Kamis, 03 November 2011

MENJELANG UJIAN NASIONAL

OLEH : MIRAWATI, S.Pd
(Praktisi Pendidikan dan Mahasiswa Pasca Sarjana UNM)
            Tinggal berbilang hari Ujian Nasional akan segera kita jelang. Berbagai persiapan telah dilakukan oleh semua elemen yang terlibat di dalamnya. Sekolah- sekolah penyelenggara berbenah diri untuk menyambut pelaksanaannya yang tentu saja sangat diharapkan akan lebih baik dari tahun- tahun sebelumnya.
            Bertahun- tahun sudah Ujian Nasional dilaksanakan. Tetapi selama itu pula objektifitas dan keabsahannya selalu diragukan. Penyelenggaraannya pun tidak banyak mengalami perbaikan walaupun secara teknis sudah mengalami berbagai perombakan. Permasalahan inilah yang sering menggelitik para pemerhati pendidikan, sehingga pro kontra akan pelaksanaan Ujian Nasional tidak pernah reda. Bagi yang pro menganggap bahwa Ujian nasional harus tetap dilaksanakan karena itulah yang menjadi tolok ukur standar pendidikn nasional. Sementara bagi yang kontra menganggap bahwa Ujian nasional hanyalah suatu kemubadziran karena tidak akan bisa meningkatkan mutu pendidikan nasional, sementara anggaran untuk penyelenggaraannya sangatlah besar. Apa gunanya kita mengukur pencapaian pendidikan secara nasional, kalau hasilnya tidak bisa dipakai untuk memperbaiki mutu pendidikan iu sendiri.
            Terlepas dari pro kontra tersebut, kenyataannya Ujian Nasional tetap dilaksanakan walaupun tentu saja juga tetap menuai berbagai protes. Lantas sebenarnya sejauh manakah pengaruh Ujian Nasional terhadap peningkatan mutu pendidikan nasional? Pertanyaan ini tidak harus dijawab dengan sebuah kalimat, apalagi hanya sekedar kalimat retorik. Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana meningkatkan mutu pendidikan dengan atau pun tanpa Ujian Nasional.
            Sejak mulai diselenggarakan tahun 1993 yang lalu, saat namanya masih EBTANAS, sampai kemudian berubha nama menjadi Ujian Akhir Nasional (UAS) dan kemudian berubah lagi menjadi Ujian Nasional (UN), tidak ada perubahan signifikan yang mengiringi perubahan nama tersebut. Kalaupun ada perubahan mendasar, maka itu adalah standar kelulusan yang setiap tahunnya meningkat.
            Peningkatan standar kelulusan inilah yang tahun demi tahun menjadi momok, bukan saja bagi siswa, tetapi juga bagi guru dan bahkan bagi pemerintah daerah. Beberapa bulan sebelum pelaksanaan Ujian Nasional dilaksanakan, siswa digenjot dengan les di sekolah. Bimbingan belajar pun menjamur di mana- mana sebagai wadah yang siap membantu siswa menyiapkan diri menghadapi Ujian Nasional. Tapi bimbingan belajar tersebut hanya bisa dinikmati oleh segelintir siswa yang mampu secara ekonomi. Bagi siswa yang tidak berduit, maka sekolahlah andalan mereka satu- satunya.
            Dalam hal mempersiapkan siswa menghadapi Ujian Nasional, sekolah selalu siap dengan berbagai programnya. Sayang sekali program tersebut hanya bersifat instan. Taruhlah misalnya program penambahan jam pelajaran di luar jam wajib (les)  ataupun try- out. Semuanya dilakukan beberapa bulan atau bahkan beberapa minggu sebelum ujian dilaksanakan. Sehingga mereka akan kalang kabut jika terjadi perubahan jadwal seperti yang terjadi tahun ini. Intinya adalah semua progrsm tersebut hanyalah merupakan tujuan jangka pendek yakni mempersiapkan siswa menghadapi Ujian Nasional. Sementara itu tujuan jangka panjang seakan- akan terabaikan. Nah, pada saat sekolah ( dalam hal ini guru) menyadari bahwa siswanya kurang siap menghadapi ujian, sementara di sisi lain sekolah dituntut untuk bisa meluluskan siswanya 100%  demi suatu kepentingan, maka di sinilah rawan terjadi kecurangan yang selama ini sering menodai pelaksanaan ujian nasional. Pun dalam hal ini gurulah yang menjadi kambing hitamnya. Pada hal yakin saja, seorang guru tidak akan nekad melakukan hal tersebut jika tidak ada perintah atau minimal dorongan dari atasan. Karena melakukan hal tersebut sama saja dengan menginjak- injak martabatnya sebagai guru.
            Efek yang paling terasa dengan kecurangan tersebut adalah siswa menjadi ogah- ogahan untuk belajar karena mereka sudah mendapatkan informasi dari siswa sebelumnya yang sudah tamat bahwa mereka akan mendapatkan bantuan. Kalau hal seperti ini yang terjadi dari tahun ke tahun, maka yakin saja tidak akan pernah Ujian Nasional bisa dijadikan tolok ukur peningkatan mutu pendidikan di Indonesia, bahkan yang terjadi adalah penurunan mutu pendidikan karena siswa tidak mempunyai motivasi yang kuat untuk belajar giat.
            Alangkah baiknya jika siswa sudah dipersiapkan sejak awal bahkan sejak kelas satu sehingga Ujian Nasional tidak lagi menjadi momok yang menakutkan bagi mereka. Seperti tahun ini, ketika pemerintah memutuskan untuk mempercepat pelaksanaan Ujian Nasional, hampir semua siswa (kecuali sekolah berstandar nasional dan internasional)  merasa kaget dan cemas. Nah, seandainya persiapan baik secara materi maupun mental sudah dilakukan sejak awal, maka kekuatiran tersebut tidak perlu ada. Semua elemen pendidikan (siswa, guru, kepala sekolah, pemerintah setempat) akan siap secara fisik dan mental. Tetapi karena memang proses pembelajaran yang berlangsung di sekolah masih cenderung  bersifat jangka pendek sehingga siswa tidak pernah merasa siap sebelum waktunya. Bahkan ketika waktunya tiba pun mereka masih merasa belum siap.
            Menjelang pelaksanaan Ujian Nasional 2010 dan demi perbaikan mutu pendidikan Indonesia ke depannya, maka sebaiknya kita berhenti mempermasalahkan perlu tidaknya ujian nasional diselenggarakan. Yang perlu dipikirkan sekarang adalah bagaimana mutu pendidikan di Indonesia bisa ditingkatkan. Bagaimana paradigma  belajar anak- anak Indonesia yang lebih senang  menghafal bisa dirobah dan diarahkan untuk terbiasa memahami, mengamati dan mengaplikasikan apa yang dipelajarinya. 
Kalaupun misalnya Ujian nasional tetap diadakan, harus ditemukan cara yang tepat agar penyelenggarannya betul- betul objektif dan bisa menghasilkan pengukuran hasil belajar yang valid,  sehingga Ujian Nasional tersebut betul- betul bisa menjadi tolok ukur mutu pendidikan nasional kita. Tentu saja hal ini memungkinkan, jika elemen yang terlibat dalam pendidikan mempunyai keinginan untuk memperbaiki kinerja mereka  dan bekerja sesuai dengan kapasitas mereka masing- masing . Sebaliknya kalau Ujian Nasional ditiadakan, maka harus ada program pengganti yang bisa dipakai untuk mengukur standar pendidikan secara nasional. Dan program pengganti ini harus lebih efektif dan efisien dari berbagai segi dibanding Ujian Nasional.
            Tetapi terlepas dari itu semua yang perlu diingat dan diperhatikan oleh para pelaku pendidikan, penentu kebijakan di bidang pendidikan maupun semua elemen pemerhati pendidikan adalah bahwa ada hal penting yang perlu diberikan kepada siswa sebagai penerus generasi bangsa selain hanya sekedar deretan angka- angka dalam transkrip nilai di ijazah, yaitu ilmu, keterampilan dan moral yang baik. Setelah sekian tahun menempuh pendidikan, alangkah indahnya jika setelah tamat, siswa bisa memadukan antara ilmu, keterampilan  dan moral yang baik. Kalau ini bisa dilakukan, maka apapun tolok ukur yang dipakai untuk mengukur standar pendidikan secara nasional, tidak akan membuat siswa kuatir karena mereka telah memiliki persiapan yang matang, bukan hanya untuk menghadapi ujian akhir di sekolah tetapi bahkan untuk menghadapi persaingan di dunia kerja nantinya.
            Bagaimanapun juga untuk tahun 2010 ini, kita menaruh harapan yang besar terhadap kinerja para penyelenggara Ujian Nasional agar berbagai kendala dan hambatan dan juga kecurangan- kecurangan  yang terjadi di tahun- tahun sebelumnya tidak lagi ditemukan tahun ini. Sebuah harapan yang tulus dari masyarakat yang ingin melihat pendidikan di Indonesia maju. Semoga.

Dimuat di Koran Harian Fajar pada tanggal  19 Maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar