SINGGASANA TAK BERTUAH
Pagi berteman gerimis. Gemericik air menerpa dedaunan di rumah panggung bergaya antik yang luas itu. Suaranya terdengar indah menyayat di hatiku, menimbulkan dentum rindu akan kampung halamanku. Tanah tumpah darahku. Tempatku menorehkan banyak sejarah hidup yang terus terkenang. Bersama Ibu yang senantiasa mengajariku untuk pandai- pandai mensyukuri pemberian Allah. Bapak yang selalu optimis, dan teman- teman sebayaku yang polos nan lugu. Mereka mampu menyemai bibit bahagia di permadani hatiku. Hingga sekarang, ketika aku kembali mengenang semuanya.
“Yakinlah Allah pasti mempunyai rencana yang indah dengan keadaan kita ini.” Kata Ibu. Menurutnya boleh jadi kalau kita ditakdirkan untuk kaya, maka kita akan menyombongkan diri dan lalai beribadah. “Karena itulah kita harus menikmati dan mensyukuri apa yang diberikan oleh-Nya.” Nasehat Ibu bijak setiap kali aku mengumbar keluh kesah padanya. Nasehat itu yang selalu kusampulkan pada setiap lembaran perjalanan hidupku.
Nasehat itu pulalah yang menjadikan aku tabah menganyam derita untuk sebuah restu. Aku bersyukur ketika aku dan suami diperbolehkan tinggal bersama mertua. Walau itu bukanlah isyarat sudah tergenggamnya sebuah restu. Belum. Ada beragam syarat yang harus aku lalui untuk bisa mendapat gelar MENANTU. Aku diharuskan melakukan sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang menantu.
Hal yang sama tidak berlangsung hanya sekali. Berkali- kali aku dan suamiku harus menghadapi pasang surut hubunganku dengan mertua. Jika aku mengingat hal itu, ada pusaran rasa nyeri yang berputar- putar di hatiku dan menusuk hingga ke kedalaman jiwaku. Saat itu aku tidak bisa menikmati indahnya berumah tangga, tidak pernah punya waktu untuk diri sendiri dan tidak pernah bisa merenda canda tawa bersama anak dan suamiku. Hampir semua waktuku kuhabiskan untuk melayani mertua dan semua iparku serta keluarganya. Itupun apa yang kulakukan selalu saja tidak benar menurut pandangan mereka. Selalu ada celah untuk membuatku merasa bersalah dan tak berarti.
Kubenahi peralatan dapur yang baru saja aku pakai menyiapkan sarapan pagi itu. Sarapan sudah tersedia di atas meja. Sekarang aku tinggal mendatangi satu persatu kamar di rumah ini, mengetuknya dan sambil membungkukkan badan memanggil penghuninya ke meja makan. Itulah rutinitasku setiap hari. Di depan pintu kamar tidurku aku berhenti. Sebelum sempat membuka pintu, Kak Muchlis, suamiku, sudah berdiri menyambutku.
"Kita sarapan sekarang kan, Dek?" Tanyanya.
"Iya. Yang lain sudah menunggu di ruang makan. Kakak bergegaslah ke sana." pintaku.
"Saya tidak akan ke sana kalau tidak bersama kamu." tolak suamiku. Aku menundukkan mukaku. Seandainya dia tahu betapa inginnya aku menemaninya makan, betapa inginnya aku selalu mendampinginya. Tapi aku tak berdaya. Aku terkungkung oleh aturan kaku yang dibuat keluarga suamiku, yang bahkan diapun tak kuasa mendobraknya. Aturan di rumah ini tidak membolehkan seorang ata)1 duduk se-meja dengan majikan.
Aku tak pernah menyesali diriku terlahir dari rahim seorang ibu yang nenek moyangnya adalah pelayan raja pada masa kerajaan dahulu. Walaupun masih menduduki strata kedua, tapi tetap saja kami beda dengan keturunan raja langsung. Akupun tetap bangga berasal dari sperma seorang ayah yang merupakan cucu dayang- dayang permaisuri dulu. Karena aku tahu ayah dan ibuku adalah orang- orang hebat yang bijaksana, sabar dan penuh rasa syukur dalam hidupnya. Karena itu aku merasa tak secuilpun alasan bagiku untuk menyesali keberadaanku di muka bumi ini. Pun aku harus menjadi pelayan keluarga suamiku sendiri karena mereka merasa aku adalah keturunan pelayan keluarga mereka, aku tetap bersyukur dan ichlas menerimanya. Aku bersyukur karena suamiku tetap mencintaiku seperti dulu walaupun dia sama tak berdayanya dengan diriku. Aku hanya berharap kesabaranku tidak akan terkikis oleh derasnya arus penderitaan yang aku rasakan di rumah ini. Rumah tua namun tetap nampak kokoh seakan ingin menunjukkan strata sosial penghuninya.
Rutinitas pagi hari adalah rutinitas yang paling berat bagiku. Semua anggota keluarga komplit harus aku layani sejak subuh hari hingga sekitar pukul delapan pagi. Belum lagi aku harus ichlas mencuci semua pakaian kotor mereka ketika mereka semua sudah meninggalkan rumah untuk beraktifitas. Tinggallah aku, Mentari, anakku dan Kak Muchlis yang menjaga rumah. Sekali- sekali Kak Muchlis juga keluar rumah menghirup udara segar, sekedar menghilangkan kepenatan. Atau terkadang dia mencari- cari peluang kerja untuk dirinya. Beberapa bulan selama kami di Selayar, dia memang tidak mempunyai pekerjaan yang pasti. Tentu saja hal itu sangat membosankan bagi orang yang terbiasa beraktifitas seperti Kak Muchlis.
"Aku keluar dulu ya, Dek." pamit suamiku. Diraihnya aku ke dalam dekapannya, pelan- pelan dia membungkukkan badan dan dikecupnya keningku lembut. Aku tersenyum, membalas kecupannya dengan menyalaminya sambil mencium punggung tangannya. Sebuah ritual yang selalu kami lakukan meskipun hanya dalam kamar. Ya, kami hanya boleh mengekspresikan rasa cinta dan saling menghargai kami secara sembunyi- sembunyi.
Sampai dua tahun kami di Selayar, suamiku belum bekerja juga. Dia masih belum tega meninggalkanku di rumah terlalu lama karena kuatir dengan perlakuan keluarganya terhadapku. Kakak- kakaknya yang lain semuanya PNS, bahkan kakak ke tiganya yang hanya tamatan SMP juga sudah PNS. Dari tujuh bersaudara hanya suamikulah yang berhasil meraih gelar sarjana. Saudara- saudaranya yang lain semuanya kandas di tengah jalan. Penyebabnya hanya satu, di manapun mereka menuntut ilmu, mereka selalu membangga- banggakan strata sosial mereka, sehingga mereka bahkan tidak segan- segan melawan dosen jika menurutnya dosen tersebut telah merendahkannya. Mereka lupa pepatah yang mengatakan di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Mereka tidak sadar bahwa di ranah rantau mereka bukanlah siapa- siapa.
Sementara satu persatu harta peninggalan nenek moyang mereka terjual, termasuk tanah perkebunan yang mencapai ratusan hektar sekarang sebagian besar justru telah menjadi hak milik para buruh tani yang dulu menggarapnya. Itu karena anak- anak mertuaku hanya tahu menghabiskan uang tanpa pernah mau tahu bagaimana caranya mencari uang. Menurut cerita yang aku dengar dari suamiku, setiap kali kakak- kakaknya butuh uang dalam jumlah yang agak besar, maka mereka dengan mudahnya akan menjual tanah. Ketika mereka kuliah, orang tuanya sengaja menjualkan tanah satu hektar per anak. Maksudnya uang hasil penjualan tanah tersebut akan dipergunakannya untuk biaya kuliah hingga selesai. Tapi ternyata uangnya habis, namun gelar sarjana tak pernah disandangnya.
"Kakak- kakakku terlalu senang berfoya- foya. Setiap bulan mereka meminta uang untuk kebutuhan kuliahnya, tapi mereka malah menyalahgunakan uang tersebut." Suatu malam ketika kami saling melakukan penjajakan tentang keluarga kami, suamiku menceritakan tentang kecurangan kakak- kakaknya.
"Tapi masa semuanya seperti itu?" tanyaku heran. Suamiku menarik nafas dalam- dalam lalu menghembuskannya pelan- pelan. Suara desahannya menunjukkan kalau dia sangat tersiksa dengan keadaan keluarganya.
"Sebenarnya Kak Zaenab tidak seperti kakak laki- lakiku. Dia tidak pernah boros. Ketika SMA saja, dia hanya punya satu pasang baju seragam dan juga sepatu, sementara anak- anak sebayanya lagi senang- senangnya bersaing memamerkan kemewahan yang dimilikinya. Dia sangat ingin sekolah sampai perguruan tinggi, tapi adat begitu kuat mengungkung kebebasannya. Maka akhirnya setamat SMA, Kak Zaenab hanya tinggal di rumah, menyulam, menjahit dan menata rumah. Dia hanya boleh keluar rumah sesekali. Itupun harus diantar oleh salah seorang dari kami." beber suamiku panjang lebar.
Sejak saat itu akupun tahu bahwa ternyata Kak Zaenab tidaklah sejudes yang selama ini aku saksikan di rumah. Sebenarnya dia baik, tidak sombong dan peramah. Akupun bukannya tidak pernah merasakan kebaikan hatinya. Beberapa kali dia menawarkan diri untuk membantuku ketika melihat aku sendirian berkutat dengan pekerjaan dapur yang menumpuk.
"Sudah, biar Kakak bantu, ya." tawarnya suatu hari. Aku menolak dengan halus. Walaupun aku sangat ingin dibantu, tapi aku tahu pasti mertuaku akan sangat marah bila melihatnya. Dia beringsut meninggalkan aku sendirian. Sebelum menghilang dari balik pintu, dia masih sempat berbalik ke arahku.
"Sebentar sore nanti Kakak yang menyiram bunga, ya. Kakak rindu sama bunga- bunga Kakak, karena sejak kamu di sini Kakak tidak pernah lagi merawatnya." aku mengangguk. Tanpa aku sadari ternyata sejak tadi mertuaku mendengarkan pembicaraan kami.
"Zaenab. Apa- apaan kamu ini." bentaknya.
"Zaenab kan sudah terbiasa mengerjakan hal- hal seperti itu, jadi apa salahnya kalau sesekali melakukannya lagi."
"Itu dulu sebelum ata kita kembali ke rumah ini. Sekarang kita kan sudah punya ata." kata mertuaku. Hatiku terasa perih mendengarnya. Ternyata sekian lama aku tinggal di rumah ini, anggapan mertua padaku belum juga berubah.
"Rafiyah itu menantu Opu. Dia bukan ata. Kalau Opu menghina dia, itu sama saja Opu menghina Muchlis." di luar dugaanku Kak Zaenab sangat marah. Sejak saat itu aku semakin yakin bahwa Kak Zaenab sangat baik dan menghargai aku. Tapi sayang sekali sejak saat itu pula Kak Zaenab tidak pernah menegurku lagi. Kadang secara tak sengaja aku melihat dia memperhatikan satu per satu bunga- bunganya di depan rumah.
"Kak Zaenab itu tidak manja, tidak seperti kakak- kakak yang lain. Walaupun ketika kami semua masih kecil, kami selalu dilayani oleh ata yang masih setia pada keluarga ini, tapi Kak Zaenab memang selalu ingin mengerjakan semuanya sendiri. Ketika Kak Muchsin misalnya dengan congkaknya menyuruh Nek Ranni, nama orang tua yang selalu orang tua kami sebut ata, untuk membersihkan sepatunya atau mengambilkan keperluan lainnya yang sebenarnya bisa dikerjakannya sendiri, Kak Zaenab justru sedang mempersiapkan sendiri sarapannya atau menyeterika seragamnya." Cerita suamiku. Nek Ranni sebenarnya adalah nenek kandungku, ibu dari bapakku, tapi aku sendiri tidak pernah melihatnya dan hanya mendengar cerita dari kakekku saja karena kakek nenekku bercerai ketika Bapak masih kecil. Kemudian kakek membawa Bapak ke kampungnya sementara Nek Ranni tetap tinggal mengabdi di rumah Opu Bongko, nenek suamiku. Akupun baru mengetahui bahwa suamiku adalah cucu Opu Bongko ketika acara lamaran. Saat itu pulalah secara terang- terangan mertuaku menyatakan tidak akan pernah mengakuiku sebagai menantu dan Kak Muchlis akan dikeluarkan dari silsilah keluarga jika tetap nekad menikahiku.
