Selasa, 04 Oktober 2011

SLAMET BIN SALAMA

Cerpen Mira pasolong

            Tubuh pemuda itu bergetar.  Menggigil. Keringat dingin membasahi hampir sekujur tubuhnya.  Alunan lagu Indonesia Raya tetap bergema syahdu mengetuk hasrat kebangsaan dan jiwa patriotisme para peserta upacara. Tubuh pemuda itu semakin bergetar. Tatapannya nanar ke arah Sang Saka Merah Putih yang sudah hampir berkibar di ujung tiang bendera.
            Seluruh rangkaian upacara peringatan Hari Sumpah Pemuda bergulir satu per satu. Sukses. Acara itu berlangsung sangat meriah. Semua gembira. Semua tertawa ceria. Entah apa yang membuat mereka segembira itu. Apakah mereka gembira karena hari ini mereka bertemu dengan pemuda dari berbagai pelosok tanah air? Ataukah mereka gembira karena tanpa perlu bersusah payah mereka bisa menikmati berbagai fasilitas, bebas mengeluarkan pendapat, bebas bepergian ke mana saja tanpa perlu takut akan ada peperangan? Ataukah mereka gembira karena mereka mempunyai ruang yang sangat luas untuk mempertontonkan anarkisme? Entahlah.
            Hanya pemuda yang tadi menggigil di lapangan itu saja yang tidak nampak gembira. Wajahnya pucat. Tubuhnya sesekali masih bergetar. Mukanya ditekuk seakan takut melihat kenyataan buram pemuda sekarang ketika kepalanya dia tegakkan.
            “Sebentar malam datang ke kos saya, ya. Nanti saya kasih sisa pembayarannya.” Sebuah transaksi mencurigakan menarik perhatiannya. Dua orang anak muda sedang berbisnis serius. Yang satunya menyerahkan beberapa lembar uang, sedangkan yang seorang lagi menyelipkan sebuah bungkusan kecil ke dalam kantong temannya tersebut. Deal. Mereka berjabat tangan dan saling berlalu tanpa meninggalkan sedikitpun jejak mencurigakan bagi berpasang- pasang mata yang ada di tempat itu. Kecuali tentu saja sepasang mata pemuda yang menggigil tadi.
            Namanya Slamet bin Salama’. Dia pemuda berbadan tegap. Tinggi besar dengan kulit putih bersih. Matanya hitam kelam. Tatapannya tajam. Tegas. Gagah. Menawan. Demikian penilaian teman- teman gadisnya. Usianya sekira dua puluh lima tahun. Ayahnya orang Makassar asli bernama Daeng Salama’ yang berwatak keras. Ibunya, Salmi, adalah wanita bersuku Sunda yang lembut dan ayu. Entah di mana dan bagaimana kedua orang tuanya bertemu dan saling memagut janji setia. Mungkin inilah salah satu hikmah bersatunya para pemuda dari Sabang sampai Merauke setelah diikrarkannya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober delapan puluh dua tahun silam. Jadilah seakan tiada lagi jarak antara Makssar- Jawa.
            Slamet bin Salama’. Dia bangga dengan nama pemberian orang tuanya, seperti bangganya dia kepada para pahlawan negerinya. Dalam nada guyon (dia memang sangat suka guyon. Itu pulalah mungkin sebabnya dia mengidolakan Gus Dur), dia selalu mengatakan bahwa mereka (ayah, ibu dan dirinya) memiliki nama yang sama. Slamet berarti selamat. Salama’ (Bahasa Makassar) juga berarti selamat.
            “Dan mungkin Salmi juga diambil dari kata selamat.” Katanya menyebut nama ibunya sambil tersenyum simpul.
            Slamet bin Salama’. Dia anak tunggal yang tidak manja. Namanya selalu mengilhaminya untuk berbuat baik. Dia ingin selalu berada di jalan yang lurus agar bisa selamat sampai tujuan, seperti namanya. Tapi dia bukan hanya ingin menyelamatkan diri sendiri. Dia juga ingin menyelamatkan negerinya.
            “Pemuda negeri ini harus diselamatkan agar tak tersesat.” Katanya berapi- api di depan sebuah pigura antik dalam kamarnya. Pigura itu membingkai lukisan wajah WR. Supratman, sang pencipta lagu Indonesia Raya, yang juga merupakan salah satu dari banyak idolanya.
            Lantas kenapa dia mengigil ketika sedang didengungkan lagu Indonesia Raya? Apakah karena dia mengidolakan pencipta lagu tersebut, ataukah karena hasratnya yang demikian membuncah untuk berbuat sesuatu terhadap negerinya? Terhadap pemuda? Hmmm…. Lihatlah ke mana dia membawa langkahnya ketika meninggalkan lapangan upacara. Taman Makam Pahlawan. Ya, tempat itulah yang ditujunya. Dia berlutut di salah satu makam. Dengarlah apa yang dikatakannya sambil memegang batu nisan.
            “Aku tahu engkau pasti kecewa dengan kondisi negerimu sekarang, terutama pemudanya. Seperti aku,  engkau juga pasti gerah melihat gebrakan- gebrakan mereka. Demo anarkis. Membakar apa saja yang bisa dibakar. Merusak apa saja yang ditemuinya. Tak ada lagi rasa takut. Katanya demi sebuah idealisme. Tapi engkau pasti heran kan? Idealisme yang seperti apa? Perang melawan siapa?Engkau dan pemuda pejuang lainnya dulu bahkan tak seanarkis pemuda sekarang. Padahal engkau melawan musuh yang nyata. Bangsa penjajah.”
            Sepi mengiris hati. Pemakaman bisu di siang terik. Slamet bin Salama’ melanjutkan :
            “Aku sangat malu pada kalian. Kami tidak bisa memegang tampuk amanah yang engkau wariskan pada kami. Lihatlah. Kami hanya bisa berhura- hura setelah lelah membuat huru hara. Lihatlah. Di jalanan kami meneriakkan kalimat- kalimat indah penuh idealisme. Tapi terkadang idealisme itu tergadai di gedung- gedung tinggi itu. Munafik.”
            Slamet bin Salama’ menghela nafas. Kembali nampak berkeluh kesah. Tentang pemuda yang banyak dijumpainya.
            “Aku tahu engkau pasti kecewa. Kami bukanlah generasi penerus yang baik. Terlalu sedikit prestasi yang bisa kami ukir untuk bisa membuatmu bangga. Kami tak pandai memetik hikmah dari buah perjuanganmu. Mungkin engkau juga setuju pada pernyataan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati pahlawannya. Tapi pemuda sekarang ini, termasuk aku, bingung bagaimana caranya menghormati kalian, para pahlawan.”
            Slamet bin Salama’ berdiri. Berpindah ke makam di sampingnya.
            “Karena itulah aku semakin tidak punya muka di hadapan kalian. Tapi aku berjanji akan menyelamatkan negeri ini. Walau sekali lagi aku juga bingung bagaimana caranya. Pemuda negeri ini sudah banyak yang sakit parah. Lihatlah di layar kaca. Hampir tiap hari kita menyaksikan pemuda yang ditangkap karena mengkonsumsi obat- obat terlarang berkelahi, atau bahkan membunuh. Yang lainnya terjerat dalam pergaulan bebas tak berbatas.”
            Untuk ke sekian kalinya Slamet bin Salama’ menarik nafas panjang.
            “Aku sangat berharap yang selama ini kita lihat, baca dan rasakan hanyalah sebatas mimpi. Atau hanya sekedar lakon sinetron negeri ini yang terkadang memang sengaja dibuat se- hiperbola mungkin. Aku berharap yang sebenarnya adalah aku dan pemuda yang lain masih sama seperti kalian, para pejuang. Pemuda yang penuh semangat, enerjik, loyal, amanah, berani dan bertanggung jawab.”
            Slamet bin Salama’ melangkahkan kakinya kembali. Meninggalkan gundukan tanah merah tempat beristirahat jasad- jasad para pahlawan  negeri ini.  Dia menuju pintu gerbang. Masih ada harap dalam hatinya, walaupun hanya berupa sebuah noktah yang nyaris  tak kasat mata. Ya, ragu itu ternyata lebih perkasa menguasai.
            Sesampainya di jalan raya. Slamet bin Salama’ terpaku. Di hadapannya api berkobar- kobar. Sebuah mobil flat merah seakan menjerit menahan panas nyala api di sekujur tubuhnya. Ratusan pemuda dengan label berbagai warna jas nampak antusias menyaksikan peristiwa itu. Mereka mungkin lupa bahwa mobil itu dibeli dari uang rakyat. Dari pajak yang wajib dibayar rakyat tepat waktu.
            …….masa yang akan datang
 Kewajibanmulah
Menjadi tanggunganmu terhadap nusa
……….
           
            Lirik lagu yang dinyanyikan kelompok aubade ketika upacara Sumpah Pemuda tadi terngiang kembali di telinga Slamet bin Salama’. Merdu mendayu. Mengusik hati. Menohok idealisme yang selama ini coba dipertahankan. Harap itu begitu tulus, namun jalan untuk menggapainya tidaklah mulus. Slamet bin Salama’ menjadi gamang. Semakin bingung. Bertambah bimbang. **** (Makassar, 24 Oktober 2010)

(Selamat Hari Sumpah Pemuda ke- 82 tahun… semoga senantiasa menjadi spirit bagi generasi muda bangsa untuk berbuat yang lebih baik.)

(dimuat di Harian Fajar Makassar, Oktober 2010)
           

1 komentar: