Oleh
: Mira Pasolong
Adalah sosokmu, yang
datang dan pergi bagai kilat. Sekedar datang menikmati seduhan kopiku, dan lalu
menghilang tanpa selarik kata. Sejak saat itu, sejak tak ada lagi ucapan salam
di malam ba’da isya, kanvas dan cat warna yang biasa mengukir senyum manis di
bibirkupun menghilang.
Tak ada yang perlu dipersalahkan.
Kau tak pernah tahu, geletar yang ada dalam dadaku pada setiap kemunculanmu di
ambang pintu rumahku. Kaupun tak pernah tahu, seberapa sering aku menikmati
manis senyummu dari balik gorden pintu tengah rumah. Bahkan kau tak pernah
tahu, cinta remajaku masih meremaja hinggan kini.
“Ada Bapak, Dek?” Selalu begitu
sapamu lembut. Dan aku, dengan malu-malu mempersilakanmu masuk, duduk, dan
berlalu ke dalam rumah memanggil Bapak.
Dari balik jendela, aku mendengarkan
percakapanmu dengan Bapak. Tentang bara semangat dalam dadamu untuk bersekolah,
tentang perkebunan Bapak yang akan dipercayakan untuk kau kelola, tentang
betapa kerasnya hidup, dan beragam hal lain. Selalu begitu. Kau ke rumah
memenuhi panggilan Bapak. Bukan mengunjungiku.
Sementara aku, remaja tujuh belas
yang sedang meranum, berusaha menahan degup setiap kali kau melempar senyum ke
arahku. Seakan tak melihat, padahal hatiku tersenyum sumringah membalasnya.
Lalu, suatu hari, Bapak nampak
gelisah. Di sore mendung itu, Bapak mondar mandir mengelilingi ruangan.
Wajahnya kusut, senyumnya tersembunyi entah di mana, sesekali berdehem, di lain
waktu batuk-batuk kecil sambil menggumam tak jelas. Anehnya, sejak hari itu
pula kau tak pernah lagi menampakkan wajah manismu di beranda rumahku.
***
“Nak, Bapak sudah tua. Sampai kapan kau akan
mempertahankan egomu?” Tanya yang entah sudah berapa kali Bapak lontarkan
padaku. Aku bergeming. Tanya itu kuanggap sepoi angin yang hanya mampir menyapa.
“Lihatlah teman-temanmu. Mereka
semua sudah bahagia dengan keluarga kecil mereka. Sementara kamu?” Kali ini
suara Ibu. Suara-suara yang lainpun berebutan ingin menyambangiku. Bermaksud
mengetuk pintu hatiku.
Aku lelah sebenarnya. Ah, lelah itu
tak selalu terkatakan. Tak ada diksi yang mampu menguraikan dengan tepat
kelelahan yang kurasa. Namun siapakah yang harus kupersalahkan jika hatiku
tetap beku pada setiap tatap mata yang bernada cinta? Aku bukan menutup diri.
Pun tak bermaksud mengekalkan kesendirianku. Aku hanya berusaha jujur pada
hatiku.
Usia empat puluh bukanlah bilangan
sedikit bagi perempuan yang masih berstatus gadis. Tak sedikit waktu yang aku
habiskan merapal mimpi dalam sepi tak
berujung. Hatikupun harus bertameng baja agar kuat menahan terpaan gosip miring
dari lingkungan. Tak banyak yang tahu, betapa di setiap sujud malamku, sajadah
lusuh bermandi air mata, hanya untuk memohon pada Tuhan agar sudi mencairkan
bongkahan dalam hatiku. Namun, hingga kini, bongkahan itu tetap kokoh.
Kepergianmu, yang entah ke mana,
telah membawa separuh hatiku. Dan separuh yang ada padaku, tak mampu kuimbangi,
pun dengan beragam bisik manis kaummu yang mencoba merayu. Aku tetap mengharapmu.
Harapan yang entah kapan akan mewujud nyata.
Sering dalam sepi yang menggigit,
kueja namamu, kuteriakkan walau tak mampu melewati tenggorokan. Semuanya lamur
dalam bayang tak bernama. Siapakah yang akan mengerti jika kukatakan aku
menantimu? Siapakah yang akan percaya jika kukatakan kau sering menyambangi
mimpiku, mengabarkan padaku bahwa kau baik-baik saja dan akan kembali di suatu
masa yang entah?
Namun mimpi yang terpupuk bertahun
lamanya itu tak kunjung merupa nyata. Entah di belahan bumi mana ragamu
bersembunyi, hingga tak satupun penghuni kampung ini yang tahu. Desas desus
yang sempat beredar mengatakan bahwa kau merantau ke sebuah negeri nun jauh di
seberang. Kau pergi membawa sekerat luka.
“Bapakmu tak ingin anak semata
wayangnya jatuh ke tangan yang salah.” Jawaban Nenek mengambang ketika kutanya
luka apa yang mengiring kepergianmu.
Perkebunan yang dijanjikan Bapak
akan kau urus setamat kuliah nanti, kini telah diserahkan kepada seorang pemuda
desa pengangguran. Sempat kusampaikan protesku pada Bapak, namun jawabannya
justru mencipta gerimis di hati. Betapa Bapak berubah sepeninggalmu. Bagi
Bapak, kasta menjadi tolok ukur penerimaannya terhadap seseorang, dibanding
dedikasi. Karena itukah kau dicampakkan?
“Dia memilih sendiri untuk pergi.
Saya tak pernah menyuruhnya.” Bela Bapak jika mulai lagi kulayangkan tanya
tentangmu.
Sampai umurku menginjak angka
tigapuluh, semuanya masih merupa teka teki. Kepergianmu yang mendadak,
keberadaanmu yang entah, dan kegamangan Bapak di suatu sore kala itu. Teka teki
itu kemudian terjawab ketika suatu hari, aku tanpa sengaja mendengar
pertengkaran Bapak dan Ibu.
“Turunkan ego Bapak sedikit. Lihat
anak kita. Dia akan perawan tua, Pak.” Suara Ibu serak tertahan.
“Apa yang harus saya lakukan, Bu?
Tak kurang dari lima pemuda yang datang meminangnya, tapi anakmu sendiri yang
menolak.” Bapak membela diri, seperti biasa.
“Andai Bapak tak memangkas cintanya
waktu itu, pasti sekarang kita sudah menimang cucu.” Isakan Ibu mulai
terdengar. Dan tersusun rapilah teka teki itu. Malam sebelum kau pergi, kau
memintaku pada Bapak. Tapi Bapak tentu saja menolak, dengan alasan klasik, kau
adalah pesuruh di keluarga kami.
Kegundahan Bapak di suatu sore itu
adalah karena kau memutuskan tidak menerima biaya kuliah yang ditawarkan Bapak,
dan memutuskan untuk pergi. Aku tahu, sedikit banyaknya, hati Bapakpun teriris
dan kehilangan. Tetapi egonya jauh melampaui rasa kehilangan itu sendiri.
***
Sunyi masih menjadi teman yang paling setia. Mengurung
diri di kamar, dan hanya mengintip bulan dari balik jendela adalah rutinitasku
saban malam. Kadang kutatap gemintang tanpa kedip, berharap di sana kutemukan
senyummu. Angin yang sesekali menyapa lembut belulangku, pun tak membawa kabar
apapun darimu. Hanya desisnya yang mampir di gendang telinga, tanpa membisikkan
serangkai kata.
Kau
tetaplah ujung penantianku. Seberapa lamapun itu. Bahkan mungkin walau tanpa
tepi. Rasa yang tanpa kusadari menggurita dalam hati, sejak masa remaja, tak
mampu kuredam. Kepergianmu tak menghilangkan rasa itu. Rasa itu hanya berubah
bentuk, menjadi beku. Entahlah, walau beribu kali
keping hatiku serasa tercincang jadi
debu karena kabarmu yang tiada kunjung datang, tetap juga rasa ini memihakmu.
Bahkan menunggumu di antara amuk badai rinduku tak jua menyurutkan mimpi itu.
Pun aku tak tahu kapan haluanmu akan berbalik ke arahku.
Bukanlah sesuatu yang asing, ketika di malam purnama, aku
berjam-jam duduk di teras. Memandang rembulan dan gemintang nyaris tanpa
kedipan. Hatiku selalu yakin kau, dari tempatmu berada, juga sedang melakukan
hal yang sama. Dan rindu kita terkirim pada setiap kerlip bintang itu.
Kenapa
aku suka purnama? Aku ingat, suatu malam, saat ba’da isya kau bertandang ke
rumah. Di langit, Purnama sedang berpendar sangat indah. Kau mengajakku ke
teras rumah, menikmati peristiwa sekali sebulan itu.
“Saya suka semua benda yang ada di langit. Terutama bulan
purnama.” Katamu. Aku hanya mengiya tak tahu harus berkata apa. Tapi sejak itu,
diam-diam, setiap malam kusempatkan mengintip langit. Dan selalu terselip
harap, bulan dan bintang di atas sana sedang berkerlip genit ke arahku. Dan
bertahun kemudin, akupun menjadi penyuka purnama.
Malam
ini, aku berharap pesan rinduku sampai. Aku berharap kau melihat bintang di
langit kita. Kerlipnya indah. Awalnya, kupikir ia datang untuk menyatukan rindu
kita. Tapi ternyata aku salah. Tak ada rindumu di sana. Hanya sepi yang membisu
dalam senyap rasaku. Ah, berapa lama lagikah kau hendak mengajarkanku cara
bersabar? Maka kubiarkan rindu menyeruak pada setiap pembuluh darahku, pada
setiap denyut nadiku, pada setiap detak jantungku, hingga akan terasa indah di
pertemuan kita nanti. Aku selalu yakin itu. Pun keyakinanku selalu dipatahkan
oleh keegoisan Bapak.
Hingga
di suatu siang yang terik, di tengah sepoi angin pegunungan, seorang anak kecil
berlari-lari mendatangiku, mengabarkan ada seseorang yang ingin menemuiku di
ujung kampung. Aku berdebar. Perasaan aneh menjalari hatiku. Tergesa aku
mengikuti langkah kecil itu.
“Masih mengenalku?” sebuah suara
mengejutkanku dari belakang, ketika aku masih sibuk mencari-cari di mana
gerangan seseorang yang ingin bertemu denganku. Reflex kubalikkan badan. Sosokmu,
yang tak sedetikpun beranjak dari ruang
hatiku kini berdiri di depanku. Nampak gagah di usia yang sudah mendekati angka
lima puluh. Rambut yang beranjak memutih, sedikit guratan di pipi, menambah wibawa
yang terpancar dari dirimu.
“Kaaaak?” Tak peduli apa anggapan
orang-orang kampung, tak peduli berapa mata yang menyaksikan, aku berlari ke
dalam pelukanmu. Rindu bertahun yang hampir akan segera menemukan muaranya,
menghantarku ke dalam pelukanmu. Kau datang, tepat saat hatiku hampir merupa
fosil. Datang menawarkan cinta. Menjelaskan semua ikhwal kepergianmu. Dan
hatiku lumer seketika.
Sayang sekali, pertemuan kita hanya
sejenak. Kau harus pergi lagi. Dengan janji akan sering datang menemuiku. Berat
rasanya melepas genggaman tanganmu. Tapi aku tak berdaya. Kau tetap harus
pergi. Entah ke mana. Tak ingin kau memberitahu, di mana kakimu selama ini
berpijak, pun di mana tubuhmu berteduh. Aku pasrah, tak memaksa. Aku sudah
cukup bahagia kau datang padaku, dengan dentang rindu yang aku yakin masih sama
seperti saat kau pergi dulu.
Dan
sejak saat itu, rangkaian kata-kata kita beterbangan mengangkasa,
berkejaran di langit, ingin saling mendahului sampai. Sedetik, entah berapa
kata terpancang di ketinggian langit, mengharap dibaca ketika sampai kepada yang
dituju. Untaian harap, rangkaian doa, berlomba menyentuh kaki langit. Ah,
harapan yang sekejap membuncah, semoga tak pecah dan lalu merupa kepingan.
Berbulan kita menjalani hubungan bak seorang remaja sedang kasmaran. Desas desus tentang hubungan
kita akhirnya hinggap ke telinga Bapak. Entah siapa yang menyampaikannya.
“Kau sudah yakin dengan pilihanmu?” Suara Bapak bergetar,
seperti sedang menahan sesuatu. Aku tahu, ego Bapak tetap tak bisa menerima
kehadiranmu, tetapi jauh di lubuk hatinya, ia tak kuasa untuk menolak sesuatu
yang telah lama diimpikan anaknya.
“Waktu telah menjawabnya, Pak. Insya Allah.” Jawabku.
Mantap. Bapak terdiam. Ibu tertunduk di
sampingnya. Entah apa yang berkecamuk dalam dada perempuan penyabar itu.
***
Kita kemudian menikah, walau restu
Bapak hanyalah setengah hati. Aku bahagia. Mimpi itu kini menjadi nyata. Aku
bertekad membangun istana cinta kita sekuat candi-candi yang ada di Indonesia.
Karena aku yakin kisah cinta kita tak kalah syahdunya dengan kisah cinta yang
mengawali keberadaan beberapa candi itu. Candi yang menjadi persembahan cinta.
Aku bahagia. Rindu yang selama ini
beku akhirnya mencair. Honeymoon
kita, bagiku, adalah yang terindah di dunia ini. Walau hanya ditemani nyanyian
jangkrik diselingi paduan suara katak bila malam menjelang. Sepoi angin gunung,
gemuruh ombak yang samar terdengar dari jarak yang kurang satu kilometer, lampu
penerangan kampung yang seadanya, bagiku sama romantisnya dengan sebuah kamar
hotel yang disulap menjadi ruangan pengantin dengan candle light dinner romantis diiringi lagu-lagu bethoven yang tak lekang oleh zaman.
Pagiku bermandi ceria saat kudapati
diriku berada dalam pelukmu. Aku bahagia. Sungguh. Rasa lelah karena penantian
panjang terhapus semburat merah jambu yang kau bawakan untukku. Teras rumah
yang selama ini kubiarkan gelap di malam hari, kini kembali temaram. Kita
menikmati purnama berdua, di teras. Seperti yang pernah kita lakukan bertahun
silam. Duh, sungguh, taman hatiku ditumbuhi ribuan bahkan mungkin jutaan bunga
aneka warna. Lebih indah dari pelangi. Rasa yang membuncah ini menjadikanku
abai untuk menyelami perasaanmu yang sesungguhnya.
Mungkin
hatiku dibutakan oleh luapan cinta yang telah kutunggu demikian lama, hingga
melampaui masa remajaku, sehingga tak ada secuil curigapun yang kusematkan
padamu. Aku tak pernah menanyakan bagaimana kehidupanmu setelah menghilang lebih
dua puluh tahun. Tak sekejappun terlintas dalam alam pikirku untuk mengetahui
yang terjadi padamu dalam rentang waktu yang memisahkan kita.
Sebulan
setelah pernikahan, kau pamit hendak ke kotamu. Kota yang entah. Kau belum
sempat, atau mungkin juga belum ingin memberitahuku, di kota mana sebenarnya
selama ini kau melabuhkan hidupmu. Berat melepasmu. Kau separuh hatiku yang
belum lama kurekatkan kembali dalam dada. Ada kecemasan, atau bahkan ketakutan
akan kehilanganmu lagi.
“Saya ikut ya, Kak.” Pintaku.
Gelengan tegas kepalamu membuatku undur untuk kembali memohon. Aku tahu
tabiatmu yang keras. Biarlah, mungkin memang belum saatnya aku mengetahui
seluruh sisi kehidupanmu. Mungkin kau merasa belum waktunya aku meleburkan diri
dalam hidupmu seutuhnya. Ada sesak yang mengganjal di rongga dada. Aku isterimu
kini. Pantaslah jika aku ingin mengetahui ikhwal dirimu seluruhnya. Wajar saja
ketika aku ingin mengetahui darimana kau peroleh rezeki untuk menafkahiku. Tapi
mulutku selalu terkunci setiap kali beribu tanya hendak terlontar keluar. dan
pada akhirnya, aku pasrah. Aku telah membangun kepercayaan padamu sekian lama.
Aku tak ingin meruntuhkan kepercayaan itu.
Hingga pada suatu sore bermandi
gerimis, seorang perempuan bersama empat orang anaknya, mendatangiku. Memintaku
untuk mengembalikanmu padanya. Aku akhirnya harus menyadari, Istana yang kita
bangun tidaklah sekokoh anggapanku. Kita telah membangun istana yang rapuh,
tanpa pondasi yang kuat; kejujuran. Kau
tak jujur dengan statusmu yang tak lagi sendiri. Istana kita, bagaikan istana
pasir.
“Saya melakukan ini karena saya
mencintaimu. Saya, seperti juga kamu, memupuk rindu bertahun-tahun. Cinta kita
terbangun tanpa kata. Kisah kita adalah untold
story. Namun kita berdua mampu merasakannya, menjaganya dalam waktu yang
sangat panjang.” Kau mencoba membujuk di antara derai air mataku.
“Kau tak mampu menjaganya, Kak. Kau
sudah menjadi miliknya.” Sergahku. Cemburu membara di hatiku, walau kutahu ini
tak pantas.
“Saya laki-laki, Dek. Tidak setegar
kamu dalam menjaga diri. Namun percayalah, hatiku tak sedikitpun berpaling.”
“Maaf,
Kak. Aku tak hendak membangun istana pasir, indah, namun sekali ombak datang,
semuanya akan hancur, tanpa kepingan. Aku ingin membangun candi dalam rumah
cintaku, hingga tak lamur oleh usia. Dan itu tak kutemukan bersamamu.” Kataku
mantap.
“Aku tak akan mengulang kesalahanku
yang dulu. Aku tak ingin hatimu berpindah pemilik.” Kau masih ngotot. Aku
bergeming. Berusaha untuk tidak mencerna kalimatmu.
***
Tegar itu bukanlah tanpa air mata, tapi ketika air mata mampu
diramu menjadi mata air, sumber kekuatan. Jadi jangan takut menangis ketika
kantong matamu telah penuh. Tumpahkanlah, maka akan kau temukan kekuatan baru
setelahnya. Ah, hidup ternyata masih terus mempermainkanku. Sejak perdebatan
itu, kau tak pernah lagi datang. SMS, whatsApp maupun inbox Facebook memang lancar. Tapi
cukupkah itu, untukku yang juga berstatus isteri?
Isteri? Ada gerimis di hati saat menyebut kata itu.
Perempuan macam apakah aku ini, yang tega membangun istana, di atas lahan milik
perempuan lain? Di manakah kusimpan hatiku, jika masih terus bermimpi
mempertahankanmu, sementara kutahu ada hati lain yang juga merindukan hadirmu?
Ah, aku sudah terbiasa dengan sepi. Sepi sudah mengaliri
setiap nadiku. Walau baru saja kurasakan bahagia sejenak, namun mimpi indah ini
memang sudah usai. Akhir cerita kita mungkin tak manis, namun hati kecilku
telah menuntunku untuk yakin; inilah yang terbaik. Perpisahan.
Tak kupedulikan air mata yang terus mengalir. Tak
kupedulikan kalimat larangan Bapak dan Ibu, kala kukirimkan pakaian dan semua
barang-barangmu yang ada padaku, ke alamat yang diberikan isterimu padaku, saat
ia datang membawa keratan hatinya yang telah kau buat berdarah-darah.
“Kalau Adik tak percaya, datanglah ke alamat ini. Ini
rumah kami, sejak lima belas tahun lalu.” Katanya di sela isak sambil
menyodorkan sebuah kartu nama. Tertulis indah namamu di sana.
Aku
harus terbangun dari mimpi. Kau tak sendiri lagi. Ada seorang bidadari cantik
dan empat malaikat kecil di sampingmu kini. Dan aku, lebih ichlas
mengkristalkan hatiku, daripada harus meremukkan hati perempuan lain.
***
(Tergabung dalam Antology Cerpen Bersama "Cinta dalam Bayangan Tuhan", Terbit Desember 2014)
rentetan kalimat-kalimatnya sangat indah....
BalasHapusI love it