Karena suamiku anak bungsu, maka dia sering dijaga oleh Kak Zaenab. Karena itulah mungkin sehingga wataknya mirip Kak Zaenab. Tidak seperti kakak- kakaknya, suamiku lebih senang hidup sederhana tapi bersahaja. Itu pulalah sebabnya awal - awal mengenalnya di kampus, aku tidak tahu bahwa dia berasal dari keluarga terhormat. Dia tidak pernah memandang orang lain dari status sosialnya. Pergaulannya luas. Dari dekan sampai tukang sapu kampus semua diakrabinya.
Suamiku adalah kakak kelasku. Dia berada dua tahun di atasku. Perkenalanku dengannya terjadi ketika aku diopspek. Dia menjabat sebagai ketua panitia opspek. Setiap kali ada perpeloncoan yang akan diberikan kepada anak baru, dia akan terlebih dahulu mengecek satu per satu keadaan fisik yuniornya. Aku yang berfisik lemah sering kali mendapatkan dispensasi. Pada hari terakhir opspek, perutku melilit bukan main ketika saat makan siang, kami oleh senior diminta untuk mengumpul air minum, menghabiskan nasi terlebih dahulu, kemudian sayur dan terakhir ikan. Belum juga satu suap pun masuk di mulutku, aku sudah muntah- muntah. Lambungku yang memang sudah lama bermasalah membuatku susah mencerna beberapa jenis mkanan tertentu. Akhirnya Kak Muchlis, sang ketua panitia, menginstruksikan kepada panitia mahasiswi untuk membawaku ke ruang istirahat. Aku disuruhnya beristirahat di sana hingga menjelang acara penutupan. Tapi bukan itu yang membuatku mengaguminya. Aku melihat ada kelembutan di balik sikapnya yang tegas. Itu yang membuatku menyukainya. Maka ketika pengisian angket mengenai panitia, aku menulis nama MUCHLIS sebagai panitia yang paling aku kagumi.
Suamiku adalah kakak kelasku. Dia berada dua tahun di atasku. Perkenalanku dengannya terjadi ketika aku diopspek. Dia menjabat sebagai ketua panitia opspek. Setiap kali ada perpeloncoan yang akan diberikan kepada anak baru, dia akan terlebih dahulu mengecek satu per satu keadaan fisik yuniornya. Aku yang berfisik lemah sering kali mendapatkan dispensasi. Pada hari terakhir opspek, perutku melilit bukan main ketika saat makan siang, kami oleh senior diminta untuk mengumpul air minum, menghabiskan nasi terlebih dahulu, kemudian sayur dan terakhir ikan. Belum juga satu suap pun masuk di mulutku, aku sudah muntah- muntah. Lambungku yang memang sudah lama bermasalah membuatku susah mencerna beberapa jenis mkanan tertentu. Akhirnya Kak Muchlis, sang ketua panitia, menginstruksikan kepada panitia mahasiswi untuk membawaku ke ruang istirahat. Aku disuruhnya beristirahat di sana hingga menjelang acara penutupan. Tapi bukan itu yang membuatku mengaguminya. Aku melihat ada kelembutan di balik sikapnya yang tegas. Itu yang membuatku menyukainya. Maka ketika pengisian angket mengenai panitia, aku menulis nama MUCHLIS sebagai panitia yang paling aku kagumi.
Belakangan aku merasakan Kak Muchlis sering memperhatikanku. Di beberapa kesempatan dia sengaja membantuku mengerjakan tugas- tugasku. Lama kelamaan rasa kagum dan sukaku berubah menjadi rasa rindu bila seharian aku tak melihatnya. Tapi aku menampik perasaan itu. Aku mencoba menghilangkannya dari hati dan pikiranku.
Tak kusangka ternyata kami memiliki bakat dan minat yang sama. Maka kamipun jadi sering jalan bersama, mengerjakan tugas bersama- sama dan aktif di organisasi yang sama. Tapi kamipun akan kompak marah kalau ada yang mengatakan kami pacaran. Bagi kami hubungan kami ini hanyalah hubungan persahabatan atau hubungan kakak adik.
Akupun mengagumi sifat rendah hatinya. Saat itu Kak Muchlislah satu- satunya yang bermobil ke kampus. Sebenarnya mobilnya sudah butut karena katanya msih peninggalan bapaknya dulu, tapi masih lumayanlah untuk dipakai. Apa lagi teman- teman yang lain punya motor bututpun sudah suatu kesyukuran. Aku sendiri hanya naik damri ke kampus. Meskipun begitu dia tidak pernah berlagak sombong. Mobilnya beberapa tahun kemudian dia jual dan hasil penjualannya dia jadikan modal mendirikan usaha foto copy di dekat kampus. Saat itu perekonomian keluarganya semakin memprihatinkan.
"Kenapa mobilnya dijual, Kak Lis?" tanyaku saat itu. Dia kemudian secara sepintas menyinggung kesulitan ekonomi yang dialami keluarganya sebagai ulah kakak- kakaknya.
"Aku tidak mau terus menerus tergantung pada orang tua. Kalau semua hanya mengandalkan harta orang tua, maka lama- lama akan habis. Karena itulah aku ingin mandiri." Sejak percakapan itu tanpa aku sadari, kekagumanku pada sosok seorang Muchlis semakin bertambah. Aku kagum pada sikapnya, padahal sebagai anak bungsu keturunan bangsawan, dia bisa meminta apa saja pada orang tuanya. Tapi katanya dia tidak ingin menunggu kebangkrutan orang tuanya, baru mau mencari solusi.
" Kenapa bicara begitu?"
"Mungkin saya kedengaran konyol menceritakan aib keluarga saya sendiri, tapi inilah kenyataannya. Harta melimpah peninggalan kakek nenekku dulu sudah semakin menipis dan kalau saya juga hanya bisa menggunakannya tanpa bisa menambahnya, maka itu hanya akan mempercepat kebangkrutan orang tuaku."
Bukan tanpa alasan suamiku saat itu berkata begitu. Dari berhektar- hektar tanah perkebunan keluarganya, kini hanya tersisa beberapa saja. Sehingga dari hasil kebun tersebut hanya bisa mencukupi kebutuhan sehari- hari keluarga besar Kak Muchlis. Bahkan menjelang keberangkatannya KKN, dia tidak bisa ikut karena tidak bisa membayar uang KKN dan uang kuliah. Usaha Foto kopinya saat itu lagi mundur karena tinggal satu mesin foto copi yang berfungsi baik. Aku yang saat itu sudah menjadi sahabat terdekatnya, menawarkan bantuan padanya, tapi dengan sopan dia menolaknya. Maka diapun harus menunggu satu semester lagi untuk bisa KKN.
Ternyata keterlambatannya itu membawa hikmah. Dia bisa konsentrasi kembali mengurus usaha foto copynya. Pelan - pelan usahanya mulai menggeliat lagi. Sampai akhirnya usaha tersebut semakin maju dan dari usaha itulah dia bisa meraih gelar sarjana.
***
Terkadang aku malu pada diri sendiri. Kak Muchlis yang berasal dari keluarga bangsawan tanpa sungkan- sungkan bekerja membanting tulang membiayai dirinya sendiri, sementara aku yang hanya anak buruh tani dan menurut penuturan orang- orang se kampung, keluarga ayahku berasal dari golongan ata, strata paling rendah dalam masyarakat kami, justru tidak mampu untuk membantu orang tuaku. Aku kuliah mengandalkan hasil belas kasihan keluarga ibuku yang masih keturunan panrita)2, strata ke dua setelah Opu)3. Beberapa areal kebun kelapa dan kebun cengkeh warisan kakekku memang dikelola oleh saudara- saudara bapakku. Karena itulah aku selalu mendapatkan bagi hasil dari kebun tersebut. Dan itulah yang oleh ibuku diatur sedemikian rupa agar bisa menutupi biaya kuliahku. Aku sangat bersyukur karena walaupun ibuku buta huruf, tapi dia sangat peduli terhadap pendidikanku.
Aku masih ingat ketika tamat SMP, keluarga bapakku memintaku untuk berhenti sekolah. Mereka malu kalau harus tiap saat minta bantuan dari keluarga Ibu. Dengan tegas ibu menolak. Ibu meyakinkan mereka bahwa apa yang aku peroleh selama ini tidaklah lebih dari yang seharusnya memang aku peroleh. Ibu adalah anak tertua dari tiga bersaudara yang semuaya perempuan, karena itulah sesuai hukum mawaris dalam agama Islam, mereka mendapatkan warisan yang sama banyak. Adat istiadat yang berlaku di kampungku, pembagian harta tidak ada bedanya antara laki- laki dan perempuan, hanya saja untuk anak laki- laki biasanya ditambahkan satu areal perkebunan kelapa yang kelak akan dijadikan sebagai mahar pernikahannya.
Ketika aku baru menginjak usai tiga belas tahun, bapakku dipanggil oleh Yang Maha Kuasa setelah kurang lebih dua tahun dirawat oleh ibuku dengan penuh kesabaran. Kami pasrah karena kami sadar Allah lebih menyayanginya ketimbang kami. Karena itulah walau dengan hati yang teramat sedih, ibuku dengan tegar mengichlaskan kepergian bapakku. Sejak saat itu semua kebun warisan Ibu yang selama ini dikelola Bapak dilimpahkan Ibu kepada ipar- ipar Ibu untuk dikelola. Paman- pamanku berbaik hati, mereka tidak mengambil bagian dari kebunku. Jadi hasil panen kelapa atau cengkeh oleh pamanku dibagi tiga, aku dua bagian dan sebagiannya lagi untuk petani penggarap. Dan sesuai perjanjian nanti setelah aku berumur 25 tahun barulah kebun- kebun itu aku kelola sendiri.
Tak henti- hentinya kupanjatkan puji syukur kepada Sang Penguasa Yang Maha Pengasih karena walaupun aku sudah yatim, namun aku tidak dibiarkan menderita. Paman- pamanku sangat jujur dalam mengelola hartaku. Maka selama aku kuliah, tak pernah satu kalipun aku kekurangan biaya. Pernah beberapa tahun harga cengkeh menurun drastis, tetapi biaya kuliahku masih bisa ditalangi dari penjualan kopra.
***
Jalan hidup manusia semuanya sudah diatur dengan begitu rapih oleh Allah. Di jalur manapun sang hamba melangkah, suatu saat pasti akan tiba di persimpangan. Di setiap persimpangan sang hamba harus mampu menggunakan akal pikiran yang telah dianugerahkan padanya untuk bisa menentukan ke arah mana harus berbelok. Karena itu walaupun seorang manusia harus mempercayai takdir, tetapi harus selalu ada ikhtiar dari manusia itu sendiri untuk memperbaiki kualitas hidupnya, dunia dan akhirat. Bukanlah suatu pribadi muslim namanya jika hanya terpaku pada jalur kemiskinannya tanpa mau berusaha karena merasa bahwa itu adalah takdirnya. Kalau seperti itu, maka sama saja dengan berputus asa. Prinsip itulah yang selalu ditanamkan ibuku dalam hidupnya, sehingga ia selalu nampak tegar seberat apapun ujian hidup ini menerpanya.
Melihat sosok Ibu, akan selalu hadir haru menyeruak dari bilik hatiku. Bertubuh ringkih dengan kulit keriput berbalut kain dan kebaya lusuh cukup menjadi gambaran penderitaannya selama ini. Rambutnya yang dikonde seadanya dengan wajah yang tidak pernah tersentuh make up membuat ibuku nampak sebagai wanita pedesaan tulen yang hanya menghabiskan waktunya di kebun. Sangat kontras dengan penampilan ibu mertuaku. Kulit putih bersih, tubuh yang masih nampak berisi dan pakaian yang selalu necis merupakan wujud keanggunan seorang bangsawan. Cara berjalannyapun dibuat seberwibawa mungkin. Wajahnya selalu dihiasi make up tebal yang seakan tak pernah pudar. Tetapi meskipun begitu, aku tetap lebih bangga terhadap ibuku. Bukan mau membanding- bandingkan. Tetapi aku menemukan banyak kelebihan dari sosok wanita yang melahirkanku tersebut. Kebersahajaan pribadinya, ketulusan, keichlasan dan kasih sayangnya semuanya mengalir bagaikan air, tanpa dibuat- buat dan tanpa tendensi apa- apa.
Ibuku bagaikan telaga bening, menyejukkan hati setiap yang memandangnya, menenangkan pikiran yang resah dan menghilangkan dahaga setiap musyafir yang melewatinya. Setiap untai kata- katanya bagaikan oase yang menghilangkan dahaga para petualang di tengah gersangnya padang pasir. Petuah- petuahnya membekas di hati yang mendengarnya. Ibuku kaya hati, walaupun miskin harta. Ibuku kaya ilmu meskipun tidak pernah duduk di bangku sekolah. Karena itulah aku tumbuh menjadi gadis yang ceria,peramah, supel namun tegas dan teguh pendirian. Ibuku mampu mendidikku dengan baik, walaupun dia tidak pernah mengecap pendidikan formal.
Aku sangat bersyukur memiliki ibu yang hebat. Dulu ketika masih kuliah aku sering prihatin dengan keadaan Kak Muchlis. Terlebih jika dia mengeluhkan sifat ibunya yang berpikiran kolot dan tidak demokratis. Bagi ibunya, strata dan gelar kebangsawanan adalah yang paling utama dalam bermasyarakat. Menurut cerita Kak Muchlis, beberapa kali dia harus menangis karena ibunya mengusir teman- teman sepermainannya hanya karena mereka bukan keturunan Opu.
"Karena itu sejak kecil saya hanya bergaul dengan sepupu- sepupuku. Watak mereka semuanya sama, suka pamer harta dan kedudukan. Saya sering merasa terasing di tengah keramaian keluarga besarku." Kak Muchlis menceritakan keadaan masa kecilnya. Kelak setelah mereka besar, Kak Muchlis merasa semakin tersisih.
"Gaya hidup mereka tidak sesuai dengan hati nuraniku." katanya. Maka tidaklah mengherankan ketika kemudian Kak Muchlis menjatuhkan pilihan hatinya padaku untuk jadi pendampingnya. Baginya strata dan silsilah keluarga bukanlah pertimbangan dalam memilih pasangan. Yang terutama adalah agama karena dengan agama yang bagus tentu saja akan terpaket dengan akhlak yang bagus pula.
Maka terdamparlah aku di belantara bernama kerajaan, yang walaupun secara formal sudah menjadi kepingan masa lalu, tetapi oleh sebagian masyarakat masih tetap memberlakukannya. Dan di sanalah aku selama bertahun- tahun, di atas singgasana tak bertuah, kembali menjadi ata melanjutkan garis nasib nenek moyangku, walaupun dengan kedudukan yang berbeda.
I love to read this chapter, I believe the next chapters will be full of inspiring evidence since you as the writer show us so many facts around which are happening and can be experienced by anyone who understands about this culture. Keep up your good talent and work, can hardly wait for the book.
BalasHapusMasni-UNM, FBS 93
baru baca satu paragraf saja hatiku dah tergetar....Insya Allah best seller.....
BalasHapusSeorang wanita panrita yg terdampar di sebuah singgasana tak bertuah....Insya Allah best seller.....
BalasHapusMasni :Thanks 4 ur appreciation... Just send me ur address if u'r interested in, sista...
BalasHapusAll : amiinn... thankx
Rafiyah sosok isteri yang tabah, q penasaran mo tau lebih lanjut ceritanya, bagi yang baca novel ini dijamin matanya berkaca-kaca. Insya Allah Laku keras...!!!!!
BalasHapuslike this capter. terus berkarya! insya Allah bakalan laku dan terjual habis nih novel.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus