
"Dengan perut membuncit begitu?" sinis dia memandang ke arah perutku yang memang sudah kelihatan buncit. Aku sedang mengandung anakku yang ke lima.
Kuseret kembali langkah kakiku dengan lemas. Tak ada lagi yang bisa diharapkan. Aku beranjak meninggalkan rumah Bu Aji, diiringi tatapan yang entah bermakna apa. Air mataku perlahan  menetes. Menembus celah pori – pori wajahku yang tak pernah tersentuh bedak. Empat anak yang masih kecil dan suami yang terbaring tak berdaya, sekarang sedang menantikan kedatanganku. Mereka pasti sudah kelaparan. Dan hanya akulah harapan mereka satu- satunya.
Sepintas terlintas tawaran Pak Makmur, juragan terkaya di kampong kami. Entah. Tiba- tiba saja tawarannya bermain di relung pikirku. Terngiang kalimatnya yang diucapkan dengan nada penuh harap.
“Kamu masih muda, Salma. Cantik lagi. Rasanya tidak pantas kamu berkubang dalam lubang nestapa.” Katanya sambil menatapku tanpa kedip. Ketika itu aku menjadi tukang cuci di rumahnya. 
“Tapi saya ichlas melakukannya, Pak. Karena saya mencintai suami dan anak- anak saya.” Tegasku. Pak Makmur tertawa. Suaranya menggelegar serupa guntur. Aku bergidik mendengarnya.
“Menikahlah denganku dan kamu akan bahagia.” Katanya kemudian tanpa basa basi. Aku terkesima. Ada kebencian yang tiba- tiba saja berkelebat di hatiku. Kulapadzkan istighfar untuk meredakan gejolak yang menyeruak di hati. Aku muak mendengarnya. Tapi aku tidak boleh memperlihatkan rasa itu. Bagaimanapun juga pria bertubuh gembur ini adalah majikanku.
Dan hari itu menjadi akhir karierku sebagai tukang cuci di rumah Pak Makmur. Aku tidak ingin mengambil resiko yang nantinya akan mencipta retak pada bangunan rumah tanggaku. Walau aku tahu tidaklah gampang mencari pekerjaan. Dan sejak saat itu aku tdak punya pekerjaan tetap.
Kucoba mengusik ingatan yang tiba- tiba saja datang menyapa. Aku tidak boleh memikirkan tawaran tidak masuk akal itu. Aku mencintai keluargaku. Dan aku tahu suami dan anak- anakku pun sangat mencintaiku. Maka cukuplah cinta kami menjadi penyemangat untuk bisa tetap mengais rezeki di jalan yang Allah ridhoi.
"Ya, Allah, bimbinglah hamba- Mu ini agar tak salah langkah." doaku dalam galau yang teramat pedih.
***
Sudah lebih dari sepuluh menit aku berdiri di depan pintu rumah bercat hijau lumut ini. Berkali- kali kuketuk pintunya, namun  belum juga ada yang beranjak membukanya. Padahal bunyi televisi, suara piring beradu, dan wangi masakan menunjukkan bahwa rumah ini sedang tidak kosong. Perutku semakin kriuk ketika wangi masakan dari dalam rumah mewah itu semakin menusuk hidungku.
Ini rumah ke sembilan yang aku datangi. Setelah dari rumah Bu Aji, aku memutuskan mendatangi beberapa rumah yang kuanggap sangat layak untuk berbagi dengan orang seperti aku. Tapi belum satupun yang terketuk jiwanya melihat keadaanku. Bahkan beberapa di antara mereka mengira aku berpura- pura hamil.
Yang lebih mendera nyeri hatiku,  di rumah ketiga tadi, hatiku menjerit lara mendengar kalimat- kalimat bahkan tindakan pelecehan dari lelaki pemilik rumah tersebut.
Lelaki tersebut sedang sendirian. Entah isterinya berada di mana. Sempat hatiku riang ketika pintu rumah terkuak pada ketukan yang pertama. Tapi ternyata bukan hati tulusnya yang membuat pintu rumahnya terbuka, tetapi karena nafsu bejadnya.
Dengan ramah dipersilahkannya aku duduk di kursi empuknya, ketika aku memilih duduk di lantai. Aku menurutinya. Namun hatiku menjadi tidak tenang ketika melihat dia mengunci pintu.
"Ibu pasti membutuhkan sesuatu kan?" tebaknya jitu sambil mengerling nakal. Perasaanku semakin tidak enak. Mungkin dari penampilanku yang kumuhlah sehingga dia bisa menebak bahwa aku tak lebih hanyalah seorang pengemis. Duh, sakit rasanya hati ini. Aku ingin berlari dari tempat itu, namun lagi- lagi bayangan suami dan anak- anakku seakan menahanku.
"Maaf, Pak, Ibu ada di rumah? Saya mau menawarkan baju ini." kataku memberanikan diri sambil menyodorkan kantongan yang kupegang. Dia tidak menjawab pertanyaanku, malah beranjak duduk tepat di sampingku.
"itu gampang, Bu. Saya bahkan bisa memberi  uang berapapun yang Ibu minta, asalkan......." kali ini kalimatnya menggantung, tapi tangannya sudah menunjukkan apa maksud kalimatnya. Harga diriku terasa terkoyak- koyak. Segera kutepis tangan lelaki tak berperasaan itu. "tidak usah marah, Bu. Ini kalau Ibu mau. Daripada Ibu kelaparan." lanjutnya. Kali ini dikibas- kibaskannya uang ratusan ribu. Lima lembar. Hatiku galau. Bahkan selembar uang plastik merah itupun tak pernah mampir di tanganku.
Bayangan wajah anak- anakku yang kelaparan, suamiku yang kesakitan, kembali menggodaku. Uang itu jauh lebih dari cukup bagiku. Hatiku berperang. "terima saja tawaran lelaki itu. Toch hanya sekali ini dan juga demi keluargamu." suara hatiku sumbang.
"Jangan. Takutlah kepada Allah. Bukan lelaki ini yang akan memberi kamu rezeki, tetapi Allah." suara bening sudut hatiku yang lain.
"Bagaimana, Bu?" melihatku terdiam lelaki itu semakin berani. Aku menarik nafas panjang. Terbayang kegigihan suamiku bekerja apa saja asalkan halal, sebelum dia terbaring dalam sakitnya yang tak kunjung sembuh. Teringat nasehat- nasehat bijaknya. Terbayang betapa sayang dia padaku dan anak- anak kami. Hatiku mendadak mantap menentukan pilihan. Menolak. Tapi bagaimana caranya? Lelaki itu kini semakin berani.
Wajah teduh suamiku melambai di pelupuk mataku. Senyum  tulusnya seakan memompakan berjuta energi padaku. Tiba- tiba aku berteriak meminta tolong  sekuat tenaga. Lelaki itu kaget dan refleks menghentikan aktifitasnya. Pada saat yang bersamaan, seorang pembantunya segera berlari tergopoh- gopoh dari dalam. Rupanya dia terkejut mendengar teriakanku.
Alhamdulillah akhirnya aku bisa lolos dari rumah itu. Lelaki yang hampir saja mengoyak kehormatanku itu beralasan kepada pembantunya bahwa aku orang gila yang kesasar.
Tak apalah. Yang penting sekarang aku selamat. Allah telah menjaga diriku, dan cintaku yang tetap utuh dalam bingkai hatiku. Maka dengan sisa tenaga yang ada, aku melanjutkan perjalanan.
***
Sekali lagi kuketuk pintu rumah tersebut. Entah mengapa hatiku yakin penghuni rumah ini beda dengan delapan rumah sebelumnya. Akhirnya pintu rumah itu terkuak. Sosok cantik berjilbab lebar kini berdiri di depanku, dengan senyum ramah nan renyah. Menjabat tanganku tanpa rasa jijik dengan keadaanku, mempersilahkanku masuk dan segera menyuguhiku segelas sirup dingin. Sejuk terasa mengaliri seluruh persendian tubuhku.
"Ibu ada perlu apa?" tanyanya masih dengan keramahan yang sama. Aku menyodorkan kantongan yang kupegang sambil menjelaskan maksudku.
"Ibu belum makan?” Tanyanya lagi. Kantongan itu dibukanya. Aku menggeleng.
"Sholat Ashar?" kali ini akupun menggeleng. Tersentak aku melihat ke arah jam besar yang tergantung di dinding. Astagfirullah. Hampir saja aku melupakan kewajibanku pada Allah. Ibu yang baik hati itu segera menuntunku ke dalam rumahnya untuk sholat dan kemudian dia menyuguhiku makanan. Masakan yang wangi tadi itu sekarang terhidang di hadapanku. Nikmat. Aku sudah akan menyuap ke mulutku, ketika tiba- tiba terbayang mulut- mulut kecil anakku yang sedang kelaparan.
"Bu, maaf, bisa saya bungkus saja yang di piring saya ini?" Ibu itu terkejut. Ada keheranan bermain di pelupuk matanya.
"Saya tidak tega, Bu. Anak- anak dan suami saya sedang kelaparan di rumah. Biarlah kami makan sama- sama di rumah." jawabku sambil menahan rasa malu. Ibu itu tersenyum mengerti. Dengan wajah penuh ketulusan, dia membungkuskan makanan untukku, bukan hanya yang tadi ada di piringku, yang belum sempat aku makan, tetapi dia juga menambahkannya hingga mungkin akan cukup untuk kami makan dua kali.
"Jika tidak keberatan, Ibu bisa membantu- bantu saya di sini setelah melahirkan nanti." tawar Ibu yang ternyata bernama Yanti itu dengan ramah. Aku terkesima. Dan tanpa pikir panjang menyanggupinya.
"Ini ambillah sedikit untuk Ibu." kembali aku terkejut melihat lima lembar uang seratus ribu disodorkan padaku.
“Dan baju ini, ambillah. Ibu lebih membutuhkannya.” Lanjutnya sambil mengangsurkan kantongan yang tadi aku berikan padanya. Air mata ini tak terbendung lagi. Kupeluk erat- erat kantongan itu, seakan isinya adalah sesuatu yang sangat berharga. Aku bahagia, baju itu tetap jadi milikku. Baju merah hati bergambar hati hadiah dari suamiku.
Aku bersujud syukur. Allah maha melihat, Allah sungguh maha pengasih.  Terbayang jerit kelaparan anak- anakku dan keluh kesakitan suamiku akan segera tergantikan senyum indah di wajah- wajah mereka.
***
BIODATA SINGKAT PENULIS
Mira Pasolong,  lahir di Selayar pada tanggal 4 Maret. Sejak kecil senang membaca dan menulis. Beberapa tulisannya  berupa Cerpen, Puisi dan artikel dimuat di surat kabar lokal Radar Sulbar dan Harian Fajar Makassar. Sampai sekarang tetap aktif menulis puisi dan cerpen. Penulis berhasil meraih Juara III Sayembara Penulisan Buku Pengayaan Tk. Nasional 2010 untuk kategori NOVEL SMA pada Sayembara penulisan Buku pengayaan yang diselenggarakan oleh Pusat Perbukuan Kementerian  Pendidikan Nasional. Buku yang sudah terbit adalah Singgasana Tak Bertuah (Novel). Bisa dihubungi via e-mail: pmirawati@yahoo.com dan Facebook atas nama Mira Pasolong.


WANITA PUALAM



Oleh: Mira Pasolong
(Tergabung dalam buku antologi Cerpen Move On)
Bulir bening itu mengalir deras.Isak menyayat sesekali terdengar.Bukanlah lemahnya sehingga air mata itu harus terkuras.Tidak.Sekali-kali tidak.Air mata yang menderas itu adalah bukti bakti.Air mata itu bukti kasih.Air mata itu tonggak yang memapah tubuhnya ketika dia terhuyung. Andai cintanya sudah pupus, maka dia yakin air mata itupun akan enggan pula mengalir. Cinta itu masih merah jambu, seperti ketika masih berumur delapan belas tahun, karenanya, air mata pun masih setia mengalir.
