Kamis, 27 Oktober 2011

KETIKA MELATI TAK LAGI SEMERBAK


KETIKA MELATI TAK LAGI SEMERBAK
Oleh: Mira Pasolong
''Mas, masih ingatkah engkau  di bulan- bulan awal pernikahan kita? Penuh kemesraan, bertabur bahagia. Kita begitu menikmati kebersamaan kita. Kita saling jatuh cinta. Kita lalui hari- hari bak sepasang kekasih. Mungkin karena kita tidak sempat pacaran. Kita dipertemukan Allah lewat perjodohan karena adanya pertalian darah. Tapi kita sangat mensyukurinya. '' Gumam Rara lirih sambil menatap bunga melati yang daunnya mulai berguguran.
Setiap sore menjelang, Rara sudah duduk manis di taman depan rumahnya. Menatap kosong ke depan. Seakan-akan sedang menunggu seseorang. Sekali-kali membelai kuntum bunga melati yang tumbuh di taman sambil menciuminya dengan penuh perasaan.            Melati adalah lambang cinta Rara dan suaminya, Akbar. Bagi mereka melati itu putih, indah dan semerbak.
'' Melati itu putih seputih cinta kita, indah seindah hati kita dan semerbak seperti akhlak kita.'' Bisik Akbar sambil meremas mesra tangan isterinya. Sejak saat itu, Rara selalu memelihara bunga melati. Setiap sore sepulang kerja, sambil menikmati teh manis dan pisang goreng, mereka bercengkerama dengan mesra, menanti sang mentari kembali ke peraduannya dengan ditemani semerbak bunga melati.
Tapi itu dua tahun lalu. Kala segalanya masih terasa begitu indah. Kala kuncup cinta masih bermekaran di hati mereka. Kini semuanya sudah berubah. Akbar membiarkan Rara dalam ketakpastian.
Kini Rara tak tahu bagaimana perasaan Akbar sesungguhnya terhadapnya. Dia hanya datang sesuka hatinya. Kadang  selama seminggu Rara tak bisa menghubungi suaminya. Rara mencoba bersabar.
''Mas, HPnya kog tidak diaktifkan, sich?'' Protes Rara suatu hari kala Akbar ada di rumah.' 'Mas mematikan HP kalau lagi menyetir, sayang.'' Jawab Akbar. Suaranya tetap lembut seperti dulu. Namun ada kegetiran yang dirasakan Rara. Kegetiran yang teramat menyakitkan.
'' Silahkan diminum tehnya, Mas. Pasti Mas capek. Rara pijitin, ya.'' Rara berusaha melayani suaminya  dengan baik. Ada kekakuan yang tak tersembunyikan  dari balik suara dan sikap Rara. Rara merasa asing dengan suaminya sendiri.
 Terima kasih, Ra. Habis mandi pasti capeknya hilang''. Akbar menolak tawaran Rara dengan halus.
            Kekakuan itu tetap terasa sampai akhirnya Akbar pergi lagi. Rara kembali hanya ditemani serumpun melati yang kini tumbuh tak sesubur dulu lagi. Rara tidak bergairah untuk merawat bunga itu lagi. Semerbaknya sudah lenyap. Dan Rara semakin tak peduli  terhadap melatinya setelah Rara tahu suaminya hendak menikah lagi.
Dunia rasanya mau kiamat ketika perempuan yang hendak dinikahi Akbar menemuinya untuk meminta restunya. Ditatapnya sekilas perempuan bertubuh mungil di depannya. Kulitnya yang putih dibalut busana muslimah yang anggun.
''Cukup cantik tapi koq mau jadi isteri kedua, ya?'' Bathin Rara. Rara sebetulnya tidak ingin berburuk sangka. Tapi rasa cemburunya menyebabkan dia susah untuk bisa berpikir jernih.
Beberapa menit berlalu. Hening menyelimuti ruangan. Hanya suara cicak yang sesekali memecah keheningan.
''Maaf,jadi gimana, Mbak? Sudikah Mbak berbagi kebahagiaan dengan saya?'' Tanya perempuan itu setelah sekian lama mereka saling membisu. Sebelumnya perempuan itu menceritakan semua alasannya kenapa sampai tidak mau kehilangan Akbar. Pertanyaan itu menggema di gendang telinga Rara  bagaikan petir di siang bolong yang menyambar seluruh semangat hidup Rara.
Sejak saat itu hidup Rara tak terurus. Kebahagiaan dan senyuman yang selama ini menghiasi harinya kini mengendap entah kemana. Ironisnya sejak saat itu pula suaminya tidak pernah pulang. Rara tidak tahu apakah suaminya nekad menikahi perempuan itu tanpa memperdulikan perasaannya atau bagaimana. Tapi Rara pun tak punya cukup keberanian untuk menelusuri kabar suaminya.
Sore ini entah sore yang keberapa kalinya Rara menangis di teras depan sambil mengelus-elus melati yang tinggal tangkainya. Bunga melati yang dulu memenuhi taman depan dan samping rumahnya kini hampir  mati seperti kisah cinta sang empunya bunga.
''Mas, kenapa kamu tega? Kenapa kamu meninggalkan Rara? Di mana kamu sekarang, Mas? Rara rinduuu sekali.'' Rara terisak dan tiba-tiba saja terjatuh ke tanah. Mbok Na, pembantu yang selama ini dengan setia menemaninya berusaha memapahnya ke kamar.
Setelah berkali-kali dihubungi Mbok Na, akhirnya Akbar kembali ke rumah setelah hampir 3 bulan tidak pernah pulang. Akbar terkejut melihat keadaan isterinya yang tinggal kulit pembalut tulang. Wajah cantiknya hampir tak nampak lagi. Yang Akbar lihat hanyalah kesedihan dan luka yang nampak begitu jelas tergambar di wajahnya yang pias. Akbar segera melarikan isterinya ke  rumah sakit.
''Maafkan Mas, Sayang?'' Akbar membelai lembut rambut isterinya yang kini terbaring tak berdaya di ruang ICU. Sudah sepekan lebih Rara koma. Dokter belum juga berhasil mendiagnosa penyakitnya. Akbar tak henti-hentinya menyesali diri. Akbar sadar dirinya yang menyebabkan isterinya seperti ini. Tak sedetikpun Akbar beranjak dari sisi isterinya. Dia ingin menebus kesalahannya. ''Ya Allah, ampunilah dosa-dosa hamba selama ini. Sembuhkanlah isteri hamba. Engkau Maha Tahu dan Engkau tahu betapa hamba sangat mencintainya. Sembuhkanlah dia Ya Allah.'' setiap malam Akbar berdoa dalam sujud panjangnya. Ditumpahkannya seluruh perasaan hatinya kepada Sang Pemilik Segalanya.
Setelah sholat subuh seperti biasa Akbar duduk di samping tempat tidur isterinya. Digenggamnya tangan isterinya erat-erat. ''Maafkan Mas, Sayang. Sadarlah. Sembuhlah. Kita mulai semuanya dari awal. Kita masih memiliki cinta,Sayang. Itu modal yang sangat besar untuk kembali membangun mahligai kita. Sayang, melati kita tidak ada lagi yang merawatnya. Bangunlah, melati itu butuh sentuhan lembutmu, seperti saya yang sangat butuh kamu.'' Akbar berbicara sambil menangis.
Ditatapnya wajah isterinya yang begitu tenang seperti tertidur pulas. Tiba-tiba Akbar melihat Rara mengucurkan air mata. Akbar berteriak gembira memanggil dokter.Dokter memeriksa Rara dengan seksama.
''Insya Allah ini perkembangan yang sangat baik. Semua organ tubuh isteri anda berfungsi normal. Jadi berdoa saja semoga dia cepat sadar''.  Tapi ternyata itu adalah cucuran air mata terakhir Rara. Rara meninggal sesaat setelah dokter meninggalkan ruangan.
***
            Seorang pria paruh baya berjalan tanpa alas kaki di tengah terik matahari. Bajunya compang camping. Di kedua tangannya dia menggenggam banyak bunga melati. Sambil berjalan dia menciumi melati yang telah layu itu. ''Rara Cintaku, lihatlah, Mas pulang. Mas membawakan kamu melati. Melati cinta kita. Di tanganmu pasti melati ini akan tumbuh subur.'' Pria itu tiba-tiba berteriak sambil berlari ke tengah jalan. Tak dihiraukannya suara klakson yang bersahutan . Tak dihiraukannya teriakan panik orang-orang yang melihatnya. Sampai akhirnya sebuah truk yang melaju dengan kecepatan tinggi menyambar tubuhnya. Melati dalam genggamannya terhempas bersamaan dengan tidak terdengarnya jerit kesakitan dari mulutnya.(Mamuju, 1 Maret 2008)

1 komentar: