BERBAGI ILMU........ BERBAGI RASA... SEMOGA MENJADI WADAH UNTUK SALING BERPEGANG TANGAN MENUJU PRIBADI YANG LEBIH BAIK DAN BERMANFAAT....
Label
- my book's cover (8)
- MY ENGLISH STUDENTS' TASKS (4)
- my novel's cover (1)
- MY NOVELS (1)
- my opinion (3)
- MY POEM (5)
- MY SHORT STORY (16)
- SINGGASANA TAK BERTUAH (1)
Senin, 25 Agustus 2014
Minggu, 24 Agustus 2014
MEMAGUT SEPI
Oleh : Mira
Pasolong
(dimuat di Harian Fajar, Edisi Minggu tgl 03 Agustus 2014)
“Sa,
untukmu, ujung dunia tak terasa jauh. Aku akan tetap mengejarmu. Itu janjiku.”
Kau menjajari langkahku.
“Maaf kalau belum kurasa seriusmu.
Semua masih kabur dalam hijab rasa tak terkata.” Sergahku. Kulewati koridor kampus
dengan kecepatan di atas normal. Ingin segera berlalu dari hadapanmu. Tapi
kaupun turut memperlebar langkah.
“Aku tak pernah lupa pada apa yang
telah kuikrarkan, Sa.” Daun telingaku memerah. Marah. Tak tahu harus dengan apa
mengusirmu dari sini.
“Jangan keras kepala. Aku tahu,
cinta itu masih milik kita.” Kau kembali memaksa. Mencoba menghadirkan bayang
cinta monyet masa SMA kita.
Aku
berlari-lari kecil. Dari jauh nampak Indra berjalan mendekat. Inilah kesempatan
untuk berlalu darimu. Kesalahanmu tak termaafkan. Aku pengagum kesetiaan.
***
Tapi siapakah yang mampu mengingkari
hati? Rindu itu selalu menjelma dalam angan yang memagut sepi. Rindu padamu.
Kita diwisuda dan tak pernah lagi ada semilir yang membawa beritamu.
Hingga
hari itu, delapan tahun yang lalu, setelah berpisah hampir lima tahun, tanpa
rekayasa, kita bertemu kembali pada sebuah acara dialog. Sebuah organisasi
kepenulisan mempertemukan kita. Saat berjabat tangan denganmu, ada degup indah
yang diam-diam kembali mengguncang dada. Sementara kini, di sisimu, berdiri
anggun wanita berparas seindah purnama. Di sampingkupun, mendampingi dengan
setia seorang pangeran, Indra.
“Ini pertemuan yang terlambat, Sa.”
Bisikmu saat kita berdampingan di atas forum. Aku yakin, saat itu, mata
bidadarimu dan juga mata pangeranku membelalak melihat kita saling berbisik.
Atau bahkan mungkin sudah tersulut api dalam dada mereka berdua. Tapi kita
acuh. Tetap asyik dengan canda gurih, sebelum moderator mempersilahkan kita,
secara bergantian, berbicara.
Setelah itu, tak ada lagi
persinggungan. Pertemuan yang terlambat itu, seakan tanpa kesan. Kita melangkah,
menapak di hidup masing-masing. Lebur dalam kesibukan yang tak berujung.
Namun kalimat terakhir yang kau
bisikkan sebelum kita berpisah hari itu, seakan duri yang menggerogoti hati.
Betapa binar cinta tak mampu kusembunyikan, betapa degup jantung tak mampu
kukendalikan, saat dengan wajah sendu engkau mengucap janji itu. Sebuah janji
yang mungkin terlontar di luar kesadaran.
“Love
will lead me back. Believe me!” Bisikmu sepintas saat melangkah di
sampingku. Sedetik kemudian, tangan bidadarimu telah kau genggam. Berlalu.
Diantar oleh gamang yang kau cipta dalam sekejap. Aku mengawang di alam mimpi.
Genggaman tangan pangeranku, yang mengajakku pulang, tak mampu membangunkanku,
dari mimpi yang melenakan itu.
***
Dan aku percaya pada bisikanmu itu.
Tetap percaya. Pun jelita purnama telah mengantarai
kita berbilang puluh. Tahukah kau? Jingga lembayung senja, rinai hujan, riak
sibuk para penjaja makanan, desah ombak, kerlip nakal lampu. adalah kenangan
yang selalu mekar merona dalam hati. Kenangan saat kita masih berseragam
abu-abu. Saat belum jelas bagi kita bagaimana rupa cinta sejati itu.
Siksakah
yang aku undang dalam hidupku, menanti seseorang yang telah bertahta di atas
mahligai cinta perempuan lain? Duh, penantian ini tak lagi kuanggap siksa. Ia
lebih merupa rutinitas yang melengkapiku. Maka tak ada alasan untuk memalingkan
hati hanya karena pengembaraanmu yang entah kapan bermuara di samudera hatiku.
Aku
menikmati penantianku sebagaimana orang-orang menikmati kebersamaan dengan
orang yang dicintainya. Aku tahu, penantian ini bagaikan menanti setetes air
dari langit di tengah kemarau yang menggigit. Hampir mustahil. Tapi bisikanmu
sungguh telah tertanam di lubuk hati terdalam. Walau aku sendiri tidak tahu,
dengan apa kau akan datang memenuhi janji itu. Meninggalkan bidadarimu, dan
kemudian aku berpaling dari pangeranku? Rasanya masalahnya tak akan sesederhana
itu. Ada jiwa-jiwa lain yang harus dipikirkan.
Kebahagiaan?
Ah, sudah lama kata itu kuhapus dari kamus hatiku. Bahagiaku adalah bersamamu.
Sejak hari itu. Kau mungkin tak akan pernah tahu, betapa rindu yang ada telah
kularung ke dasar mimpi yang paling ghaib. Aku tak ingin lagi riak yang
menggetarkan itu menyambangi sepiku. Biarlah pergimu menjadi penanda bahwa aku
telah bersekutu dengan sepi. Bahkan aku tak peduli saat orang-orang
menganggapku gila, karena sering tersenyum dan berbicara sendiri dalam sepi
yang memagut. Indra, lelaki yang terpaksa kuterima menjadi suamiku, dan telah
memberiku seorang anak, tetap setia mendampingi.
“Bawalah
aku pergi ke sebuah oase bernama damai. Ingin kulebur diriku dalam hening tanpa
riuh. Ingin kuurai segala cemarut, agar bahagia teranyam.” Kataku, sambil
menatap lirih bulan bulat penuh yang di mataku sangat memikat. Di sampingku, Indra dengan sabar menunggu
hingga aku beranjak ke dalam rumah yang sudah kutempati hampir delapan tahun.
Tak lama setelah pertemuan kita. Selalu begitu.
***
Bayangan-bayangan itu mengejarku. Sesosok
bidadari berwajah sendu, pangeran berwajah teduh, dan lima anak kecil yang
tampan dan cantik. Wajah-wajah yang memelas padaku, dan lalu marah karena aku
tetap pada pendirianku, memelihara rindu terlarang ini. Bidadarimu, pangeranku,
dan anak-anak kita.
Mereka
terus mengejar. Tak peduli seberapa lelah tubuh ini. Aku terseok membawa kaki
yang berdarah teriris jeruji besi yang kulompati. Bayangan-bayangan itu kini
semakin dekat dan menjelma monster yang siap menerkamku. Aku lemas tak
bertenaga. Sekuat tenaga kupaksakan berteriak. Aliran darah di kaki semakin
menderas. Keringat dingin mengucur tak kalah derasnya.
“Shasa, bangun. Bangunlah, Nak. Kau
mengigau lagi.” Sebuah tepukan lembut membangunkanku dari mimpi yang telah
bertahun-tahun bertandang ke alam bawah sadarku. Bahkan aku semakin gamang, tak
mampu membedakan antara mimpi dan dunia nyata.
“Mimpi itu lagi?” Tanya Ibu lembut.
Aku mengangguk dan melabuhkan tangisku di pelukan Ibu.
“Sudahlah, Nak. Kasihan suamimu. Ia
kehilangan semangat, melihat kau seperti ini. Sudah hampir delapan tahun.” Aku
tersentak. Ibu menangis di depanku. Kupandangi dipan berseprei putih yang
kutempati. Seorang perempuan muda berseragam putih berdiri di samping Ibu. Aku
mencari suamiku. Juga anakku. Namun tak seorangpun yang kutemukan.
“Indra dan Aldi di mana, Bu? Saya
ada di mana?” Kepalaku berputar pusing, dan kemudian yang ada dalam bayanganku
hanyalah gelap, lalu suara panik seorang perempuan yang memanggil dokter.
***
PROFIL
SINGKAT
Mira Pasolong, lahir di Selayar, sebuah pulau kecil di
selatan Sulawesi Selatan, pada tanggal 4
Maret. Sejak kecil senang membaca dan menulis. Beberapa tulisannya berupa Cerpen, Puisi dan artikel dimuat di surat
kabar lokal Radar Sulbar dan Fajar Makassar. Sampai sekarang tetap aktif menulis
novel dan cerpen. Bulan Juni 2010 yang lalu, naskah novelnya berhasil menjadi
juara III pada Sayembara penulisan buku pengayaan yang diadakan oleh Pusat
Perbukuan untuk kategori NOVEL SMA. Novelnya yang sudah terbit berjudul
SINGGASANA TAK BERTUAH dan SIMPUL HATI. Sementara novel PURNAMA DI LANGIT
BISSORANG masih dalam tahap cetak. Karyanya juga tergabung dalam beberapa
antologi bersama. Sehari- harinya bekerja sebagai Guru Bahasa Inggris di SMK
Negeri I Rangas Mamuju. Bagi yang ingin berkomunikasi silahkan add FB atas nama
Mira Pasolong.
CINTA TAK TERGADAI
Oleh : Mira Pasolong
(tergabung dalam buku antologi Wanita Kedua)
Aku menyeret kaki perlahan. Tenagaku sudah
nyaris habis terkuras. Namun aku harus sampai di rumah Bu Aji, orang terkaya di
kampung ini. Hanya dia yang bisa membantu.
Terik matahari tak kupeduli. Panas telapak
kaki tanpa alas tak kuhiraukan. Yang ada dalam pikiranku sekarang bagaimana
anak- anakku bisa makan hari ini. Pun aku harus memikirkan bagaimana
menyembuhkan sakit suamiku.
"Kamu punya barang apa yang bisa jadi
jaminan?" akhirnya sampai juga aku di hadapan Bu Aji. Meski sambutannya
kurang bersahabat, namun aku mencoba menghadapinya dengan sabar.
"Hei, kenapa kamu diam saja? Kamu tahu kan
tidak ada yang gratis di dunia ini?" lanjutnya ketus melihat aku hanya
terdiam menunduk di depannya. Aku menggeleng sambil menatap kantongan kresek di
depanku. Selembar baju terbaikku. Baju
yang dibelikan suamiku di hari ulang tahun pernikahan kami yang ke lima
bertahun silam.
Berat rasanya harus melepaskan baju itu. Aku
tahu di setiap ruas benangnya, ada tetes keringat suamiku. Berbulan- bulan dia
menata lembar demi lembar uang hasil jerih payahnya, hingga kemudian cukup
untuk sehelai baju itu. Dan di suatu pagi, ketika burung sedang berkicau riang
mengintip mentari yang mulai menyembul malu- malu, suamiku menghadiahiku sebuah
bingkisan. Selembar baju merah hati bergambar dua hati. Indah. Seindah talu
hatiku ketika baju itu menyentuh kulitku.
“Ini hadiah atas kesabaranmu. Terima kasih
telah rela mendampingiku. Terima kasih atas ichlasmu menelusuri lembah penuh
derita bersamaku. Tetaplah menjadi ratuku. Walau istana kita hanya berdinding bilah-
bilah triplex bekas, berlantai tanah dan beratap seng karatan. “ katanya
sembari menggenggam tanganku lembut. Anak yang sedang ada di kandunganku
menggeliat. Bangga memiliki ayah yang penuh kasih. Suamiku memang romantis.
Sampai kemudian petaka itu menimpa kami.
Tangan- tangan kokoh suamiku tak lagi mampu pun sekedar memeluk tubuhku. Tapi
aku tahu tangan cintanya selalu bisa merengkuh hatiku. Aku kemudian harus
menggantikan tugasnya. Mengais rezeki agar asap di istana kami tetap mengepul.
Aku tak punya keterampilan yang bisa jadi bekal mencari lahan penghasilan. Aku
juga tak punya modal untuk membuka usaha. Maka satu persatu barang yang kami
punya melayang dan menjelma menjadi seliter dua liter beras. Baju hadiah dari
suamiku adalah harta paling berhargaku. Tapi aku tak punya pilihan lain. Tak ada
lagi yang bisa digadaikan. Aku hanya punya cinta dan kasih sayang yang
terbingkai indah dalam hatiku. Tapi itu tidak akan kugadaikan. Sesulit apapun
diriku. Maka baju itulah pilihan terakhirku.
“Saya hanya punya baju ini.” Jawabku lirih.
Kuangsurkan tanganku memberikan bungkusan di tangan. Bu Aji menatapku semakin
sinis. Mungkin di matanya aku ini srrupa benalu yang gemar menyebar di
reranting yang kokoh. Aku mencoba bertahan.
"Saya bisa kerja jadi pembantu di sini, Ji."
lanjutku menawarkan diri. Sejenak Bu Aji nampak berpikir.
"Dengan perut membuncit begitu?"
sinis dia memandang ke arah perutku yang memang sudah kelihatan buncit. Aku
sedang mengandung anakku yang ke lima.
Kuseret kembali langkah kakiku dengan lemas.
Tak ada lagi yang bisa diharapkan. Aku beranjak meninggalkan rumah Bu Aji,
diiringi tatapan yang entah bermakna apa. Air mataku perlahan menetes. Menembus celah pori – pori wajahku
yang tak pernah tersentuh bedak. Empat anak yang masih kecil dan suami yang
terbaring tak berdaya, sekarang sedang menantikan kedatanganku. Mereka pasti
sudah kelaparan. Dan hanya akulah harapan mereka satu- satunya.
Sepintas terlintas tawaran Pak Makmur, juragan
terkaya di kampong kami. Entah. Tiba- tiba saja tawarannya bermain di relung
pikirku. Terngiang kalimatnya yang diucapkan dengan nada penuh harap.
“Kamu masih muda, Salma. Cantik lagi. Rasanya
tidak pantas kamu berkubang dalam lubang nestapa.” Katanya sambil menatapku
tanpa kedip. Ketika itu aku menjadi tukang cuci di rumahnya.
“Tapi saya ichlas melakukannya, Pak. Karena
saya mencintai suami dan anak- anak saya.” Tegasku. Pak Makmur tertawa.
Suaranya menggelegar serupa guntur. Aku bergidik mendengarnya.
“Menikahlah denganku dan kamu akan bahagia.”
Katanya kemudian tanpa basa basi. Aku terkesima. Ada kebencian yang tiba- tiba
saja berkelebat di hatiku. Kulapadzkan istighfar untuk meredakan gejolak yang
menyeruak di hati. Aku muak mendengarnya. Tapi aku tidak boleh memperlihatkan
rasa itu. Bagaimanapun juga pria bertubuh gembur ini adalah majikanku.
Dan hari itu menjadi akhir karierku sebagai
tukang cuci di rumah Pak Makmur. Aku tidak ingin mengambil resiko yang nantinya
akan mencipta retak pada bangunan rumah tanggaku. Walau aku tahu tidaklah
gampang mencari pekerjaan. Dan sejak saat itu aku tdak punya pekerjaan tetap.
Kucoba mengusik ingatan yang tiba- tiba saja
datang menyapa. Aku tidak boleh memikirkan tawaran tidak masuk akal itu. Aku
mencintai keluargaku. Dan aku tahu suami dan anak- anakku pun sangat
mencintaiku. Maka cukuplah cinta kami menjadi penyemangat untuk bisa tetap
mengais rezeki di jalan yang Allah ridhoi.
"Ya, Allah, bimbinglah hamba- Mu ini agar
tak salah langkah." doaku dalam galau yang teramat pedih.
***
Sudah lebih dari sepuluh menit aku berdiri di
depan pintu rumah bercat hijau lumut ini. Berkali- kali kuketuk pintunya, namun
belum juga ada yang beranjak membukanya.
Padahal bunyi televisi, suara piring beradu, dan wangi masakan menunjukkan
bahwa rumah ini sedang tidak kosong. Perutku semakin kriuk ketika wangi masakan
dari dalam rumah mewah itu semakin menusuk hidungku.
Ini rumah ke sembilan yang aku datangi.
Setelah dari rumah Bu Aji, aku memutuskan mendatangi beberapa rumah yang
kuanggap sangat layak untuk berbagi dengan orang seperti aku. Tapi belum satupun
yang terketuk jiwanya melihat keadaanku. Bahkan beberapa di antara mereka
mengira aku berpura- pura hamil.
Yang lebih mendera nyeri hatiku, di rumah ketiga tadi, hatiku menjerit lara
mendengar kalimat- kalimat bahkan tindakan pelecehan dari lelaki pemilik rumah
tersebut.
Lelaki tersebut sedang sendirian. Entah
isterinya berada di mana. Sempat hatiku riang ketika pintu rumah terkuak pada ketukan
yang pertama. Tapi ternyata bukan hati tulusnya yang membuat pintu rumahnya
terbuka, tetapi karena nafsu bejadnya.
Dengan ramah dipersilahkannya aku duduk di
kursi empuknya, ketika aku memilih duduk di lantai. Aku menurutinya. Namun hatiku
menjadi tidak tenang ketika melihat dia mengunci pintu.
"Ibu pasti membutuhkan sesuatu kan?"
tebaknya jitu sambil mengerling nakal. Perasaanku semakin tidak enak. Mungkin
dari penampilanku yang kumuhlah sehingga dia bisa menebak bahwa aku tak lebih
hanyalah seorang pengemis. Duh, sakit rasanya hati ini. Aku ingin berlari dari
tempat itu, namun lagi- lagi bayangan suami dan anak- anakku seakan menahanku.
"Maaf, Pak, Ibu ada di rumah? Saya mau
menawarkan baju ini." kataku memberanikan diri sambil menyodorkan
kantongan yang kupegang. Dia tidak menjawab pertanyaanku, malah beranjak duduk
tepat di sampingku.
"itu gampang, Bu. Saya bahkan bisa
memberi uang berapapun yang Ibu minta,
asalkan......." kali ini kalimatnya menggantung, tapi tangannya sudah
menunjukkan apa maksud kalimatnya. Harga diriku terasa terkoyak- koyak. Segera
kutepis tangan lelaki tak berperasaan itu. "tidak usah marah, Bu. Ini
kalau Ibu mau. Daripada Ibu kelaparan." lanjutnya. Kali ini dikibas-
kibaskannya uang ratusan ribu. Lima lembar. Hatiku galau. Bahkan selembar uang
plastik merah itupun tak pernah mampir di tanganku.
Bayangan wajah anak- anakku yang kelaparan,
suamiku yang kesakitan, kembali menggodaku. Uang itu jauh lebih dari cukup
bagiku. Hatiku berperang. "terima saja tawaran lelaki itu. Toch hanya sekali
ini dan juga demi keluargamu." suara hatiku sumbang.
"Jangan. Takutlah kepada Allah. Bukan
lelaki ini yang akan memberi kamu rezeki, tetapi Allah." suara bening
sudut hatiku yang lain.
"Bagaimana, Bu?" melihatku terdiam
lelaki itu semakin berani. Aku menarik nafas panjang. Terbayang kegigihan
suamiku bekerja apa saja asalkan halal, sebelum dia terbaring dalam sakitnya
yang tak kunjung sembuh. Teringat nasehat- nasehat bijaknya. Terbayang betapa
sayang dia padaku dan anak- anak kami. Hatiku mendadak mantap menentukan
pilihan. Menolak. Tapi bagaimana caranya? Lelaki itu kini semakin berani.
Wajah teduh suamiku melambai di pelupuk
mataku. Senyum tulusnya seakan
memompakan berjuta energi padaku. Tiba- tiba aku berteriak meminta tolong sekuat tenaga. Lelaki itu kaget dan refleks
menghentikan aktifitasnya. Pada saat yang bersamaan, seorang pembantunya segera
berlari tergopoh- gopoh dari dalam. Rupanya dia terkejut mendengar teriakanku.
Alhamdulillah akhirnya aku bisa lolos dari
rumah itu. Lelaki yang hampir saja mengoyak kehormatanku itu beralasan kepada
pembantunya bahwa aku orang gila yang kesasar.
Tak apalah. Yang penting sekarang aku selamat.
Allah telah menjaga diriku, dan cintaku yang tetap utuh dalam bingkai hatiku.
Maka dengan sisa tenaga yang ada, aku melanjutkan perjalanan.
***
Sekali lagi kuketuk pintu rumah tersebut.
Entah mengapa hatiku yakin penghuni rumah ini beda dengan delapan rumah
sebelumnya. Akhirnya pintu rumah itu terkuak. Sosok cantik berjilbab lebar kini
berdiri di depanku, dengan senyum ramah nan renyah. Menjabat tanganku tanpa
rasa jijik dengan keadaanku, mempersilahkanku masuk dan segera menyuguhiku
segelas sirup dingin. Sejuk terasa mengaliri seluruh persendian tubuhku.
"Ibu ada perlu apa?" tanyanya masih
dengan keramahan yang sama. Aku menyodorkan kantongan yang kupegang sambil
menjelaskan maksudku.
"Ibu belum makan?” Tanyanya lagi.
Kantongan itu dibukanya. Aku menggeleng.
"Sholat Ashar?" kali ini akupun
menggeleng. Tersentak aku melihat ke arah jam besar yang tergantung di dinding.
Astagfirullah. Hampir saja aku melupakan kewajibanku pada Allah. Ibu yang baik
hati itu segera menuntunku ke dalam rumahnya untuk sholat dan kemudian dia
menyuguhiku makanan. Masakan yang wangi tadi itu sekarang terhidang di
hadapanku. Nikmat. Aku sudah akan menyuap ke mulutku, ketika tiba- tiba terbayang
mulut- mulut kecil anakku yang sedang kelaparan.
"Bu, maaf, bisa saya bungkus saja yang di
piring saya ini?" Ibu itu terkejut. Ada keheranan bermain di pelupuk
matanya.
"Saya tidak tega, Bu. Anak- anak dan
suami saya sedang kelaparan di rumah. Biarlah kami makan sama- sama di
rumah." jawabku sambil menahan rasa malu. Ibu itu tersenyum mengerti.
Dengan wajah penuh ketulusan, dia membungkuskan makanan untukku, bukan hanya yang
tadi ada di piringku, yang belum sempat aku makan, tetapi dia juga menambahkannya
hingga mungkin akan cukup untuk kami makan dua kali.
"Jika tidak keberatan, Ibu bisa membantu-
bantu saya di sini setelah melahirkan nanti." tawar Ibu yang ternyata
bernama Yanti itu dengan ramah. Aku terkesima. Dan tanpa pikir panjang
menyanggupinya.
"Ini ambillah sedikit untuk Ibu."
kembali aku terkejut melihat lima lembar uang seratus ribu disodorkan padaku.
“Dan baju ini, ambillah. Ibu lebih
membutuhkannya.” Lanjutnya sambil mengangsurkan kantongan yang tadi aku berikan
padanya. Air mata ini tak terbendung lagi. Kupeluk erat- erat kantongan itu,
seakan isinya adalah sesuatu yang sangat berharga. Aku bahagia, baju itu tetap
jadi milikku. Baju merah hati bergambar hati hadiah dari suamiku.
Aku bersujud syukur. Allah maha melihat, Allah
sungguh maha pengasih. Terbayang jerit
kelaparan anak- anakku dan keluh kesakitan suamiku akan segera tergantikan
senyum indah di wajah- wajah mereka.
***
BIODATA
SINGKAT PENULIS
Mira
Pasolong, lahir di Selayar
pada tanggal 4 Maret. Sejak kecil senang membaca dan menulis. Beberapa
tulisannya berupa Cerpen, Puisi dan
artikel dimuat di surat kabar lokal Radar Sulbar dan Harian Fajar Makassar.
Sampai sekarang tetap aktif menulis puisi dan cerpen. Penulis berhasil meraih
Juara III Sayembara Penulisan Buku Pengayaan Tk. Nasional 2010 untuk kategori
NOVEL SMA pada Sayembara penulisan Buku pengayaan yang diselenggarakan oleh
Pusat Perbukuan Kementerian Pendidikan
Nasional. Buku yang sudah terbit adalah Singgasana Tak Bertuah (Novel). Bisa
dihubungi via e-mail: pmirawati@yahoo.com dan
Facebook atas nama Mira Pasolong.
WANITA PUALAM
Oleh: Mira Pasolong
(Tergabung dalam buku antologi Cerpen Move On)
Bulir
bening itu mengalir deras.Isak menyayat sesekali terdengar.Bukanlah lemahnya
sehingga air mata itu harus terkuras.Tidak.Sekali-kali tidak.Air mata yang
menderas itu adalah bukti bakti.Air mata itu bukti kasih.Air mata itu tonggak
yang memapah tubuhnya ketika dia terhuyung. Andai cintanya sudah pupus, maka
dia yakin air mata itupun akan enggan pula mengalir. Cinta itu masih merah
jambu, seperti ketika masih berumur delapan belas tahun, karenanya, air mata pun masih setia mengalir.
“Kita menikah, ya.Aku akan menemui
orang tuamu.”Lelaki itu berkata tegas.Sangatgentle.Wanita
berusia delapan belas tahun itupun tersihir dan hanya mampu menggerakkan
kepalanya ke atas.Setuju.Gayung bersambut.Dua bulan kemudian mereka sudah
menyatu dalam sebuah naungan cinta bernama rumah tangga.Bahagia.Selama
bertahun-tahun hanya kata itu yang mewarnai hari-hari mereka. Semakin lengkap
ketika lima tahun kemudian
dua
nyawa kecil bersandar pada naungan kasih sayangnya. Pasangan ideal dengan dua
anak yang lucu-lucu.Sampai bertahun-tahun kemudian, ketika dua nyawa kecil itu
telah beranjak dewasa, bahagia tetap setia menemani mereka.
Hingga akhirnya, “Bu, minggu depan
aku dilantik jadi kepala dinas.” Katanya berapi-api sambil memeluk isterinya.Dan
mulailah dia dengan ritme kehidupan yang baru.Semakin lama semakin tenggelam
dalam dunianya.Tak ada lagi jeda sejenak untuk sekedar membawa secawan canda
bagi isteri dan dua anaknya.Tapi wanita itu tetap sabar.Mencoba
mengerti.Mencoba menimbang rasa syukur dari setiap bulir air yang jatuh dari
kelopak matanya. Pun ketika suatu hari dia mengetahui bahwa ada mahligai lain
tempat suaminya bertahta. Air bening itu
tetaplah jadi penyemangatnya.
Dua putri cantiknya tumbuh
mengagumkan.Di sela isak yang semakin nyaring terdengar, selalu terselip seutas
senyum untuk dua bidadarinya itu.Sesakit apapun hatinya, anak-anaknya tidak
boleh tahu.Dia harus tetap tampak
tegar dan kuat di hadapan
mereka.Dia
harus menyelamatkan jiwa anak-anaknya dari keterpurukan karena keadaan orang
tuanya.
Maya, nama perempuan berhati pualam itu. Dia
adalah super hero.Wanita lembut yang tegar.Reranting rapuh justru terlukis di
jiwa suaminya kini.Post power syndrome.
Itu mungkin yang menyerang suaminya menjelang ulang tahunnya yang ke lima puluh
lima. “Di mataku engkau tetaplah lelaki perkasa.”Gumamnya tanpa berani
dilafadzkan di hadapan suaminya. Peristiwa beberapa tahun terakhir cukuplah
membuatnya mengerti kalau suaminya tak lagi rindu akan nada-nada kasih yang
selalu dinyanyikan lembut selama ini. “Mungkin ada hati lain yang bisa memberi
kebeningan baginya.” Dia masih ber-positif thinking.Berharap
mahligai kedua itu bisa menguatkan suaminya.
***
“Apa? Pensiun?” suara seorang wanita cantik. Histeris. Mengiris jantung lelaki tua menjelang lima
puluh lima tahun itu. Membuat miris.Kepalanya mengangguk mengiyakan.Ledakan
suara selanjutnya lebih dahsyat.”Lantas apa yang bisa kau berikan padaku
setelah ini?” geramnya.Membuat lelaki itu gemetar.Dia butuh tempat bersandar.Tapi
semuanya nampak rapuh.Tak ada yang cukup kokoh yang bisa menopang tubuhnya.
Hiasan-hiasan keramik
dari kristal mahal memenuhi ruangan tempatnya berdiri. Dia tak boleh
menyentuhnya.Dia tak boleh menyandarinya.Petakalah baginya jika sampai keramik
itu pecah.
“Kamu harus belajar hidup
sederhana.”Suaranya membuat wanita cantik itu semakin kalap, menyambar, melalap
semua yang ada di sekitarnya.Bukannya dia tak memahami tabiat isteri mudanya
itu.Sejak awal menikahinya dia sudah tahu.Tapi kilau kecantikan fisik
mengalahkan pikiran sehatnya.Bahkan setelahnya dia mati rasa.Dia hanya mampu
merasakan kenikmatan duniawi, tanpa ketenangan ukhrawi. Terlena dengan jabatan,
tenggelam dalam pelukan istri muda yang jelita, berkubang dalam liang dosa tak
berkesudahan.
Mata hatinya buta.Silau oleh pesona
duniawi.Semua kemauan isteri mudanya dituruti.Dua anaknya tak pernah lagi
merasakan hangat kasihnya. Terlebih lagi isteri tuanya yang juga sudah menua dimakan
usia. Tak ada lagi yang mampu menarik hatinya untuk selalu berada di antara mereka.Waktunya
hanyalah buat pekerjaan dan isteri mudanya.
“Kita
cerai.”Dengan ringan kata itu meluncur dari mulut wanita cantik
tersebut.Suaminya menganga.Segampang itu?Sementara semuanya sudah dia korbankan
untuknya.Harta, jabatan, keluarga, bahkan idealisme dan harga dirinya.
***
“Dugaan korupsi?” dua gadis berbeda
usia sekitar empat tahun menjerit bersamaan. Koran pagi ini mengabarkan berita
korupsi yang dilakukan ayahanda mereka.Diremasnya koran itu. Disembunyikan dari
mata ibundanya.Tak ingin mereka menambah lagi keperihan itu.
“Ayah khilaf, Nak. “ hanya itu yang
meluncur dari bibir lelaki itu. Selebihnya sunyi.Dinding sel polisi membuat
suasana di antara mereka semakin kaku.
“Tapi untuk apa?” kicau Santi, anak bungsunya. Perih.Matanya
berembun.Tersaput kabut duka.Selama ini mereka hidup pas-pasan.Ibunya hanya
berdaster lusuh.Tak ada perhiasan mencolok. Tak pernah menikmati fasilitas
kantor. Bahkan mobil dinas ayah merekapun tak pernah mereka sentuh. Lantas ke
mana hasil korupsi itu dibawa?
Sekilas Ranti, gadis yang lebih tua, termenung. Ada kilatan informasi yang
berkelabatan di ranah ingatannya.Gosip tentang isteri muda ayahnya.Mata sembab
ibunya sejak gosip itu merebak.Kehadiran ayahnya yang tak cukup sepekan dalam
sebulan. Kini ada tanya teranyam di hatinya. Mungkinkah gosip itu benar adanya?
“Apakah Ayah menyembunyikan sesuatu
dari kami?” Ranti
bertanya penuh selidik.
“Berterus teranglah, Yah.Biar kami
bisa sedikit lebih tenang.”Pinta si sulung itu.Lelaki tua itu hanya mampu
menggeleng-gelengkan kepalanya.Harapannya sudah sirna.Impiannya memudar. Bahkan mungkin dia akan kehilangan putri-putrinya
yang cantik itu.
“Ayah khilaf, Nak.” Sekali lagi
hanya kata itu yang mampu keluar dari mulutnya.Air mata kini membanjiri pelipis
keriputnya.Air mata penyesalan yang datang terlambat.Terbayang wajah isterinya
di rumah.Wajah cantik yang telah dirubahnya menjadi kuyuh, sayu dan layu.Hanya
sedikit bias kecantikan yang masih tersisa. Perempuan lembut penuh kasih itu
telah dibuatnya menderita.Air matanya semakin menderas.Betapa mata hatinya
selama ini telah buta.Betapa dia selama ini serupa robot yang dengan lincah
memamah semua perintah yang diterimanya.Dan pemilik robot itu adalah isteri
mudanya.
Lelaki itu mendesah.Kini ingatannya
beralih ke isteri mudanya.Tepatnya mantan isteri mudanya. Wanita bahenol yang hanya selisih umur setahun dengan
putri sulungnya. Senyum manis bergaris kemunafikan itu
telah membuatnya tergerus. Hartanya terkuras.Kesetiaannya amblas.Idealismenya
kandas.Semuanya karena pesona palsu wanita itu.
“Semua karena perempuan itu. Dialah
yang memaksa Ayah melakukannya.” Lelaki tua itu berteriak geram.Dua orang sipir
segera mendekati selnya, memintanya untuk diam. Ranti dan Santi
berpandangan.Teriakan ayahnya membuka tabir yang selama ini tertutup rapat.Gosip
selama ini benar adanya. Ayahanda mereka memiliki wanita lain.
Ingin rasanya dua gadis itu memaki
dan bahkan memukul lelaki yang sudah merenta itu.Tapi kepasrahannya di balik
jeruji kokoh membuat keduanya hanya mampu menitikkan air mata lirih. Mereka
akan mencoba berbesar hati. Menerima keadaan ayahnya.Seperti ibunya yang tak
pernah jenuh memintal sabar.
“Ayah harus menebus kesalahan Ayah.
Menetaplah dalam bui.”Kata Ranti sebelum menarik tangan
adiknya.Berlalu.Meninggalkan lelaki tua itu dalam sesal tak berujung.
“Tunggu, Nak.” Serak suara lelaki itu memanggil. Kedua
gadis itu tetap berjalan. Seakan tak mendengar teriakan ayahnya. “Tolong jaga
ibumu untukku,Nak.” Ratapnya lemah. Tak
ada yang mendengar. Lelaki itu kini pasrah. Dia hanya berharap maaf
dari anak-anak dan isterinya. Dia berharap, hukuman yang dijalaninya akan
membukakan pintu maaf itu. Dia berjanji akan mengukir kebahagiaan baru untuk
anak- anak dan isterinya. Walaupun tanpa kursi empuk lagi.
***
Pagi
yang cerah. Seperti biasa, setelah kedua anak gadisnya beraktifitas, Maya akan
segera membersihkan rumah. Ditemani alunan merdu murottal Al-Qur’an dari DVD di
ruang tengah, dia mulai memunguti kertas-kertas yang berceceran di lantai.
Lantunan ayat-ayat Al-Qur’an selalu mampu menenangkan pikirannya dan
mendamaikan hatinya.
Sejak
dia harus berbagi kebahagiaan dengan wanita yang tak sekalipun dilihatnya itu,
Maya semakin mendekatkan diri pada Sang Pemilik jiwa raga. Dia yakin, hanya
dengan mengadu kepada Allahlah segala luka hatinya bisa tertanggungkan. Walau
tentu saja tetap akan susah sembuh. Bagi Maya, luka karena pengkhianatan
terhadap kesetiaan, adalah luka yang paling perih. Mungkin rasa sakitnya
semakin berkurang, tetapi lukanya tetap membekas dan setiap saat bisa kembali
perih.
“Masih
saja seperti anak kecil.”Gumamnya pada diri sendiri sambil tersenyum tipis,
melihat serpihan-serpihan kertas di lantai. Tak nampak rasa kesal di wajahnya.
Dia masih merasa memiliki dua gadis cilik yang menggemaskan.walaupun nyatanya anak-anak
gadisnya telah menjelma wanita usia dewasa yang cantik dan anggun. Ranti
sebentar lagi akan memulai babak baru kehidupannya. Menjadi seorang isteri.
Sementara Santi baru saja meniti karier sebagai pengacara.
Tangan
Maya terhenti pada tumpukan koran yang sudah kusut. Dia memungut dan
merapikannya. “Koran hari ini.”Gumamnya lagi. Dia tak habis pikir kenapa koran
tersebut sampai kusut. Disusurinya halaman pertama. Headline yang cukup besar
membuat matanyatiba-tiba meredup. Nama lelaki yang telah hampir tiga puluh
tahun menikahinya terpampang jelas di sana. Tangannya bergetar, seiring debaran
jantung yang semakin berpacu.
Hal yang
lama ditakutkan kini terjadi. Suaminya terlibat korupsi. Sejak awal menduduki
jabatan basah, Maya selalu mengingatkan suaminya untuk tetap jujur dalam
bekerja. Tetapi Maya kemudian menjadi mahfum, suaranya tak lebih semilir angin
yang sekedar mampir di telinga suaminya. Memenuhi segala keinginan wanita
keduanya jauh lebih penting daripada sekedar mendengarkan petuah usang seorang
wanita menjelang menopuse seperti
Maya.
Dilipatnya
pelan kertas koran yang telah lusuh itu. Lusuh selusuh hatinya saat ini. Dia
memang sudah lama tak merasakan nikmatnya menjadi seorang isteri, menjadi
tempat berlabuh suami di kala penat. Tapi tetap saja ada nyeri ketika untuk hal
sekrusial saat inipun, dia tak diberitahu.
“Koran
ini harus dimusnahkan.Ranti dan Santi tidak boleh melihatnya.”Gumam Maya sambil
bergegas mencari korek api.
Abu bekas
pembakaran koran itu belum sepenuhnya diterbangkan angin ketika Ratih dan Santi
memasuki pekarangan rumah. Melihat Maya sedang duduk memandangi tempat
pembakaran sampah di samping rumah,
keduanya segera mendekat. Pasti ada yang sudah terjadi pada ibunya.Ratih dan
Santi bertatapan cemas. Sebuah pikiran yang sama melintas di pikiran mereka.
“Ibu
kenapa?”
“Tidak
apa-apa. Ini tadi Ibu bakar sampah. Kenapa jam segini sudah pulang?” Tanya
Maya. Coba disembunyikannya segala galau. Dia tak ingin keceriaan anak-anaknya
hilang jika tahu hal yang menimpa ayah mereka.
“Dia tak
berhak membuat mereka bersedih.” Gumam Maya. Ranti memperhatikan ibunya
mengucapkan sesuatu, namun tak terdengar jelas.
“Ayo
masuk ke dalam, Bu. Hari ini kami sengaja libur. Hari ini kan ulang tahun Ayah.
Kita bikin kejutan buat Ayah ya, Bu.” Maya terdiam mendengar perkataan kedua
anaknya. Dia tidak pernah lupa ulang tahun suaminya. Tapi dia juga sudah lama
tak memberikan apa-apa di hari istimewa lelaki yang sampai saat ini masih
disimpan di hatinya. Dan anak-anaknyapun melakukan hal yang sama.
“Kenapa
baru sekarang, Nak? Ketika Ayah kalian sudah bukan milik kita lagi?” Air bening
hampir saja jatuh di kedua pipinya, jika tak ingat pantangannya untuk menangis
di depan anak.
“Bu,
bukankah Ibu yang selalu bilang Ayah tidak hilang? Dia hanya lupa jalan pulang.
Bukankah Ibu yang selalu mengingatkan kami bahwa ayah amnesia,sehingga melupakan
anak-anak dan isterinya? Orang-orang yang dulu sangat dicintainya.” Santi
memeluk Maya. Melabuhkan sedihnya di pundak perempuan ayu itu.
“Tapi
mungkin Ayah kalian tidak akan bisa datang.” Lirih suara Maya. Ranti dan Santi
berpandangan. Mereka menjadi cemas jangan-jangan ibunya sudah tahu tentang Ayah
yang dipenjara. Sementara dalam benak Maya berseliweran ide untuk
menyembunyikan keadaan yang menimpa suaminya. Maya tak tahu bahwa kedua buah
hatinya telah lebih dahulu mengetahui.
***
“Tolonglah,
Pak. Hanya dua jam.” Maya nampak memohon di depan lelaki berbadan tegap dengan
seragam lengkap.
“Kami
tak ingin ambil resiko, Bu.Maaf.” Katanya lantang. Beranjak meninggalkan wanita
itu. Maya tak putus asa. Dia mengikuti langkah-langkah tegap itu.
“Bu
Maya, suami anda koruptor kelas kakap. Tidak ada alasan untuk mengizinkannya
keluar hanya demi keinginan konyol Ibu.” Petugas berseragam itu membentak. Tak
peduli dengan wajah memelas Maya.
Dibentak
seperti itu, Maya sejenak terpaku. Terngiang kembali suara serak suaminya
ketika marah. Terasa kembali ngilu bekas tendangan kaki-kaki kukuhnya. Perih
merona nyeri di hatinya. Merasai ulang sembilu yang mengirisnya, ketika
suaminya memutuskan pergi untuk wanita lain.
Air
matanya mengalir tak tertahankan. Namun sekejap kemudian bayang dua anak
gadisnya menari di pelupuk mata. Senyum ceria yang sudah lama tersembunyi di
balik tirai hati yang terkoyak. Maya tahu, anak-anaknya menderita dengan
ketakhadiran ayah mereka. Maka Maya
bertekad akan menghadirkan kembali canda ceria itu di rumahnya. Hari ini.
“Pak
Polisi, saya hanyalah wanita biasa. Kebahagiaan keluarga bagi saya di atas
segalanya. Saya mohon, demi kebahagiaan keluarga saya.” Maya kembali memelas.
“Apakah
Ibu akan bahagia hanya dengan dua jam itu?”Polisi tersebut bertanya keheranan.
“Saya
perempuan, Pak. Pengabdian terbesar saya setelah Allah danRasul-Nya adalah
suami saya. Keluarga saya. Dan itulah sumber kebahagiaan saya yang
sesungguhnya.” Polisi itu terkesima mendengar jawaban sederhana yang keluar
dari mulut Maya. Dan hatinya mendadak luluh.
***
Sepasang
sejoli berusia menjelang senja berjalan pelan menyusuri koridor kantor polisi. Yang
lelaki nampak tertunduk. Tepekur. Yang perempuan mengulas senyum ragu-ragu.
Mereka berjalan berdampingan. Tangan-tangan mereka sesekali bergerak seakan
ingin saling menggenggam. Namun jemari-jemari itu seakan enggan berpagut.
Lelaki
itu tetap berjalan menunduk. Ekor matanya sesekali melirik ke arah perempuan di
sampingnya. Lirikan dengan kilatan cahaya beragam makna. Ada sesal. Ada malu.
Terpancar pula cinta. Dadanya bergetar hebat. Degup jantungnya takberaturan.
Dari mulutnya ingin terlontar kata betapa cinta itu masih sesemerbak dahulu.
Sesuatu yang baru disadarinya. Hasratnya begitu ingin merengkuh perempuan
ringkih itu dalam pelukannya. Menebus semua kealpaannya selama ini. Tapi dia
sungguh malu. Malu pada kesabaran, ketegaran dan kesetiaan yang diberikan
isterinya. “Perempuan berhati pualam. Indah
luar dalam.” Desahnya sendu. Terdengar bagai desiran angin di telinga
Maya, perempuan itu.
Ya,
perempuan itu adalah Maya dan lelaki di sampingnya adalah suaminya. Maya
akhirnya berhasil meyakinkan petugas agar memberikan izin keluar kepada
suaminya. Walau mungkin resikonya sangat besar, terutama bagi petugas tersebut.
Walau hanya diberi waktu dua jam beserta pngawalan ketat dari polisi, namun
Maya bersyukur. Sebentar lagi anak-anaknya akan tertawa ceria melihat
kedatangan ayahnya.
Di
samping Maya, suaminya tetap menunduk.Maya memberanikan diri menyentuh punggung
tangannya. Maya tahu,suaminya pasti merasa segan untuk lebih dulu
melakukannya. Inisiatifnya ini semoga
bisa meluluhkan benteng yang sejak tadi kokoh mngantarai mereka. Inisiatifnya
tadi semoga dipahami suaminya sebagai bukti bahwa Maya tidak berubah. Maya
tetap menunggu suaminya kmbali.
Lelaki
itu tersentak. Tak menyangka Maya akan menggenggam lembut tangannya. Genggaman
yang menghentak kesadarannya tentang
kidung kasih yang tetap Maya dendangkan untuknya.
“Maafkan
saya, Bu. Saya telah memporakporandakan
mahligai kita.” Maya menunduk. Tersentuh dengan ucapan suaminya. Walau
ragu itu tak mudah dihapus. Bahkan sempat terbersit tanya, mungkinkah semua
lelaki baru akan menyadari kekeliruannya setelah terjatuh?
“Bu,
kalau masih ada tempat untukku, kita mulai dari awal lagi. Saya ingin bahagia bersamamu. Di hari
tua kita.” Lanjut suaminya. Air mata Maya merebak. Haru. Bahagia. Dua rasa
menyatu. Dadanya berdegup kencang. Badannya bergetar. Dan tiba-tiba saja dia
limbung. Suaminya dengan sigap memapahnya. Petugas bergegas membawanya ke Rumah
sakit. Sayang sekali, tak berselang lama, suaminya tak merasakan lagi denyut
kehidupan dari raga Maya. Maya menutup usia di pangkuan suami yang selalu
dinantinya. Senyum tulus tersembul dari bibirnya. Dia meninggal dengan damai.
Dalam pelukan suaminya. ”Serangan
jantung.” Kata dokter ketika memberikan penjelasan pada suaminya.
***
Langganan:
Komentar (Atom)