            “Kita menikah, ya.Aku akan menemui orang tuamu.”Lelaki itu berkata tegas.Sangatgentle.Wanita berusia delapan belas tahun itupun tersihir dan hanya mampu menggerakkan kepalanya ke atas.Setuju.Gayung bersambut.Dua bulan kemudian mereka sudah menyatu dalam sebuah naungan cinta bernama rumah tangga.Bahagia.Selama bertahun-tahun hanya kata itu yang mewarnai hari-hari mereka. Semakin lengkap ketika lima tahun kemudian dua nyawa kecil bersandar pada naungan kasih sayangnya. Pasangan ideal dengan dua anak yang lucu-lucu.Sampai bertahun-tahun kemudian, ketika dua nyawa kecil itu telah beranjak dewasa, bahagia tetap setia menemani mereka.
            Hingga akhirnya, “Bu, minggu depan aku dilantik jadi kepala dinas.” Katanya berapi-api sambil memeluk isterinya.Dan mulailah dia dengan ritme kehidupan yang baru.Semakin lama semakin tenggelam dalam dunianya.Tak ada lagi jeda sejenak untuk sekedar membawa secawan canda bagi isteri dan dua anaknya.Tapi wanita itu tetap sabar.Mencoba mengerti.Mencoba menimbang rasa syukur dari setiap bulir air yang jatuh dari kelopak matanya. Pun ketika suatu hari dia mengetahui bahwa ada mahligai lain tempat suaminya  bertahta. Air bening itu tetaplah jadi penyemangatnya.
            Dua putri cantiknya tumbuh mengagumkan.Di sela isak yang semakin nyaring terdengar, selalu terselip seutas senyum untuk dua bidadarinya itu.Sesakit apapun hatinya, anak-anaknya tidak boleh tahu.Dia harus tetap tampak tegar dan kuat di hadapan mereka.Dia harus menyelamatkan jiwa anak-anaknya dari keterpurukan karena keadaan orang tuanya.
            Maya, nama perempuan berhati pualam itu. Dia adalah super hero.Wanita lembut yang tegar.Reranting rapuh justru terlukis di jiwa suaminya kini.Post power syndrome. Itu mungkin yang menyerang suaminya menjelang ulang tahunnya yang ke lima puluh lima. “Di mataku engkau tetaplah lelaki perkasa.”Gumamnya tanpa berani dilafadzkan di hadapan suaminya. Peristiwa beberapa tahun terakhir cukuplah membuatnya mengerti kalau suaminya tak lagi rindu akan nada-nada kasih yang selalu dinyanyikan lembut selama ini. “Mungkin ada hati lain yang bisa memberi kebeningan baginya.” Dia masih ber-positif thinking.Berharap mahligai kedua itu bisa menguatkan suaminya.
***
            “Apa? Pensiun?” suara seorang  wanita cantik. Histeris.  Mengiris jantung lelaki tua menjelang lima puluh lima tahun itu. Membuat miris.Kepalanya mengangguk mengiyakan.Ledakan suara selanjutnya lebih dahsyat.”Lantas apa yang bisa kau berikan padaku setelah ini?” geramnya.Membuat lelaki itu gemetar.Dia butuh tempat bersandar.Tapi semuanya nampak rapuh.Tak ada yang cukup kokoh yang bisa menopang tubuhnya. Hiasan-hiasan keramik dari kristal mahal memenuhi ruangan tempatnya berdiri. Dia tak boleh menyentuhnya.Dia tak boleh menyandarinya.Petakalah baginya jika sampai keramik itu pecah.
            “Kamu harus belajar hidup sederhana.”Suaranya membuat wanita cantik itu semakin kalap, menyambar, melalap semua yang ada di sekitarnya.Bukannya dia tak memahami tabiat isteri mudanya itu.Sejak awal menikahinya dia sudah tahu.Tapi kilau kecantikan fisik mengalahkan pikiran sehatnya.Bahkan setelahnya dia mati rasa.Dia hanya mampu merasakan kenikmatan duniawi, tanpa ketenangan ukhrawi. Terlena dengan jabatan, tenggelam dalam pelukan istri muda yang jelita, berkubang dalam liang dosa tak berkesudahan.
            Mata hatinya buta.Silau oleh pesona duniawi.Semua kemauan isteri mudanya dituruti.Dua anaknya tak pernah lagi merasakan hangat kasihnya. Terlebih lagi isteri tuanya yang juga sudah menua dimakan usia. Tak ada lagi yang mampu menarik hatinya untuk selalu berada di antara mereka.Waktunya hanyalah buat pekerjaan dan isteri mudanya.
“Kita cerai.”Dengan ringan kata itu meluncur dari mulut wanita cantik tersebut.Suaminya menganga.Segampang itu?Sementara semuanya sudah dia korbankan untuknya.Harta, jabatan, keluarga, bahkan idealisme dan harga dirinya.
***
            “Dugaan korupsi?” dua gadis berbeda usia sekitar empat tahun menjerit bersamaan. Koran pagi ini mengabarkan berita korupsi yang dilakukan ayahanda mereka.Diremasnya koran itu. Disembunyikan dari mata ibundanya.Tak ingin mereka menambah lagi keperihan itu.
            “Ayah khilaf, Nak. “ hanya itu yang meluncur dari bibir lelaki itu. Selebihnya sunyi.Dinding sel polisi membuat suasana di antara mereka semakin kaku.
            “Tapi untuk apa?” kicau Santi, anak bungsunya. Perih.Matanya berembun.Tersaput kabut duka.Selama ini mereka hidup pas-pasan.Ibunya hanya berdaster lusuh.Tak ada perhiasan mencolok. Tak pernah menikmati fasilitas kantor. Bahkan mobil dinas ayah merekapun tak pernah mereka sentuh. Lantas ke mana hasil korupsi itu dibawa?
            Sekilas Ranti, gadis yang lebih tua, termenung. Ada kilatan informasi yang berkelabatan di ranah ingatannya.Gosip tentang isteri muda ayahnya.Mata sembab ibunya sejak gosip itu merebak.Kehadiran ayahnya yang tak cukup sepekan dalam sebulan. Kini ada tanya teranyam di hatinya. Mungkinkah gosip itu benar adanya?
            “Apakah Ayah menyembunyikan sesuatu dari kami?” Ranti bertanya penuh selidik.
            “Berterus teranglah, Yah.Biar kami bisa sedikit lebih tenang.”Pinta si sulung itu.Lelaki tua itu hanya mampu menggeleng-gelengkan kepalanya.Harapannya sudah sirna.Impiannya memudar.  Bahkan mungkin dia akan kehilangan putri-putrinya yang cantik itu.
            “Ayah khilaf, Nak.” Sekali lagi hanya kata itu yang mampu keluar dari mulutnya.Air mata kini membanjiri pelipis keriputnya.Air mata penyesalan yang datang terlambat.Terbayang wajah isterinya di rumah.Wajah cantik yang telah dirubahnya menjadi kuyuh, sayu dan layu.Hanya sedikit bias kecantikan yang masih tersisa. Perempuan lembut penuh kasih itu telah dibuatnya menderita.Air matanya semakin menderas.Betapa mata hatinya selama ini telah buta.Betapa dia selama ini serupa robot yang dengan lincah memamah semua perintah yang diterimanya.Dan pemilik robot itu adalah isteri mudanya.
            Lelaki itu mendesah.Kini ingatannya beralih ke isteri mudanya.Tepatnya mantan isteri mudanya. Wanita bahenol yang hanya selisih umur setahun dengan putri sulungnya. Senyum manis bergaris kemunafikan itu telah membuatnya tergerus. Hartanya terkuras.Kesetiaannya amblas.Idealismenya kandas.Semuanya karena pesona palsu wanita itu.
            “Semua karena perempuan itu. Dialah yang memaksa Ayah melakukannya.” Lelaki tua itu berteriak geram.Dua orang sipir segera mendekati selnya, memintanya untuk diam. Ranti dan Santi berpandangan.Teriakan ayahnya membuka tabir yang selama ini tertutup rapat.Gosip selama ini benar adanya. Ayahanda mereka memiliki wanita lain.
            Ingin rasanya dua gadis itu memaki dan bahkan memukul lelaki yang sudah merenta itu.Tapi kepasrahannya di balik jeruji kokoh membuat keduanya hanya mampu menitikkan air mata lirih. Mereka akan mencoba berbesar hati. Menerima keadaan ayahnya.Seperti ibunya yang tak pernah jenuh memintal sabar.
            “Ayah harus menebus kesalahan Ayah. Menetaplah dalam bui.”Kata Ranti sebelum menarik tangan adiknya.Berlalu.Meninggalkan lelaki tua itu dalam sesal tak berujung.
“Tunggu, Nak.” Serak suara lelaki itu memanggil. Kedua gadis itu tetap berjalan. Seakan tak mendengar teriakan ayahnya. “Tolong jaga ibumu untukku,Nak.” Ratapnya lemah.  Tak ada yang mendengar. Lelaki itu kini pasrah. Dia hanya berharap maaf dari anak-anak dan isterinya. Dia berharap, hukuman yang dijalaninya akan membukakan pintu maaf itu. Dia berjanji akan mengukir kebahagiaan baru untuk anak- anak dan isterinya. Walaupun tanpa kursi empuk lagi.
***
            Pagi yang cerah. Seperti biasa, setelah kedua anak gadisnya beraktifitas, Maya akan segera membersihkan rumah. Ditemani alunan merdu murottal Al-Qur’an dari DVD di ruang tengah, dia mulai memunguti kertas-kertas yang berceceran di lantai. Lantunan ayat-ayat Al-Qur’an selalu mampu menenangkan pikirannya dan mendamaikan hatinya.
            Sejak dia harus berbagi kebahagiaan dengan wanita yang tak sekalipun dilihatnya itu, Maya semakin mendekatkan diri pada Sang Pemilik jiwa raga. Dia yakin, hanya dengan mengadu kepada Allahlah segala luka hatinya bisa tertanggungkan. Walau tentu saja tetap akan susah sembuh. Bagi Maya, luka karena pengkhianatan terhadap kesetiaan, adalah luka yang paling perih. Mungkin rasa sakitnya semakin berkurang, tetapi lukanya tetap membekas dan setiap saat bisa kembali perih.
            “Masih saja seperti anak kecil.”Gumamnya pada diri sendiri sambil tersenyum tipis, melihat serpihan-serpihan kertas di lantai. Tak nampak rasa kesal di wajahnya. Dia masih merasa memiliki dua gadis cilik yang menggemaskan.walaupun nyatanya anak-anak gadisnya telah menjelma wanita usia dewasa yang cantik dan anggun. Ranti sebentar lagi akan memulai babak baru kehidupannya. Menjadi seorang isteri. Sementara Santi baru saja meniti karier sebagai pengacara.
            Tangan Maya terhenti pada tumpukan koran yang sudah kusut. Dia memungut dan merapikannya. “Koran hari ini.”Gumamnya lagi. Dia tak habis pikir kenapa koran tersebut sampai kusut. Disusurinya halaman pertama. Headline yang cukup besar membuat matanyatiba-tiba meredup. Nama lelaki yang telah hampir tiga puluh tahun menikahinya terpampang jelas di sana. Tangannya bergetar, seiring debaran jantung yang semakin berpacu.
            Hal yang lama ditakutkan kini terjadi. Suaminya terlibat korupsi. Sejak awal menduduki jabatan basah, Maya selalu mengingatkan suaminya untuk tetap jujur dalam bekerja. Tetapi Maya kemudian menjadi mahfum, suaranya tak lebih semilir angin yang sekedar mampir di telinga suaminya. Memenuhi segala keinginan wanita keduanya jauh lebih penting daripada sekedar mendengarkan petuah usang seorang wanita menjelang menopuse seperti Maya.
            Dilipatnya pelan kertas koran yang telah lusuh itu. Lusuh selusuh hatinya saat ini. Dia memang sudah lama tak merasakan nikmatnya menjadi seorang isteri, menjadi tempat berlabuh suami di kala penat. Tapi tetap saja ada nyeri ketika untuk hal sekrusial saat inipun, dia tak diberitahu.
            “Koran ini harus dimusnahkan.Ranti dan Santi tidak boleh melihatnya.”Gumam Maya sambil bergegas mencari korek api.
            Abu bekas pembakaran koran itu belum sepenuhnya diterbangkan angin ketika Ratih dan Santi memasuki pekarangan rumah. Melihat Maya sedang duduk memandangi tempat pembakaran sampah  di samping rumah, keduanya segera mendekat. Pasti ada yang sudah terjadi pada ibunya.Ratih dan Santi bertatapan cemas. Sebuah pikiran yang sama melintas di pikiran mereka.
            “Ibu kenapa?”
            “Tidak apa-apa. Ini tadi Ibu bakar sampah. Kenapa jam segini sudah pulang?” Tanya Maya. Coba disembunyikannya segala galau. Dia tak ingin keceriaan anak-anaknya hilang jika tahu hal yang menimpa ayah mereka.
            “Dia tak berhak membuat mereka bersedih.” Gumam Maya. Ranti memperhatikan ibunya mengucapkan sesuatu, namun tak terdengar jelas.
            “Ayo masuk ke dalam, Bu. Hari ini kami sengaja libur. Hari ini kan ulang tahun Ayah. Kita bikin kejutan buat Ayah ya, Bu.” Maya terdiam mendengar perkataan kedua anaknya. Dia tidak pernah lupa ulang tahun suaminya. Tapi dia juga sudah lama tak memberikan apa-apa di hari istimewa lelaki yang sampai saat ini masih disimpan di hatinya. Dan anak-anaknyapun melakukan hal yang sama.
            “Kenapa baru sekarang, Nak? Ketika Ayah kalian sudah bukan milik kita lagi?” Air bening hampir saja jatuh di kedua pipinya, jika tak ingat pantangannya untuk menangis di depan anak.
            “Bu, bukankah Ibu yang selalu bilang Ayah tidak hilang? Dia hanya lupa jalan pulang. Bukankah Ibu yang selalu mengingatkan kami bahwa ayah amnesia,sehingga melupakan anak-anak dan isterinya? Orang-orang yang dulu sangat dicintainya.” Santi memeluk Maya. Melabuhkan sedihnya di pundak perempuan ayu itu.
            “Tapi mungkin Ayah kalian tidak akan bisa datang.” Lirih suara Maya. Ranti dan Santi berpandangan. Mereka menjadi cemas jangan-jangan ibunya sudah tahu tentang Ayah yang dipenjara. Sementara dalam benak Maya berseliweran ide untuk menyembunyikan keadaan yang menimpa suaminya. Maya tak tahu bahwa kedua buah hatinya telah lebih dahulu mengetahui.
***
            “Tolonglah, Pak. Hanya dua jam.” Maya nampak memohon di depan lelaki berbadan tegap dengan seragam lengkap.
            “Kami tak ingin ambil resiko, Bu.Maaf.” Katanya lantang. Beranjak meninggalkan wanita itu. Maya tak putus asa. Dia mengikuti langkah-langkah tegap itu.
            “Bu Maya, suami anda koruptor kelas kakap. Tidak ada alasan untuk mengizinkannya keluar hanya demi keinginan konyol Ibu.” Petugas berseragam itu membentak. Tak peduli dengan wajah memelas Maya.
            Dibentak seperti itu, Maya sejenak terpaku. Terngiang kembali suara serak suaminya ketika marah. Terasa kembali ngilu bekas tendangan kaki-kaki kukuhnya. Perih merona nyeri di hatinya. Merasai ulang sembilu yang mengirisnya, ketika suaminya memutuskan pergi untuk wanita lain.
            Air matanya mengalir tak tertahankan. Namun sekejap kemudian bayang dua anak gadisnya menari di pelupuk mata. Senyum ceria yang sudah lama tersembunyi di balik tirai hati yang terkoyak. Maya tahu, anak-anaknya menderita dengan ketakhadiran ayah mereka.  Maka Maya bertekad akan menghadirkan kembali canda ceria itu di rumahnya. Hari ini.
            “Pak Polisi, saya hanyalah wanita biasa. Kebahagiaan keluarga bagi saya di atas segalanya. Saya mohon, demi kebahagiaan keluarga saya.” Maya kembali memelas.
            “Apakah Ibu akan bahagia hanya dengan dua jam itu?”Polisi tersebut bertanya keheranan.
            “Saya perempuan, Pak. Pengabdian terbesar saya setelah Allah danRasul-Nya adalah suami saya. Keluarga saya. Dan itulah sumber kebahagiaan saya yang sesungguhnya.” Polisi itu terkesima mendengar jawaban sederhana yang keluar dari mulut Maya. Dan hatinya mendadak luluh.
***
            Sepasang sejoli berusia menjelang senja berjalan pelan menyusuri koridor kantor polisi. Yang lelaki nampak tertunduk. Tepekur. Yang perempuan mengulas senyum ragu-ragu. Mereka berjalan berdampingan. Tangan-tangan mereka sesekali bergerak seakan ingin saling menggenggam. Namun jemari-jemari itu seakan enggan berpagut.
            Lelaki itu tetap berjalan menunduk. Ekor matanya sesekali melirik ke arah perempuan di sampingnya. Lirikan dengan kilatan cahaya beragam makna. Ada sesal. Ada malu. Terpancar pula cinta. Dadanya bergetar hebat. Degup jantungnya takberaturan. Dari mulutnya ingin terlontar kata betapa cinta itu masih sesemerbak dahulu. Sesuatu yang baru disadarinya. Hasratnya begitu ingin merengkuh perempuan ringkih itu dalam pelukannya. Menebus semua kealpaannya selama ini. Tapi dia sungguh malu. Malu pada kesabaran, ketegaran dan kesetiaan yang diberikan isterinya. “Perempuan berhati pualam. Indah  luar dalam.” Desahnya sendu. Terdengar bagai desiran angin di telinga Maya, perempuan itu.
            Ya, perempuan itu adalah Maya dan lelaki di sampingnya adalah suaminya. Maya akhirnya berhasil meyakinkan petugas agar memberikan izin keluar kepada suaminya. Walau mungkin resikonya sangat besar, terutama bagi petugas tersebut. Walau hanya diberi waktu dua jam beserta pngawalan ketat dari polisi, namun Maya bersyukur. Sebentar lagi anak-anaknya akan tertawa ceria melihat kedatangan ayahnya.
            Di samping Maya, suaminya tetap menunduk.Maya memberanikan diri menyentuh punggung tangannya. Maya tahu,suaminya pasti merasa segan untuk lebih dulu melakukannya.  Inisiatifnya ini semoga bisa meluluhkan benteng yang sejak tadi kokoh mngantarai mereka. Inisiatifnya tadi semoga dipahami suaminya sebagai bukti bahwa Maya tidak berubah. Maya tetap menunggu suaminya kmbali.
            Lelaki itu tersentak. Tak menyangka Maya akan menggenggam lembut tangannya. Genggaman yang menghentak  kesadarannya tentang kidung kasih yang tetap Maya dendangkan untuknya.
            “Maafkan saya, Bu. Saya telah memporakporandakan  mahligai kita.” Maya menunduk. Tersentuh dengan ucapan suaminya. Walau ragu itu tak mudah dihapus. Bahkan sempat terbersit tanya, mungkinkah semua lelaki baru akan menyadari kekeliruannya setelah terjatuh?
            “Bu, kalau masih ada tempat untukku, kita mulai dari awal  lagi. Saya ingin bahagia bersamamu. Di hari tua kita.” Lanjut suaminya. Air mata Maya merebak. Haru. Bahagia. Dua rasa menyatu. Dadanya berdegup kencang. Badannya bergetar. Dan tiba-tiba saja dia limbung. Suaminya dengan sigap memapahnya. Petugas bergegas membawanya ke Rumah sakit. Sayang sekali, tak berselang lama, suaminya tak merasakan lagi denyut kehidupan dari raga Maya. Maya menutup usia di pangkuan suami yang selalu dinantinya. Senyum tulus tersembul dari bibirnya. Dia meninggal dengan damai. Dalam  pelukan suaminya. ”Serangan jantung.” Kata dokter ketika memberikan penjelasan pada suaminya. 
***