Rabu, 02 Mei 2012

JODOH


“Rere” sebutmu ketika menjabat tanganku. Aku terkesima menatapmu. Terpesona oleh keindahan yang engkau tebar. Wajahmu memang tidak seganteng Nicholas Saputra, tidak pula se- cute  Andhika Pratama, tapi aku sungguh takjub padamu. Bodi atletis, senyum menawan dengan dua lesung pipit, barisan gigi yang teratur rapih, dan kulit sawo matang menambah nilaimu di mataku.
“Rara.” Sambutku.
‘Wow, nama kita mirip. Mungkin kita sejodoh.” Ada nada canda dalam ucapmu. Tapi tatapan matamu yang lembut menimbulkan desir aneh di hatiku. Jatuh cinta pada pandangan pertama? Entahlah. Yang pasti setelah itu suasana hatiku menjadi bak pelangi, berwarna warni.
Perkenalan itu terjadi ketika sekolahku mengadakan study tour untuk mata pelajaran Sejarah. Walaupun aku guru Bahasa Inggris, namun aku diminta ikut karena kebetulan pada saat yang bersamaan sedang ada gerakan “lets visit Selayar” dan salah satu tempat yang ramai dikunjungi wisatawan asing adalah Gong Nekara, sebuah Gong yang menurut sejarah hanya ada dua di dunia, yaitu di Selayar dan di daratan Cina. Sebuah gong perunggu yang menjadi kebanggaan budaya warga Selayar.
“sudah berapa lama mengajar?” Engkau kembali membuka percakapan. Suara baritonmu menambah  degup di jantungku. Aku tak menyadari bahwa sejak tadi langkahmu tak pernah menjauh dariku.
“baru dua tahun.” Kataku. Aku melirikmu sekilas. Ada senyum menghias bibirmu. Duh, Allah. Betapa mempesonanya makhluk di sampingku ini. “Inikah jawaban atas doa- doa piluku di setiap penghujung malam-Mu?” Bathinku.
Percakapan kita terganggu dengan kedatangan siswa- siswa yang meminta data tentang Gong Nekara padamu.
“Gong Nekara ditemukan oleh seorang petani di kampong Rea- rea pada tahun 1686 masehi. Lokasi penemuan Gong Nekara masuk wilayah  kerajaan Puta Bangung. Dan pada tahun 1760 dipindahkan ke Bonto Bangung.” Suara khasmu mengalun indah. Berpasang- pasang mata siswa MAN I Benteng nampak serius mendengarkan ulasanmu.  Tak bisa kupungkiri, akupun turut terkesima. Tapi bukan hanya oleh ceritamu. Tutur kata, gerak badan, senyuman dan sesekali tatapan sekilasmu ke arahku membuatku  salah tingkah.
“Mungkinkah engkau tertarik padaku? Secepat itukah?” Suara bathinku. Tiba- tiba aku malu sendiri dengan apa yang sempat bertalu di hatiku. Baru beberapa jam yang lalu kita berkenalan. Mungkinkah akan secepat ini?
***
Aku terkesima menatap rombongan siswa dan guru MAN I Benteng yang hari itu mengunjungi Gong Nekara. Ada sosok sangat menawan di antara rombongan itu. Bidadarikah dia? Aku tak mampu menahan kakiku untuk tidak mengikut perintah otak yang mengarahkannya ke rombongan yang baru datang tersebut.
Sebagai pegawai Dinas Pariwisata yang ditugaskan menjaga dan melayani pengunjung yang ingin menyaksikan benda bersejarah, Gong Nekara, aku harus melayani mereka dengan sebaik- baiknya. Tapi penyambutanku kali ini lain. Walaupun mulutku sibuk mengucapkan kata selamat datang, tapi ekor mataku hanya fokus pada satu obyek nan indah itu.
Dan ketika ada kesempatan, aku tak menyia- nyiakannya. Segera aku mendekatimu, mengajakmu berkenalan dan mencoba mencairkan suasana dengan obrolan tak berujung. Aku menikmati keindahanmu yang berbalut kebersahajaan. Engkau nampak tersipu ketika beberapa kali aku menyebut tentang rasa. Engkau menganggapku bercanda. Padahal sungguh pesonamu telah menyihirku. Dan aku yakin engkaulah tulang rusukku yang hilang itu.
***
            Aku menemuimu di sekolah beberapa hari kemudian. Tahukah engkau getar rindulah yag mengantarkan aku ke sana? Rasanya seluruh persendianku ngilu oleh perasaan asing yang tiba- tiba saja menyerangku melihatmu berjalan anggun ke arahku. Senyum manismu mengembang menyapaku. Ramah dan santun. Tak berlebihan. Apa adanya. Berjejer pujian tergumam di bibirku yang mendadak kelu.
            “aku tidak mengganggu kan?” Tanyaku. Engkau hanya tersenyum. Aku hanya berharap, hadirku sungguh tak mengganggumu, walau hadirmu telah mengganggu hatiku. Malam- malamku terlewatkan dengan gelisah sejak pertemuan pertama kita.
            “Maaf, aku lupa menanyakan alamat padamu hari itu.” Lanjutku lagi. Engkau masih terdiam. Mengulum senyum. Semakin  menawan. Semakin membuatku terpedaya oleh pesona alamimu.
            “untuk apa?” tanyamu spontan dengan nada tegas.
            Aku terpaku sejenak, sebelum menjawab,”menemui orang tuamu.” Wajah indahmu memerah. Hatiku berdebar. Takut engkau marah. Tapi senyum tipismu menghapus rasa kuatirku.
            “aku harus memberitahu mereka dulu.” Katamu kemudian. Ada gurat kecewa di wajahku. Andai engkau tahu, anggukan kepalamulah yang aku nantikan. Tapi aku menghormati keputusanmu. Dan aku akan sabar menunggu.
***
Gelisah memadah hatiku. Aku harus memberitahu orang tuaku. Seperti janjiku padamu. Tapi harus kujawab apa pertanyaan  mereka? Kita baru saja bertemu dan aku tak tahu secuilpun tentang dirimu, kecuali namamu.
            “dia anak siapa? Keturunan Opu siapa?” rentetan pertanyaan orang tuaku ketika malamnya aku menyampaikan niatmu padanya. Seperti yang sudah kuperkirakan. Dan aku hanya sanggup menggeleng.
            “jangan sembarang memilih jodoh. Engkau itu keturunan Opu, darah biru.” Berang suara Bapak. Air mataku menetes. Untuk kesekian kalinya, hatiku teriris. Luka. Tergores oleh kecongkakan kasta yang dibanggakan orang tuaku.
            “Andi Restu. Hanya dia yang cocok untukmu.” Kata Ibu menyebut nama salah seorang lelaki keturunan bangsawan. Hatiku semakin nyeri. Tidakkah mereka sadari, kebangsawanan ini telah memenjara kebahagiaanku?
            Aku menggeleng. Berlari ke kamar. Kali ini aku yakin dengan pilihanku. Aku yakin engkaulah jodoh yang dikirim Allah untukku. Tak sudi aku membaktikan hati dan cintaku untuk seorang  Andi Restu, walau belum sekalipun aku bertemu dengannya.
            “baik, besok engkau cari tahu latar belakang keluarganya. Kalau dia sama dengan kita, maka suruh dia menemui kami.” Putus Bapak akhirnya. Aku menghela nafas lega. Setidaknya masih ada harapan.
***
Ah, ternyata benar, jika sudah waktunya, jodoh itu akan datang sendiri. Di usia kita yang tidak lagi muda, 35 tahun, kita dipertemukan dengan cara-Nya yang unik.  Pertemuan pertama  berlanjut ke pertemuan- pertemuan selanjutnya.  Hingga kemudian kita sama- sama merasa bahwa ada ruang kosong di kedalaman jiwa yang terisi dengan kebersamaan ini. Engkau menemui orang tuaku, setelah meyakinkanku bahwa engkau adalah keturunan bangsawan. Dan hatiku berdendang lirih menahan haru. Ternyata engkaulah Andi Restu. Engkaulah lelaki yang dipilihkan orang tuaku.
“Aku Rere. Lengkapnya Andi Restu.” Katamu malam itu menjawab keherananku ketika melihat orang tua kita bercengkerama dengan akrabnya.
“seandainya kita tidak keras kepala.” Sesalmu. Sesal yang sama juga mendengung di hatiku. Kita telah menolak perjodohan orang tua kita. Sejak sepuluh tahun yang lalu ketika kita masih dua puluh lima tahun.
Selanjutnya bait cinta kita berlangsung indah, tanpa kelokan berarti. Engkau melamarku. Dan kita menikah.  
(dimuat di harian Fajar Makassar tanggal 29 April 2012)
 

1 komentar:

  1. Ini ditulis dan dimuat pada tahun 2012, luar biasa. Saya baru belajar "menulis" pada tahun 2014 dan baru bisa terbitkan antologi. Tapi apapun itu, saya tetap bersemangat belajar apalagi setelah mengenal Bu Mira. Tulisannya keren.

    BalasHapus