Selasa, 06 Januari 2015

ISTANA PASIR




Oleh : Mira Pasolong
                Adalah sosokmu, yang datang dan pergi bagai kilat. Sekedar datang menikmati seduhan kopiku, dan lalu menghilang tanpa selarik kata. Sejak saat itu, sejak tak ada lagi ucapan salam di malam ba’da isya, kanvas dan cat warna yang biasa mengukir senyum manis di bibirkupun menghilang.  
            Tak ada yang perlu dipersalahkan. Kau tak pernah tahu, geletar yang ada dalam dadaku pada setiap kemunculanmu di ambang pintu rumahku. Kaupun tak pernah tahu, seberapa sering aku menikmati manis senyummu dari balik gorden pintu tengah rumah. Bahkan kau tak pernah tahu, cinta remajaku masih meremaja hinggan kini.
            “Ada Bapak, Dek?” Selalu begitu sapamu lembut. Dan aku, dengan malu-malu mempersilakanmu masuk, duduk, dan berlalu ke dalam rumah memanggil Bapak.
            Dari balik jendela, aku mendengarkan percakapanmu dengan Bapak. Tentang bara semangat dalam dadamu untuk bersekolah, tentang perkebunan Bapak yang akan dipercayakan untuk kau kelola, tentang betapa kerasnya hidup, dan beragam hal lain. Selalu begitu. Kau ke rumah memenuhi panggilan Bapak. Bukan mengunjungiku.
            Sementara aku, remaja tujuh belas yang sedang meranum, berusaha menahan degup setiap kali kau melempar senyum ke arahku. Seakan tak melihat, padahal hatiku tersenyum sumringah membalasnya.
            Lalu, suatu hari, Bapak nampak gelisah. Di sore mendung itu, Bapak mondar mandir mengelilingi ruangan. Wajahnya kusut, senyumnya tersembunyi entah di mana, sesekali berdehem, di lain waktu batuk-batuk kecil sambil menggumam tak jelas. Anehnya, sejak hari itu pula kau tak pernah lagi menampakkan wajah manismu di beranda rumahku.
***
            “Nak, Bapak sudah tua. Sampai kapan kau akan mempertahankan egomu?” Tanya yang entah sudah berapa kali Bapak lontarkan padaku. Aku bergeming. Tanya itu kuanggap sepoi angin yang hanya mampir menyapa.
            “Lihatlah teman-temanmu. Mereka semua sudah bahagia dengan keluarga kecil mereka. Sementara kamu?” Kali ini suara Ibu. Suara-suara yang lainpun berebutan ingin menyambangiku. Bermaksud mengetuk pintu hatiku.
            Aku lelah sebenarnya. Ah, lelah itu tak selalu terkatakan. Tak ada diksi yang mampu menguraikan dengan tepat kelelahan yang kurasa. Namun siapakah yang harus kupersalahkan jika hatiku tetap beku pada setiap tatap mata yang bernada cinta? Aku bukan menutup diri. Pun tak bermaksud mengekalkan kesendirianku. Aku hanya berusaha jujur pada hatiku.
            Usia empat puluh bukanlah bilangan sedikit bagi perempuan yang masih berstatus gadis. Tak sedikit waktu yang aku habiskan merapal mimpi dalam  sepi tak berujung. Hatikupun harus bertameng baja agar kuat menahan terpaan gosip miring dari lingkungan. Tak banyak yang tahu, betapa di setiap sujud malamku, sajadah lusuh bermandi air mata, hanya untuk memohon pada Tuhan agar sudi mencairkan bongkahan dalam hatiku. Namun, hingga kini, bongkahan itu tetap kokoh.
            Kepergianmu, yang entah ke mana, telah membawa separuh hatiku. Dan separuh yang ada padaku, tak mampu kuimbangi, pun dengan beragam bisik manis kaummu yang mencoba merayu. Aku tetap mengharapmu. Harapan yang entah kapan akan mewujud nyata.
            Sering dalam sepi yang menggigit, kueja namamu, kuteriakkan walau tak mampu melewati tenggorokan. Semuanya lamur dalam bayang tak bernama. Siapakah yang akan mengerti jika kukatakan aku menantimu? Siapakah yang akan percaya jika kukatakan kau sering menyambangi mimpiku, mengabarkan padaku bahwa kau baik-baik saja dan akan kembali di suatu masa yang entah?
            Namun mimpi yang terpupuk bertahun lamanya itu tak kunjung merupa nyata. Entah di belahan bumi mana ragamu bersembunyi, hingga tak satupun penghuni kampung ini yang tahu. Desas desus yang sempat beredar mengatakan bahwa kau merantau ke sebuah negeri nun jauh di seberang. Kau pergi membawa sekerat luka.
            “Bapakmu tak ingin anak semata wayangnya jatuh ke tangan yang salah.” Jawaban Nenek mengambang ketika kutanya luka apa yang mengiring kepergianmu.
            Perkebunan yang dijanjikan Bapak akan kau urus setamat kuliah nanti, kini telah diserahkan kepada seorang pemuda desa pengangguran. Sempat kusampaikan protesku pada Bapak, namun jawabannya justru mencipta gerimis di hati. Betapa Bapak berubah sepeninggalmu. Bagi Bapak, kasta menjadi tolok ukur penerimaannya terhadap seseorang, dibanding dedikasi. Karena itukah kau dicampakkan?
            “Dia memilih sendiri untuk pergi. Saya tak pernah menyuruhnya.” Bela Bapak jika mulai lagi kulayangkan tanya tentangmu.
            Sampai umurku menginjak angka tigapuluh, semuanya masih merupa teka teki. Kepergianmu yang mendadak, keberadaanmu yang entah, dan kegamangan Bapak di suatu sore kala itu. Teka teki itu kemudian terjawab ketika suatu hari, aku tanpa sengaja mendengar pertengkaran Bapak dan Ibu.
            “Turunkan ego Bapak sedikit. Lihat anak kita. Dia akan perawan tua, Pak.” Suara Ibu serak tertahan.
            “Apa yang harus saya lakukan, Bu? Tak kurang dari lima pemuda yang datang meminangnya, tapi anakmu sendiri yang menolak.” Bapak membela diri, seperti biasa.
            “Andai Bapak tak memangkas cintanya waktu itu, pasti sekarang kita sudah menimang cucu.” Isakan Ibu mulai terdengar. Dan tersusun rapilah teka teki itu. Malam sebelum kau pergi, kau memintaku pada Bapak. Tapi Bapak tentu saja menolak, dengan alasan klasik, kau adalah pesuruh di keluarga kami.
            Kegundahan Bapak di suatu sore itu adalah karena kau memutuskan tidak menerima biaya kuliah yang ditawarkan Bapak, dan memutuskan untuk pergi. Aku tahu, sedikit banyaknya, hati Bapakpun teriris dan kehilangan. Tetapi egonya jauh melampaui rasa kehilangan itu sendiri.
***
            Sunyi masih menjadi teman yang paling setia. Mengurung diri di kamar, dan hanya mengintip bulan dari balik jendela adalah rutinitasku saban malam. Kadang kutatap gemintang tanpa kedip, berharap di sana kutemukan senyummu. Angin yang sesekali menyapa lembut belulangku, pun tak membawa kabar apapun darimu. Hanya desisnya yang mampir di gendang telinga, tanpa membisikkan serangkai kata.
            Kau tetaplah ujung penantianku. Seberapa lamapun itu. Bahkan mungkin walau tanpa tepi. Rasa yang tanpa kusadari menggurita dalam hati, sejak masa remaja, tak mampu kuredam. Kepergianmu tak menghilangkan rasa itu. Rasa itu hanya berubah bentuk, menjadi beku. Entahlah, walau beribu kali keping hatiku  serasa tercincang jadi debu karena kabarmu yang tiada kunjung datang, tetap juga rasa ini memihakmu. Bahkan menunggumu di antara amuk badai rinduku tak jua menyurutkan mimpi itu. Pun aku tak tahu kapan haluanmu akan berbalik ke arahku.
            Bukanlah sesuatu yang asing, ketika di malam purnama, aku berjam-jam duduk di teras. Memandang rembulan dan gemintang nyaris tanpa kedipan. Hatiku selalu yakin kau, dari tempatmu berada, juga sedang melakukan hal yang sama. Dan rindu kita terkirim pada setiap kerlip bintang itu.   
Kenapa aku suka purnama? Aku ingat, suatu malam, saat ba’da isya kau bertandang ke rumah. Di langit, Purnama sedang berpendar sangat indah. Kau mengajakku ke teras rumah, menikmati peristiwa sekali sebulan itu.
            “Saya suka semua benda yang ada di langit. Terutama bulan purnama.” Katamu. Aku hanya mengiya tak tahu harus berkata apa. Tapi sejak itu, diam-diam, setiap malam kusempatkan mengintip langit. Dan selalu terselip harap, bulan dan bintang di atas sana sedang berkerlip genit ke arahku. Dan bertahun kemudin, akupun menjadi penyuka purnama.
Malam ini, aku berharap pesan rinduku sampai. Aku berharap kau melihat bintang di langit kita. Kerlipnya indah. Awalnya, kupikir ia datang untuk menyatukan rindu kita. Tapi ternyata aku salah. Tak ada rindumu di sana. Hanya sepi yang membisu dalam senyap rasaku. Ah, berapa lama lagikah kau hendak mengajarkanku cara bersabar? Maka kubiarkan rindu menyeruak pada setiap pembuluh darahku, pada setiap denyut nadiku, pada setiap detak jantungku, hingga akan terasa indah di pertemuan kita nanti. Aku selalu yakin itu. Pun keyakinanku selalu dipatahkan oleh keegoisan Bapak.
Hingga di suatu siang yang terik, di tengah sepoi angin pegunungan, seorang anak kecil berlari-lari mendatangiku, mengabarkan ada seseorang yang ingin menemuiku di ujung kampung. Aku berdebar. Perasaan aneh menjalari hatiku. Tergesa aku mengikuti langkah kecil itu.
            “Masih mengenalku?” sebuah suara mengejutkanku dari belakang, ketika aku masih sibuk mencari-cari di mana gerangan seseorang yang ingin bertemu denganku. Reflex kubalikkan badan. Sosokmu,  yang tak sedetikpun beranjak dari ruang hatiku kini berdiri di depanku. Nampak gagah di usia yang sudah mendekati angka lima puluh. Rambut yang beranjak memutih, sedikit guratan di pipi, menambah wibawa yang terpancar dari dirimu.
            “Kaaaak?” Tak peduli apa anggapan orang-orang kampung, tak peduli berapa mata yang menyaksikan, aku berlari ke dalam pelukanmu. Rindu bertahun yang hampir akan segera menemukan muaranya, menghantarku ke dalam pelukanmu. Kau datang, tepat saat hatiku hampir merupa fosil. Datang menawarkan cinta. Menjelaskan semua ikhwal kepergianmu. Dan hatiku lumer seketika.
            Sayang sekali, pertemuan kita hanya sejenak. Kau harus pergi lagi. Dengan janji akan sering datang menemuiku. Berat rasanya melepas genggaman tanganmu. Tapi aku tak berdaya. Kau tetap harus pergi. Entah ke mana. Tak ingin kau memberitahu, di mana kakimu selama ini berpijak, pun di mana tubuhmu berteduh. Aku pasrah, tak memaksa. Aku sudah cukup bahagia kau datang padaku, dengan dentang rindu yang aku yakin masih sama seperti saat kau pergi dulu.
            Dan sejak saat itu, rangkaian kata-kata kita beterbangan mengangkasa, berkejaran di langit, ingin saling mendahului sampai. Sedetik, entah berapa kata terpancang di ketinggian langit, mengharap dibaca ketika sampai kepada yang dituju. Untaian harap, rangkaian doa, berlomba menyentuh kaki langit. Ah, harapan yang sekejap membuncah, semoga tak pecah dan lalu merupa kepingan.
            Berbulan kita menjalani hubungan bak seorang remaja  sedang kasmaran. Desas desus tentang hubungan kita akhirnya hinggap ke telinga Bapak. Entah siapa yang menyampaikannya.
            “Kau sudah yakin dengan pilihanmu?” Suara Bapak bergetar, seperti sedang menahan sesuatu. Aku tahu, ego Bapak tetap tak bisa menerima kehadiranmu, tetapi jauh di lubuk hatinya, ia tak kuasa untuk menolak sesuatu yang telah lama diimpikan anaknya.
            “Waktu telah menjawabnya, Pak. Insya Allah.” Jawabku. Mantap. Bapak terdiam.  Ibu tertunduk di sampingnya. Entah apa yang berkecamuk dalam dada perempuan penyabar itu.
***
            Kita kemudian menikah, walau restu Bapak hanyalah setengah hati. Aku bahagia. Mimpi itu kini menjadi nyata. Aku bertekad membangun istana cinta kita sekuat candi-candi yang ada di Indonesia. Karena aku yakin kisah cinta kita tak kalah syahdunya dengan kisah cinta yang mengawali keberadaan beberapa candi itu. Candi yang menjadi persembahan cinta.
            Aku bahagia. Rindu yang selama ini beku akhirnya mencair. Honeymoon kita, bagiku, adalah yang terindah di dunia ini. Walau hanya ditemani nyanyian jangkrik diselingi paduan suara katak bila malam menjelang. Sepoi angin gunung, gemuruh ombak yang samar terdengar dari jarak yang kurang satu kilometer, lampu penerangan kampung yang seadanya, bagiku sama romantisnya dengan sebuah kamar hotel yang disulap menjadi ruangan pengantin dengan candle light dinner romantis diiringi lagu-lagu bethoven yang tak lekang oleh zaman.
            Pagiku bermandi ceria saat kudapati diriku berada dalam pelukmu. Aku bahagia. Sungguh. Rasa lelah karena penantian panjang terhapus semburat merah jambu yang kau bawakan untukku. Teras rumah yang selama ini kubiarkan gelap di malam hari, kini kembali temaram. Kita menikmati purnama berdua, di teras. Seperti yang pernah kita lakukan bertahun silam. Duh, sungguh, taman hatiku ditumbuhi ribuan bahkan mungkin jutaan bunga aneka warna. Lebih indah dari pelangi. Rasa yang membuncah ini menjadikanku abai untuk menyelami perasaanmu yang sesungguhnya.
Mungkin hatiku dibutakan oleh luapan cinta yang telah kutunggu demikian lama, hingga melampaui masa remajaku, sehingga tak ada secuil curigapun yang kusematkan padamu. Aku tak pernah menanyakan bagaimana kehidupanmu setelah menghilang lebih dua puluh tahun. Tak sekejappun terlintas dalam alam pikirku untuk mengetahui yang terjadi padamu dalam rentang waktu yang memisahkan kita.
Sebulan setelah pernikahan, kau pamit hendak ke kotamu. Kota yang entah. Kau belum sempat, atau mungkin juga belum ingin memberitahuku, di kota mana sebenarnya selama ini kau melabuhkan hidupmu. Berat melepasmu. Kau separuh hatiku yang belum lama kurekatkan kembali dalam dada. Ada kecemasan, atau bahkan ketakutan akan kehilanganmu lagi.
            “Saya ikut ya, Kak.” Pintaku. Gelengan tegas kepalamu membuatku undur untuk kembali memohon. Aku tahu tabiatmu yang keras. Biarlah, mungkin memang belum saatnya aku mengetahui seluruh sisi kehidupanmu. Mungkin kau merasa belum waktunya aku meleburkan diri dalam hidupmu seutuhnya. Ada sesak yang mengganjal di rongga dada. Aku isterimu kini. Pantaslah jika aku ingin mengetahui ikhwal dirimu seluruhnya. Wajar saja ketika aku ingin mengetahui darimana kau peroleh rezeki untuk menafkahiku. Tapi mulutku selalu terkunci setiap kali beribu tanya hendak terlontar keluar. dan pada akhirnya, aku pasrah. Aku telah membangun kepercayaan padamu sekian lama. Aku tak ingin meruntuhkan kepercayaan itu.
            Hingga pada suatu sore bermandi gerimis, seorang perempuan bersama empat orang anaknya, mendatangiku. Memintaku untuk mengembalikanmu padanya. Aku akhirnya harus menyadari, Istana yang kita bangun tidaklah sekokoh anggapanku. Kita telah membangun istana yang rapuh, tanpa pondasi yang kuat;  kejujuran. Kau tak jujur dengan statusmu yang tak lagi sendiri. Istana kita, bagaikan istana pasir.
            “Saya melakukan ini karena saya mencintaimu. Saya, seperti juga kamu, memupuk rindu bertahun-tahun. Cinta kita terbangun tanpa kata. Kisah kita adalah untold story. Namun kita berdua mampu merasakannya, menjaganya dalam waktu yang sangat panjang.” Kau mencoba membujuk di antara derai air mataku.
            “Kau tak mampu menjaganya, Kak. Kau sudah menjadi miliknya.” Sergahku. Cemburu membara di hatiku, walau kutahu ini tak pantas.
            “Saya laki-laki, Dek. Tidak setegar kamu dalam menjaga diri. Namun percayalah, hatiku tak sedikitpun berpaling.”
“Maaf, Kak. Aku tak hendak membangun istana pasir, indah, namun sekali ombak datang, semuanya akan hancur, tanpa kepingan. Aku ingin membangun candi dalam rumah cintaku, hingga tak lamur oleh usia. Dan itu tak kutemukan bersamamu.” Kataku mantap.
            “Aku tak akan mengulang kesalahanku yang dulu. Aku tak ingin hatimu berpindah pemilik.” Kau masih ngotot. Aku bergeming. Berusaha untuk tidak mencerna kalimatmu.
***
            Tegar itu bukanlah tanpa air mata, tapi ketika air mata mampu diramu menjadi mata air, sumber kekuatan. Jadi jangan takut menangis ketika kantong matamu telah penuh. Tumpahkanlah, maka akan kau temukan kekuatan baru setelahnya. Ah, hidup ternyata masih terus mempermainkanku. Sejak perdebatan itu, kau tak pernah lagi datang. SMS, whatsApp  maupun inbox Facebook memang lancar. Tapi cukupkah itu, untukku yang juga berstatus isteri?
            Isteri? Ada gerimis di hati saat menyebut kata itu. Perempuan macam apakah aku ini, yang tega membangun istana, di atas lahan milik perempuan lain? Di manakah kusimpan hatiku, jika masih terus bermimpi mempertahankanmu, sementara kutahu ada hati lain yang juga merindukan hadirmu?
            Ah, aku sudah terbiasa dengan sepi. Sepi sudah mengaliri setiap nadiku. Walau baru saja kurasakan bahagia sejenak, namun mimpi indah ini memang sudah usai. Akhir cerita kita mungkin tak manis, namun hati kecilku telah menuntunku untuk yakin; inilah yang terbaik. Perpisahan.
            Tak kupedulikan air mata yang terus mengalir. Tak kupedulikan kalimat larangan Bapak dan Ibu, kala kukirimkan pakaian dan semua barang-barangmu yang ada padaku, ke alamat yang diberikan isterimu padaku, saat ia datang membawa keratan hatinya yang telah kau buat berdarah-darah.
            “Kalau Adik tak percaya, datanglah ke alamat ini. Ini rumah kami, sejak lima belas tahun lalu.” Katanya di sela isak sambil menyodorkan sebuah kartu nama. Tertulis indah namamu di sana.  
Aku harus terbangun dari mimpi. Kau tak sendiri lagi. Ada seorang bidadari cantik dan empat malaikat kecil di sampingmu kini. Dan aku, lebih ichlas mengkristalkan hatiku, daripada harus meremukkan hati perempuan lain.
***

(Tergabung dalam Antology Cerpen Bersama "Cinta dalam Bayangan Tuhan", Terbit Desember 2014)

1 komentar: