Edisi : No.6 Tahun XXI | Rubrik: Dunia Wanita |
Mira Pasolong, Pendidik, tinggal di Mamuju, Sulawesi Barat
"Awas, nanti jatuh, Nak." Kalimat ini hampir selalu menghiasi lisan keseharian para ibu. Tapi buat saya, saya menyadari bahwa usia anak waktunya untuk bereksplorasi, baik dengan dirinya sendiri, lingkungan maupun alam sekitarnya. Maka teriakan, larangan dan kekhawatiran berlebihan hendaknya tidak menjadi konsumsi anak di usianya yang tergolong golden age.
Lalu apa yang harus kita perbuat? Padahal, keluarga amat berperan dalam membentuk tatanan kehidupan bermasyarakat. Ibu adalah manajer dalam keluarga. Tugasnya mengatur dan menata anggotanya. Ibu-lah yang banyak berperan menemani, mengajari dan mengarahkan anaknya tentang dasar-dasar kehidupan Islami. Tak salah jika di tangan ibu tercipta generasi berkualitas. Betapa pun berat tugasnya, namun derajatnya amat mulia di mata Allah swt.
Al-Quran sebagai pedoman umat Muslim telah menuntun kita untuk menjadi orangtua, terutama ibu yang baik, penuh kasih dan mampu menuntun anaknya ke jalan Allah. Nasihat Luqman as kepada anaknya seperti tercantum pada Al-Quran surat Luqman ayat 12-19 menjadi petunjuk paling akurat tentang cara mendidik anak.
Ayat tersebut berbunyi, “Sungguh merupakan tuntunan tentang bagaimana mengarahkan anak, bagaimana mengajarkan anak tentang keesaan Allah, kewajiban untuk menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, kewajiban mendirikan shalat sampai kepada masalah akhlak berpakaian, berjalan, berbicara dan bertingkah laku.”
Kenyataannya, sangat sulit untuk mengaplikasikan hal tersebut. Padahal, disadari atau tidak, kekhawatiran berlebihan akan menghambat pertumbuhan anak secara fisik maupun mental. Anak tak memiliki cukup ruang untuk mengembangkan kreativitasnya. Psikis pun terhambat karena anak merasa kemampuannya untuk melakukan sesuatu tidak diakui. Akibatnya, saat menginjak usia remaja atau dewasa, mereka kurang percaya diri dan tidak maksimal mengaktualisasikan diri dalam lingkungan.
Biasanya, anak akan semakin aktif jika mendapat larangan. Tindakan ini untuk membuktikan dirinya mampu. Tak jarang sikap anak tersebut membuat orangtua marah dan menilainya sebagai anak nakal karena tak bisa diatur. Tutur kata demikian menimbulkan sugesti dirinya memang nakal. Penilaian tersebut akan terbawa hingga mereka dewasa.
Selain itu, anak cenderung mencontoh apa yang dilihat dan dialaminya daripada mengerjakan apa yang didengarnya. Maka, keteladanan orangtua menjadi kunci utama mendidik anak. Mereka tidak bisa melunakkan suaranya jika setiap hari mendengar teriakan orangtua dan orang di sekelilingnya. Kita tak bisa memintanya untuk tidak marah sementara kita mengajarkannya dalam keadaan emosi. Sangatlah mustahil untuk menjelaskan kewajiban shalat padahal kita tidak melakukannya.
Untuk dapat mencetak generasi Rabbani yang mumpuni, mampu bertahan dari godaan duniawi, dan cinta kepada sesuatu yang berbau ukhrawi, orangtua harus mengenalkan anak pada lingkungan yang Islami. Selain itu, orangtua hendaknya mengerjakan amal kebajikan dan menjauhi perbuatan tercela. Perlakukan anak dengan penuh kasih sayang, memberikan pujian apabila anak melakukan hal baik, dan menasihati dengan lemah lembut apabila anak melakukan kesalahan. Semoga generasi Islam yang akan datang menjadi generasi yang teguh pendirian, tangguh dan tawadhu. Amin Ya Rabbul Alamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar