(Catatan atas pembacaan Novel (Bukan) Lelaki Terindah
Oleh: Mira Pasolong
(Pendidik dan Penulis)
Seorang penulis yang baik sudah pasti adalah pembaca yang baik pula. Ungkapan ini sudah menjadi sesuatu yang lumrah di kalangan orang- orang yang bergelut di dunia tulis menulis. Penulis harus pandai “membaca”. Membaca apa saja yang bisa dilihat, dirasa, dan diraba. Hasil pembacaan yang jeli akan melahirkan sebuah karya yang tentu saja indah.
Hal itulah yang dilakukan Riyanto El- Harist, penulis novel (Bukan) Lelaki Terindah. Dalam (Bukan) lelaki Terindah, Riyanto El-Harits mencoba membaca ulang (mengkaji) fenomena sosial yang banyak terjadi di sekitar kita, yang terkadang luput dari perhatian kita. Sebagai sebuah karya sastra, seyogyanyalah memang mengangkat masalah- masalah sosial kemasyarakatan. Sebagai mana yang dikatakan oleh Wellek dan Warren bahwa sastra itu sebenarnya adalah institusi sosial dan institusi kehidupan yang menggunakan bahasa sebagai medianya.
Penulis adalah merupakan elemen masyarakat yang bertanggung jawab menegakkan nilai-nilai kebenaran melalui tulisan- tulisannya. Riyanto El-Harits menyadari betul akan hal itu, dan dituangkannya dalam novel ini. Riyanto El- Harits, dengan kepiawaiannya merangkai kata, berhasil membuai pembaca dengan suguhan- suguhan kalimatnya dalam (Bukan) Lelaki Terindah. Seperti novel- novelnya yang terdahulu, novel inipun sarat makna dan hikmah. Dia mencoba mengungkap kenyataan sosial yang lumrah terjadi, tapi cenderung dianggap tabu untuk dibicarakan. Novel ini bertabur hikmah tentang cinta, persahabatan dan ketulusan, walaupun diangkat dari sebuah tema yang “agak tabu/ bahkan terlarang”.
Membaca Bab pertama, kita disuguhi sajian yang memiriskan tentang korban- korban kebiadan zionis Israel di palestina. Kisah miris ini hanya merupakan bingkai dari sebuah kisah tentang ketulusan. Cinta yang tulus dari seorang wanita Australia bernama Jeanette dan seorang lelaki Indonesia. Sayang sekali kisah cinta penuh romansa ini harus berakhir tragis.
Pada bab- bab selanjutnya, kisah (Bukan) Lelaki Terindah dilanjutkan dengan mem-flashback kisah sang tokoh utama Rudi. Kisah ini menjadi mengharu biru dengan persahabatan “segi tiga” antara Rudi, Aldi dan Emma.” Melalui konflik- konflik kecil diantara ketiganyalah kisah ini dibangun. Mengikuti keseluruhan alurnya, maka akan kita temukan beragam makna kehidupan yang mungkin sudah agak jarang kita temukan pada masayarakat hedonis seperti sekarang ini, cinta dan ketulusan.
Saya terhanyut ketika membaca lembar demi lembar kisah persahabatan antara para tokohnya. Saya ikut merasakan kegundahan dan keresahan Emma, ketika menyadari sahabatnya mungkin berada dalam bahaya. Dengan indahnya Riyanto El-Harits membingkai kecemasan Emma, dengan membiarkan hubungan Emma dan Aldi merenggang. Di sini kita bisa mengambil pelajaran bahwa sedekat apapun kita dengan seseorang, tetapi tetap ada ruang- ruang privacy yang tidak bisa kita masuki. Berikut cuplikan kalimat yang dilontarkan Aldi kepada Emma, sebagai wujud ketaksukaannya jika Emma terlalu mencampuri urusannya.
“Ma, aku tahu kamu sahabat yang paling baik dan peduli padaku. Kamu juga orang pertama yang membuatku merasa lebih dewasa. Tapi bukan berarti kamu bisa mengatur semua hal dalam hidupku……….” ((bukan) Lelaki Terindah, hal. 72).
Novel inipun sarat dengan nilai- nilai pengorbanan. Sejak memasuki Bab II, kita sudah dihidangkan penderitaan dan pengorbanan seorang Rudi. Secara tersirat, dengan lihainya Riyanto El-Harits menggiring kita pada suatu kesimpulan bahwa Rudi adalah seorang yang (maaf) menyukai sesama jenis. Tema homoseksual dalam novel ini ditilik dari sudut pandang yang unik dan tidak seperti angggapan masyarakat pada umumnya. Dalam masyarakat kita tertanam anggapan bahwa seseorang yang mengidap homoseksual akan sangat protektif dan posesif terhadap orang yang disukainya. Bahkan sering kali sampai terjadi kekerasan karena hal ini.
Tetapi dalam (bukan) Lelaki terindah, Rudi justru mencoba mengalihkan rasa protektif dan posesifnya secara possitif. Rudi bahkan tidak ingin menjadikan sahabatnya sama seperti dirinya. Kisah mengharu biru Rudi dalam melawan dilema di hatinyalah yang membuat saya, sebagai pembaca , harus berurai air mata. Di sinilah nampak ketulusan nilai- nilai persahabatan yang dibangun oleh Rudi dan Alwi. Bahkan atas dasar ketulusan itulah, pada akhirnya Rudi bisa bangkit melawan ketaknormalannya, walaupun itu terjadi setelah mereka sudah berjauhan.
Banyak sisi- sisi menarik yang bisa kita temukan dalam novel berhalaman lebih dua ratus ini. Pertama, konflik dibangun dengan lugas, mengalir, tanpa mengada- ada sehingga pembaca seakan- akan merasakan sesuatu yang nyata. Kedua, Riyanto El-Harits, melalui penggambaran tokoh- tokohnya, mencoba mengungkap sebuah nilai ketulusan dalam sebuah hubungan. Melalui novel ini, kita akan menyaari bahwa Insya Allah ketulusan masihlah sebuah keniscayaan di zaman ini. Ketiga, novel ini merupakan bukti bahwa cerita tentang cinta akan semakin indah jika dibingkai dengan kalimat- kalimat indah, tanpa kevulgaran. Dan keempat, gaya bertutur Riyanto El-Harits yang khas merupakan daya tarik tersendiri, yang membuat pembaca tidak akan beranjak sebelum menamatkannya.
Pada akhirnya, saya ingin mengatakan bahwa inilah novel tentang cinta yang bisa mendekatkan kita pada kasih sayang-Nya dan membuat kita semakin pandai bersyukur atas segala anugerah-Nya. (Bukan) Lelaki Terindah adalah novel tentang cinta yang terindah yang pernah saya baca.
(Dimuat di Koran Harian Fajar, Minggu/ 29 Januari 2012)
terima kasih atas resensinya mbak Mira...
BalasHapus