KESETIAAN PERAWAN
Oleh : Mira Pasolong
Lembayung indah menggantung di langit senja. Semburat merah jingga berpendar mempesona. Sungguh sebuah lukisan alam yang menakjubkan. Mentari sebentar lagi akan kembali ke peraduannya. Dan malampun akan mulai menyapa bumi. Rembulan menyembul malu- malu menyemburkan cahayanya di balik wajahnya yang bulat penuh. Purnama seakan ikut bergerak mengiringiku. Aku mempercepat langkahku. Aku ingin menjadi orang pertama yang menyambut kedatanganmu di dermaga.
Aku menghentikan langkah tepat di bibir dermaga. Di sini, di pantai ini, seperti bulan- bulan yang lalu, aku duduk sendiri, menikmati indah debur ombak, menatap kerlap kerlip lampu kota di kejauhan. Aku terperangkap dalam sunyi yang menyiksa, terkurung dalam resah yang mendera, terpenjara dalam penantian tak bertepi. Kupandang laut lepas tanpa berkedip. Riak ombak sesekali menyapu kakiku yang tak beralas. Setitik cahaya nampak bergerak dari kejauhan, semakin lama semakin besar. Mungkin itulah kapal yang akan membawamu kembali kepadaku.
Engkau berjanji akan datang padaku pada satu purnama. Karena itulah, setiap purnama, dengan setia aku akan mematung di sini, menunggu kapal merapat, menatap satu persatu penumpang yang turun, berharap salah seorang dari mereka adalah kamu. Namun entah sudah berapa purnama, tapi aku belum juga menemukan seraut wajahmu.
Aku berharap ini adalah kali terakhir aku berdiri di sini menunggumu. Aku lelah menahan kecewa, malu dan sakit hati. Aku takut tidak bisa lagi bertahan. Andai engkau tahu, jari jemariku kini telah penuh dijejali cincin berbagai model. Tapi tidak perlu resah, apa lagi cemburu. Cincin- cincin yang menghiasi jari- jari lentikku yang kini sudah mulai mengeriput adalah cincin pemberian adik- adikku sebagai syarat agar mereka diperbolehkan mendahuluiku mengakhiri kesendirian.
Yach, sampai sekarang aku masih sendiri. Engkau menahanku di sini di pusaran waktu yang tak bisa diajak kompromi, menjadikanku tetap sebagai perawanmu, tanpa kepastian. Lihatlah, anak-anak saudara kita yang ketika engkau pergi bahkan belum lahir, sekarang sudah tumbuh menjadi remaja, bahkan sudah banyak yang berkeluarga. Tapi aku tetap di sini, sendiri, menunggumu di setiap purnama. Dan akupun tetap menjadi perawanmu.
Tak kupedulikan ceracau camar yang terbang mengitariku seakan mengejek kesetiaanku yang bodoh. Aku tak peduli karena aku tahu setia itu bukan suatu kesia- siaan. Tak kuhiraukan cerita tetangga yang menganggapku patah hati. Aku tak peduli karena aku tahu aku tidak patah hati. Hatiku tetap utuh untukmu. Namun jujur kuakui, aku malu dengan keadaan ini. Aku malu menyaksikan satu- persatu adik- adikku melahirkan bayi- bayi mungil mereka sementara aku masih tetap dengan kesendirianku.
“Berhentilah berharap, Nak. Jangankan kamu, orang tuanyapun tidak tahu kabar beritanya. Lupakanlah dia“ Entah sudah berapa kali orang tuaku memintaku untuk melupakanmu. Bahkan silih berganti pemuda disodorkan padaku. Tapi aku tak bergeming. Tak ada yang mampu menggetarkan hatiku. Aku tetap setia menantimu. Aku sangat yakin engkau akan kembali padaku. Aku yakin sekarang ini engkau sedang membanting tulang, mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk pernikahan kita.
“Percayalah, Dinda. Setelah aku bisa memenuhi permintaan orang tuamu, aku akan kembali ke sini menyuntingmu. Aku yakin mereka tidak akan menolakku lagi.” Janjimu sore itu sebelum kapal yang membawa dirimu bertolak meninggalkan dermaga.
Aku tetap memegang teguh janjimu karena aku yakin engkau akan menepatinya. Tapi apakah engkau tahu bahwa biaya pernikahan di kampung kita telah meningkat drastis seiring dengan meningkatnya harga Sembako, BBM, TDL dan lain- lain dibanding saat engkau melamarku dulu? Akupun tetap dengan keyakinanku walaupun kini hampir semua orang mencibirku. Bahkan ada yang menganggap aku sudah gila. Tapi aku yakin aku sangat waras, bahkan lebih waras dari mereka yang menganggapku tidak waras, karena hanya orang- orang yang waraslah yang mampu menjaga kesetiaan.
Tetapi apakah kamu tahu apa yang membuatku mampu tetap menjadi perawanmu yang setia sampai sekarang? Aku tahu kepergianmu adalah demi cintamu padaku. Aku tahu engkau kecewa karena orang tuaku menolak lamaranmu. Tapi aku juga percaya engkau lelakiku yang pantang menyerah. Aku yakin itu, walau semua orang sudah meragukannya. Karena itulah aku juga tetap yakin dengan apa yang aku lakukan.
“Khadijah dilamar orang, Nak.” Suara ibuku terdengar sangat hati- hati. Ada kegetiran di balik suaranya yang agak parau. Kamu ingat Khadijah kan? Dia adik bungsuku. Lagi- lagi adikku melangkahiku. Aku bisa membaca garis kepedihan yang tergambar di sorot mata anakku. Beliau pasti sangat tersiksa dengan kesendirianku ini.
“Kalau orangnya baik dan agamanya juga baik, diterima sajalah, Bu. “
“Tapi aku tidak bisa melihatmu terus menerus seperti ini. Demi Allah, Nak berhentilah melakukan hal yang bodoh ini.”
“Bu, aku tidak bodoh. Aku hanya mencoba menjadi orang yang bisa memegang janji. Aku sudah berjanji untuk menunggunya dan tak ada seorangpun yang bisa mencegahku.”
“Tapi penantianmu sudah cukup, Anakku. Ingat, usiamu sudah kepala empat. Kamu tidak ingin menghabiskan waktumu dengan sesuatu yang sia- sia kan?”
“Dia pasti datang, Bu. Dia pasti datang untukku. Penantianku tak kan sia- sia.” Aku berdebat hebat dengan Ibuku sore itu. Aku tidak suka didesak terus hanya karena persoalan usia. Kamu tahu kan? Aku tidak peduli dengan usiaku. Sejak kepergianmu, bahkan aku tidak pernah ingat lagi kapan ulang tahunku. Yang aku hitung hanyalah berapa hari lagi datangnya purnama karena kala purnama datang, maka kala itulah harapanku akan bertemu denganmu akan kembali membuncah. Harapan bahwa engkau akan datang bersama kapal yang merapat di dermaga. Atau kalaupun tak ada kapal, engkau akan datang bersama debur ombak yang dengan setia menyapaku di keheningan. Sungguh…. Ombak, pantai, pasir… hanya merekalah yang tetap sabar mendengar keluhan- keluhanku.
Kamu tahu? Dua hari yang lalu orang tuamu datang menemuiku. Seperti yang lain, mereka juga kasihan melihat keadaanku. Mereka memintaku untuk berhenti mengharapkan kedatanganmu. Aku kecewa sama mereka. Aku tidak tahu kenapa mereka akhirnya menyerah dan menganggapmu tidak akan pernah kembali lagi. Padahal selama ini mereka selalu mendukungku dan juga tetap yakin kamu baik- baik saja walau kami tidak pernah tahu di belahan bumi yang mana engkau berada.
Yang lebih menyakitkan, mereka memintaku untuk menerima lamaran si Akong. Oya, aku belum pernah cerita kepadamu tentang si Akong ini. Tapi sabarlah, saat kita bertemu nanti aku akan menceritakan semuanya. Bukan hanya si Akong, juragan Tionghoa yang kaya raya itu, tapi juga puluhan pemuda yang pernah melamarku. Ada si Dandi dengan wajah imutnya yang mirip Kristian Bautista, ada si Opik, dengan wajah klimisnya yang putih bersih, ada pula si Hamdan, akademisi yang baru saja dikukuhkan sebagai guru besar dan si Alam yang baru- baru ini terpilih sebagai wakil rakyat di legislatif. Aku menolak mereka semua. Hatiku tak terketuk oleh wajah tampan, gelimang harta maupun pangkat dan jabatan. Pintu hatiku hanya bisa terbuka oleh kehadiranmu. Dan aku sangat yakin engkau akan kembali suatu hari nanti. Karena itulah aku akan sangat marah jika ada yang mengatakan kamu tidak akan kembali.
Berlembar- lembar surat kukirimkan lewat ombak yang setia menyapaku di setiap purnama. Aku percayakan semua isi hatiku kepada sang ombak sambil berkirim harap akan ada selembar suratku yang sampai ke tanganmu. Tapi tak satupun yang berbalas. Apakah itu pertanda engkau tak pernah menerima suratku?
Suatu hari, di tengah kegalauan dan kerinduan yang memuncak, aku mencoba mengirim surat lewat pos. Tapi beberapa hari kemudian surat tersebut kembali ke tanganku, karena aku mengirimnya tanpa alamat tujuan. Aku tak tahu engkau berada di mana. Engkau menghilang bagaikan ditelan bumi. Secara logika, orang yang tidak pernah ada kabar beritanya selama lebih dua puluh tahun, pastilah dianggap sudah mati. Tapi aku tetap yakin kita masih berada di alam yang sama.
Kadang aku tersenyum membayangkan pertemuan kita nanti. Dulu, ketika engkau pergi setelah menitip janji padaku, aku masihlah seorang gadis belia yang sedang ranum- ranumnya. Sekarang, kecantikan yang dulu sempat membuat begitu banyak pemuda takjub, berangsur- angsur menghilang. Rambutku sudah mulai rontok dan satu dua helai mulai memutih, keriput tipis sudah mulai membayang di wajahku, kulitkupun tak semulus dulu lagi. Tapi satu yang tak berubah, kesetiaan dan cintaku padamu.
Ombak semakin meninggi, dingin angin pantai mulai mengusik kulitku, angin sepoi- sepoi menambah dingin malam ini, tapi rembulan tetap memancarkan cahayanya yang indah. Dermaga sudah sepi sejak beberapa jam yang lalu. Para awak kapal sudah terbuai dalam mimpi masing- masing. Sekali lagi aku harus menelan kecewa. Engkau belum juga datang. Dan aku semakin malu ketika ingat betapa setiap orang yang sore tadi berpapasan denganku mencibir, melihat aku berjalan menuju dermaga.
Ah, Kanda… haruskah aku menyusulmu?? Ahai… aku bersorak gembira. Kenapa baru sekarang ide itu muncul? Ya., aku harus menyusulmu. Ombak di pantai ini terkenal ganas. Aku yakin dengan keganasannya dia bisa membawa aku menyusuri samudera demi samudera untuk menemuimu. Tunggulah, sayang, sekarang juga aku akan ke sana. ***
“Dinda, Dinda… aku sudah datang, Sayang. Tapi kenapa kamu tidak menungguku?”Seorang lelaki menjelang lima puluhan tahun dengan rambut hampir memutih seluruhnya, memeluk tubuhku sambil menangis tersedu- sedu. Aku tahu, dialah lelaki yang selama ini aku tunggu. Aku menyesal tidak cukup bersabar menunggunya. Sekarang dia memapah jasadku, tapi aku tidak bisa menyapanya lagi. Aku hanya bisa menatapnya dari alam yang jauh, tanpa bisa merasakan rengkuhan tangannya. Orang- orang berkumpul di rumahku. Kulihat mereka semua bersedih. Bapak dan Ibuku nampak shock.
“ Dia sudah lelah menunggumu, Nak.” Itu suara parau Ibuku. Entah mengapa aku mendadak sangat rindu berbaring di pangkuan Ibu. Aku mengulurkan tanganku, namun hanya ruang hampa yang mampu aku gapai.
“Maafkan kami karena dulu tidak menerima lamaranmu. Sekarang kamu datang, tapi justru dia telah pergi. Dan kali ini dia tidak akan mungkin kembali lagi.” Ibuku mendadak tak sadarkan diri, sementara Bapak hanya bisa menangis. Ah...Ampuni aku Ibu, Bapak… Aku telah membuat kalian semua sedih. Dan Kanda…. Maafkan juga aku karena tidak sabar menunggumu dan telah membuatmu kecewa. Aku juga sangat berterima kasih karena engkau telah membuktikan kepada semua orang bahwa penantianku selama ini tidaklah sia- sia. Dan setelah ini aku yakin mereka akan sadar bahwa mempertahankan kesetiaan bukanlah suatu kebodohan. ***
(dimuat di harian Fajar Makassar)
mengharukan dan pesannya juga mendalam,,mempertahankan kesetiaan pada kebenaran adalah suatu kecerdasan.
BalasHapusrasanya kurang puas kalau postingan ini tak berlanjut mbak... ayo rangkai jadi tautan prosa dan roman, pasti lebih cerdas dan berbobot...
BalasHapusTikno : thanks, Dek....
BalasHapusMas Ryan : Usul Mas kog sama dgn usulx teman2 lain yg prnh baca ini, ya? sy butuh riset lebih lanjut nich kykx hehehe