“Rere”
sebutmu ketika menjabat tanganku. Aku terkesima menatapmu. Terpesona oleh
keindahan yang engkau tebar. Wajahmu memang tidak seganteng Nicholas Saputra,
tidak pula se- cute Andhika Pratama, tapi aku sungguh takjub
padamu. Bodi atletis, senyum menawan dengan dua lesung pipit, barisan gigi yang
teratur rapih, dan kulit sawo matang menambah nilaimu di mataku.
“Rara.”
Sambutku.
‘Wow,
nama kita mirip. Mungkin kita sejodoh.” Ada nada canda dalam ucapmu. Tapi
tatapan matamu yang lembut menimbulkan desir aneh di hatiku. Jatuh cinta pada
pandangan pertama? Entahlah. Yang pasti setelah itu suasana hatiku menjadi bak
pelangi, berwarna warni.
Perkenalan
itu terjadi ketika sekolahku mengadakan study
tour untuk mata pelajaran Sejarah. Walaupun aku guru Bahasa Inggris, namun
aku diminta ikut karena kebetulan pada saat yang bersamaan sedang ada gerakan “lets visit Selayar” dan salah satu
tempat yang ramai dikunjungi wisatawan asing adalah Gong Nekara, sebuah Gong
yang menurut sejarah hanya ada dua di dunia, yaitu di Selayar dan di daratan
Cina. Sebuah gong perunggu yang menjadi kebanggaan budaya warga Selayar.
“sudah
berapa lama mengajar?” Engkau kembali membuka percakapan. Suara baritonmu
menambah degup di jantungku. Aku tak
menyadari bahwa sejak tadi langkahmu tak pernah menjauh dariku.
“baru
dua tahun.” Kataku. Aku melirikmu sekilas. Ada senyum menghias bibirmu. Duh,
Allah. Betapa mempesonanya makhluk di sampingku ini. “Inikah jawaban atas doa-
doa piluku di setiap penghujung malam-Mu?” Bathinku.
Percakapan
kita terganggu dengan kedatangan siswa- siswa yang meminta data tentang Gong
Nekara padamu.
“Gong
Nekara ditemukan oleh seorang petani di kampong Rea- rea pada tahun 1686 masehi.
Lokasi penemuan Gong Nekara masuk wilayah
kerajaan Puta Bangung. Dan pada tahun 1760 dipindahkan ke Bonto
Bangung.” Suara khasmu mengalun indah. Berpasang- pasang mata siswa MAN I
Benteng nampak serius mendengarkan ulasanmu.
Tak bisa kupungkiri, akupun turut terkesima. Tapi bukan hanya oleh
ceritamu. Tutur kata, gerak badan, senyuman dan sesekali tatapan sekilasmu ke
arahku membuatku salah tingkah.
“Mungkinkah
engkau tertarik padaku? Secepat itukah?” Suara bathinku. Tiba- tiba aku malu
sendiri dengan apa yang sempat bertalu di hatiku. Baru beberapa jam yang lalu
kita berkenalan. Mungkinkah akan secepat ini?
***
Aku
terkesima menatap rombongan siswa dan guru MAN I Benteng yang hari itu mengunjungi
Gong Nekara. Ada sosok sangat menawan di antara rombongan itu. Bidadarikah dia?
Aku tak mampu menahan kakiku untuk tidak mengikut perintah otak yang
mengarahkannya ke rombongan yang baru datang tersebut.
Sebagai
pegawai Dinas Pariwisata yang ditugaskan menjaga dan melayani pengunjung yang
ingin menyaksikan benda bersejarah, Gong Nekara, aku harus melayani mereka
dengan sebaik- baiknya. Tapi penyambutanku kali ini lain. Walaupun mulutku
sibuk mengucapkan kata selamat datang, tapi ekor mataku hanya fokus pada satu
obyek nan indah itu.
Dan
ketika ada kesempatan, aku tak menyia- nyiakannya. Segera aku mendekatimu,
mengajakmu berkenalan dan mencoba mencairkan suasana dengan obrolan tak
berujung. Aku menikmati keindahanmu yang berbalut kebersahajaan. Engkau nampak
tersipu ketika beberapa kali aku menyebut tentang rasa. Engkau menganggapku
bercanda. Padahal sungguh pesonamu telah menyihirku. Dan aku yakin engkaulah
tulang rusukku yang hilang itu.
***
Aku menemuimu di sekolah beberapa
hari kemudian. Tahukah engkau getar rindulah yag mengantarkan aku ke sana?
Rasanya seluruh persendianku ngilu oleh perasaan asing yang tiba- tiba saja
menyerangku melihatmu berjalan anggun ke arahku. Senyum manismu mengembang
menyapaku. Ramah dan santun. Tak berlebihan. Apa adanya. Berjejer pujian
tergumam di bibirku yang mendadak kelu.
“aku tidak mengganggu kan?” Tanyaku.
Engkau hanya tersenyum. Aku hanya berharap, hadirku sungguh tak mengganggumu,
walau hadirmu telah mengganggu hatiku. Malam- malamku terlewatkan dengan
gelisah sejak pertemuan pertama kita.
“Maaf, aku lupa menanyakan alamat
padamu hari itu.” Lanjutku lagi. Engkau masih terdiam. Mengulum senyum. Semakin
menawan. Semakin membuatku terpedaya
oleh pesona alamimu.
“untuk apa?” tanyamu spontan dengan
nada tegas.
Aku terpaku sejenak, sebelum
menjawab,”menemui orang tuamu.” Wajah indahmu memerah. Hatiku berdebar. Takut engkau
marah. Tapi senyum tipismu menghapus rasa kuatirku.
“aku harus memberitahu mereka dulu.”
Katamu kemudian. Ada gurat kecewa di wajahku. Andai engkau tahu, anggukan
kepalamulah yang aku nantikan. Tapi aku menghormati keputusanmu. Dan aku akan
sabar menunggu.
***
Gelisah
memadah hatiku. Aku harus memberitahu orang tuaku. Seperti janjiku padamu. Tapi
harus kujawab apa pertanyaan mereka?
Kita baru saja bertemu dan aku tak tahu secuilpun tentang dirimu, kecuali
namamu.
“dia anak siapa? Keturunan Opu
siapa?” rentetan pertanyaan orang tuaku ketika malamnya aku menyampaikan niatmu
padanya. Seperti yang sudah kuperkirakan. Dan aku hanya sanggup menggeleng.
“jangan sembarang memilih jodoh. Engkau
itu keturunan Opu, darah biru.” Berang suara Bapak. Air mataku menetes. Untuk
kesekian kalinya, hatiku teriris. Luka. Tergores oleh kecongkakan kasta yang
dibanggakan orang tuaku.
“Andi Restu. Hanya dia yang cocok
untukmu.” Kata Ibu menyebut nama salah seorang lelaki keturunan bangsawan.
Hatiku semakin nyeri. Tidakkah mereka sadari, kebangsawanan ini telah memenjara
kebahagiaanku?
Aku menggeleng. Berlari ke kamar.
Kali ini aku yakin dengan pilihanku. Aku yakin engkaulah jodoh yang dikirim
Allah untukku. Tak sudi aku membaktikan hati dan cintaku untuk seorang Andi Restu, walau belum sekalipun aku bertemu
dengannya.
“baik, besok engkau cari tahu latar
belakang keluarganya. Kalau dia sama dengan kita, maka suruh dia menemui kami.”
Putus Bapak akhirnya. Aku menghela nafas lega. Setidaknya masih ada harapan.
***
Ah,
ternyata benar, jika sudah waktunya, jodoh itu akan datang sendiri. Di usia
kita yang tidak lagi muda, 35 tahun, kita dipertemukan dengan cara-Nya yang
unik. Pertemuan pertama berlanjut ke pertemuan- pertemuan selanjutnya.
Hingga kemudian kita sama- sama merasa bahwa
ada ruang kosong di kedalaman jiwa yang terisi dengan kebersamaan ini. Engkau
menemui orang tuaku, setelah meyakinkanku bahwa engkau adalah keturunan
bangsawan. Dan hatiku berdendang lirih menahan haru. Ternyata engkaulah Andi
Restu. Engkaulah lelaki yang dipilihkan orang tuaku.
“Aku
Rere. Lengkapnya Andi Restu.” Katamu malam itu menjawab keherananku ketika
melihat orang tua kita bercengkerama dengan akrabnya.
“seandainya
kita tidak keras kepala.” Sesalmu. Sesal yang sama juga mendengung di hatiku.
Kita telah menolak perjodohan orang tua kita. Sejak sepuluh tahun yang lalu
ketika kita masih dua puluh lima tahun.
Selanjutnya
bait cinta kita berlangsung indah, tanpa kelokan berarti. Engkau melamarku. Dan
kita menikah.
(dimuat di harian Fajar Makassar
tanggal 29 April 2012)
Ini ditulis dan dimuat pada tahun 2012, luar biasa. Saya baru belajar "menulis" pada tahun 2014 dan baru bisa terbitkan antologi. Tapi apapun itu, saya tetap bersemangat belajar apalagi setelah mengenal Bu Mira. Tulisannya keren.
BalasHapus